PROFIL SEKOLAH DAMAI INDONESIA (SEKODI): Teman Muda yang Meretas Perbedaan
Relasi lintas agama memang menjadi tema diskusi utama kelas mingguan Sekodi Bandung. Namun itu bukan satu-satunya.
Penulis Sherani Soraya Putri29 Desember 2022
BandungBergerak.id—Fanny Syariful Alam senang melihat masih banyak anak muda yang masih rajin mengikuti kegiatan rutin Sekodi, Sekolah Damai Indonesia Bandung, yang melulu mendiskusikan isu-isu yang cukup membuat kening mengernyit. Tema yang dibahas umumnya memang sensitif. Misalnya mendiskusikan mengenai relasi lintas agama berikut konfliknya.
“Kadang kita melihat hubungan lintas agama menjadi buruk karena membaca informasi yang tidak benar lewat media apalagi trennya saat ini lewat sosmed dengan informasi yang sedikit. Dengan adanya kelas agama dan konflik ini, kita datangkan orang yang kredibel, dengan memberikan informasi yang seluas-luasnya,” ujar Fanny, Koordinator Regional Sekodi Bandung pada BandungBergerak , Selasa, 13 Desember 2022.
Relasi lintas agama merupakan isu utama yang jadi perhatian Sekodi. Relasi lintas agama tidak bisa berdiri sendiri karena berkaitan dengan sektor kehidupan lainnya. Sekodi meyakini teman mudah harus diperkenalkan dengan keragaman agama dan kepercayaan yang ada. Dengan mengenalkan keragaman tersebut langsung dari sumbernya akan meretas stigma negatif perihal perbedaan agama.
Fanny mencontohkan diskusi mengenai tema relasi lintas agama tersebut terkait kehadiran wali kota dalam peresmian Gedung Aliansi Nasional Anti Syiah (ANNAS) di Kota Bandung. Ia menyadari tidak mudah melihat hal itu dari satu sisi saja. Pemerintah memang harus mengakomodir kegiatan agama di mana pun itu, mungkin itu niat awalnya.
Namun dengan melihatnya dalam sudut pandang yang lebih luas, justru perlu dipertanyakan filosofi dan nilai yang melandasi pendirian gedung tersebut. Ia menyayangkan pemerintah tidak cermat melihat hal itu. Kehadiran wali kota bahkan pejabat kepolisian dalam peresmian gedung tersebut dipersepsikan sebagai bentuk dukungan pada kelompok tertentu. Sementara dalam relasi lintas agama, pemerintah harus menyadari dentingan imparsialitas bagi pejabat publik.
“Sehingga imparsialitas mereka akan membuat sadar bahwa mereka di sini bukan untuk satu kelompok agama tertentu, tapi berlaku bagi semuanya, tanpa terkecuali,” ujar Fanny.
Sekodi Bandung lahir dari Sekodi nasional tahun 2015 oleh alumni pendidikan Shcool of Peace Interfaith Corporation Forum, atau forum perdamaian se-Asia. Tema relasi antar umat beragama menjadi perhatian terbesar Sekodi. Namun belakangan meluas.
“Setelah kami melihat dinamika di Bandung, kami memilih untuk memperluas isu, tapi utamanya adalah itu,” ujar Fanny.
Sekodi Bandung mulai aktif berkegiatan pada 2018. Aktivitas sebagian besar adalah menggelar diskusi dalam kelas mingguan pada setiap hari Sabtu dalam kelas literasi dan English Club.
Kelas mingguan Sekodi Bandung diselenggarakan di tempat-tempat publik tanpa dipungut biaya. Kelas mingguan yang biasanya digelar tetap muka, kemudian beralih menjadi kelas online akibat pandemi Covid-19.
Anggota aktif Sekodi Bandung saat ini berjumlah 29 orang berasal dari lintas generasi. Tidak ada batasan usia untuk berkegiatan di Sekodi Bandung. Pendanaan untuk kegiatan komunitas disokong oleh masing-masing anggota atas dasar sukarela.
Baca Juga: PROFIL KOMUNITAS MASYARAKAT KREATIF KAMPOENG TJIBARANI: Melihat Citra Bandung dari Pinggiran Cikapundung
PROFIL RUMAH BELAJAR GARTALA: Harapan Pendidikan bagi Masyarakat Terpinggirkan
PROFIL RIVERSIDE FOREST: Membangun Sepak Bola Rakyat di Tangga Batu Tamansari
Teman Muda Sekodi Bandung
Fanny tidak menyangka banyak teman muda yang tertarik berpartisipasi dalam kegiatan Sekodi Bandung. Di antaranya bahkan ada yang menjadi fasilitator. Sekodi terbuka dan membebaskan mereka untuk mengatur jalannya acara, selama terus berelasi dengan tema besar yang menjadi perhatian komunitas.
Yeni Ernita Kusumawardani misalnya. Salah satu teman muda yang bergabung di Sekodi Bandung tahun 2022. Sudah lama ia mengetahui Sekodi dan baru belakangan bergabung.
Ia mengenal Sekodi lewat salah satu aktivitas komunitas tersebut yang rutin berkeliling ke tempat ibadah berbagai kepercayaan. Kala itu Fanny dan teman-teman Sekodi pernah berkunjung dan bertemu Yeni di Pura Vira Chandra di Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat di Hegarmanah, Bandung sekitar tahun 2017.
Yeni beragama Hindu. Ia merupakan warga Badung asal Bali. Saat pertama kali tinggal di Bandung, ia punya pengelaman yang tidak menyenangkan sebagai minoritas karena agamanya yang berbeda dengan kebanyakan warga di Bandung.
Satu waktu Yeni hendak ke Pura mengenakan kebaya. Hal yang biasa di tempat asalnya. “Tapi kalau di sini itu kaya orang aneh. Waktu itu ditanya sama temen kosan, mau pake kebaya ke mana. Memang orang pakai baju itu harus selalu ke kondangan, di situ karena mungkin pertama di Bandung, jadi saya gak sakit hati,” tuturnya.
Pengalaman lain yang tidak menyenangkan dialaminya di institusi pendidikan. Yeni yang menjadi guru agama Hindu memberikan nilai besar pada muridnya di salah satu SMA Negeri di Bandung. Ternyata nilai yang dimasukkan pihak sekolah berbeda dengan nilai yang diberikan.
“Akhirnya saya dan wali murid datang ke sekolah untuk memperjelas, akhirnya cuman sebatas minta maaf. Walaupun demikian, jika tidak tidak diusut akan menambah masalah lagi,” ujar Yeni.
Saat awal kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Bandung, Yeni hanya mau bergabung dengan organisasi perkumpulan mahasiswa Bali. Bukan tanpa alasan, ia khawatir jika mengikuti berbagai kegiatan lainnya di kampus akan memaksanya untuk pindah agama. Ia merasakan keresahan karena tidak melihat keberagaman yang sesungguhnya.
Kemudian Yeni memutuskan mengikuti aktivitas Sekodi. Ia tertarik pada program komunitas tersebut yang menekankan pada keberagaman. Ia kemudian mendapatkan suasana yang diinginkannya sejak lama di mana orang-orangnya saling menghargai, menghormati, seperti keluarga sendiri.
Bagi Yeni, Sekodi adalah organisasi yang menjembatani dirinya dengan toleransi.
“Saya sudah merasakan manfaat di Sekodi, mulai dari menghargai atau menghormati mereka yang berbeda,” tuturnya.
Lain lagi pengalaman Aries Hardianto, anggota sekaligus fasilitator Sekodi Bandung. Ia bergabung sejak 2019 karena ingin mencari pengalaman yang berbeda selain di kampus. Ia menemukan kebersamaan dan menjadi bagian dari upaya menyebarkan kedamaian.
“Menurut aku ini ruang yang pas untuk saling mengenal, dan tidak berprasangka yang aneh-aneh,” ujar Aries.
Tidak Melulu Soal Agama
Relasi lintas agama memang menjadi tema diskusi utama Sekodi. Namun itu bukan satu-satunya. Sekodi Bandung juga membicarakan tema-tema yang lebih luas terkait hal marginal di masyarakat. Sedikitnya ada empat tema besar yang menjadi rutin dibahas. Yakni tema perdamaian dan konflik, gender dan seksualitas, politik demokrasi, dan minoritas.
Keberagaman dan toleransi masih menjadi isu yang penting dalam hubungan lintas agama di Bandung. Sekodi melihat teman muda harus diperkenalkan dengan berbagai agama atau penghayat kepercayaan agar stigma negatif perihal perbedaan agama dapat di retas. Narasumber yang berbicara dalam kelas sengaja dipilih dari mereka paham tentang ajaran agamanya serta konflik yang dihadapi sekaligus menjelaskan resolusi atas konflik tersebut.
Pada kesempatan lain, pertemuan dalam kelas mingguan mendiskusikan mengenai kasus HIV/AIDS yang mendadak menjadi pembicaraan publik di Bandung. Dibalik isu tersebut ada kelompok yang mengalami diskriminasi.
“Konteksnya kita ngomongin gender dan seksualitas, mereka lupa siapa yang terpapar di dalamnya, dan mengalami pelbagai diskriminasi. Kamu mungkin boleh tidak setuju dengan keberadaan mereka, tapi kamu jangan membenci. Itu yang kami tekankan,” ujar Fanny.
Pada tema politik dan demokrasi, Sekodi Bandung mendiskusikan mengenai pemilu 2024. Diskusi mengerucut pada pentingnya masyarakat mendapatkan gambaran calon yang benar-benar bertanggung jawab untuk menjadi wakil mereka.
Sekodi Bandung tidak alergi untuk mengundang partai untuk menjadi narasumber dalam kelas untuk mendapatkan gambaran yang jernih tanpa bermaksud berpihak pada partai manapun. Sekodi Bandung juga pernah berkolaborasi dengan Bawaslu untuk mendiskusikan tentang pemilu.
Lain lagi pada kelas yang membahas tema minoritas, Sekodi Bandung mendiskusikan mengenai kehidupan yang dilalui lansia yang kerap terlupakan oleh masyarakat sendiri juga pemerintah. Pertemuan kelas sengaja diboyong untuk mendatangi panti jompo untuk mengobrol dengan penghuninya. Banyak cerita yang di dapat mulai dari lansia yang di usir keluarganya, atau yang menyengaja kabur, hingga mengalami gangguan kesehatan mental.
“Kita perlu berbicara tentang mereka juga, yang jarang disentuh masyarakat sama pemerintah,” ujar Fanny.
Sekodi Bandung tidak memimpikan hal yang muluk seperti perubahan yang signifikan dengan aktivitasnya. Jika pun perubahan itu belum terjadi, Sekodi Bandung harus terus ada sebagai upaya penguatan dan pemberdayaan bagi mereka yang terpinggirkan.