CERITA ORANG BANDUNG #90: Perjalanan Seni Tono
Susentono alias Tono (55 tahun), seniman di Sanggar Olah Seni (SOS) Babakan Siliwangi, Bandung, memilih jalan seni untuk menopang hidupnya.
Penulis Aqeela Syahida Fatara17 Juni 2025
BandungBergerak.id - Teduh rimbun pepohonan hutan kota Babakan Siliwangi menemani Tono dalam mencipta lukisan-lukisannya. Sejumlah lukisan figur berderet di dinding kayu studio seni rupa yang cukup legendaris di Bandung, Sanggar Olah Seni atau SOS. Lokasi sanggar ini tak jauh dari Sasana Budaya Ganesha ITB.
Susentono alias Tono (55 tahun), tidak pernah terpikirkan untuk menjadi seorang seniman sebelumnya. Ia pun tidak memiliki latar belakang keluarga seniman. Baginya, satu-satunya seni ya ia sukai hanya menggambar, bahkan hingga duduk di bangku SMP kelas dua ia tidak menyukai seni musik. Kecintaannya pada menggambar, membangkitkan jiwa seni yang dimiliki oleh Tono. Hal ini ia sadari ketika melanjutkan pendidikannya di Sekolah Teknik Menengah (STM). Di sekolah teknik mesin ini ia justru semakin menyadari bakatnya menggambar.
Selepas lulus dari STM, Tono akhirnya memilih untuk mencari guru yang bisa mengajarkannya seni lukis. “Tidak bisa hanya mengandalkan bakatlah,” ungkap Tono, ketika ditemui di Sanggar Olah Seni Babakan Siliwangi Rabu, 28 Mei 2025.
Memulai perjalanan belajar seni lukis di Sanggar Rangga Gempol pada awal tahun 1990-an, Tono kemudian semakin banyak bertemu dengan teman seperjuangan yang akhirnya membawanya ke Sanggar Babakan Olah Seni Siliwangi hingga hari ini. Ia tercatat pernah menjabat sebagai Ketua SOS tahun 2020-2023.
Menyadari bahwa ia tidak bisa bertahan jika hanya mengandalkan lukisan, tahun 1993 Tono kembali menimba ilmu di Pusat Teknologi Komunikasi Pendidikan dan Kebudayaan dengan mengambil jurusan Desain Grafis Komputer selama satu tahun. Usai menempuh pendidikan, Tono berhasil mendapatkan pekerjaan sebagai desainer grafis di berbagai perusahaan hingga membuat ilustrasi di majalah dan komik.
Meskipun sudah menempuh jenjang karier, Tono sebagai seniman yang memiliki jiwa lepas merasa bosan dengan pekerjaan di perusahaan yang terasa monoton. Keinginan untuk menjadi lebih bebas ini membawanya keluar dari pekerjaan dan memutuskan untuk bekerja lepas dan fokus pada seni rupa.
Basuki Abdullah adalah panutan Tono dalam berkarya. Tak heran jika beberapa karya-karya Tono terinspirasi dari maestro tersebut, dengan corak naturalis dan realis. Bagi Tono, inspirasi untuk menghasilkan karya bukanlah suatu hal yang secara sengaja dicari. Itu mengapa, jika belum mendapat inspirasi untuk menggambar, biasanya Tono mencurahkan isi pikirannya melalui sebuah tulisan.
Saat ini Tono sudah beberapa kali melakukan pameran lukisan. Pameran pertama ia selenggarakan tahun 1994 melalui acara tour Jawa Barat. Meskipun belum pernah melakukan pameran tunggal, kini Tono ingin melakukan pameran untuk hasil karya batik dingin yang ia ciptakan.

Cinta dan Dedikasi
Tidak ada akhir untuk belajar. Tono berusaha memperluas ilmu dan media yang ia gunakan dalam menerapkan seni rupa. Menjadikan hal yang ia sukai menjadi suatu pekerjaan, ternyata memperluas kreativitas yang dimiliki.
Bagi Tono, seni merupakan cinta dan fitrah. Hadirnya seni merupakan sebuah anugerah yang hadir dalam lubuk hati terdalam. Itu mengapa, dalam menjalankan apa pun harus dengan seni, begitu juga dengan pekerjaan.
Seni mencakup seluruh aspek dari disiplin ilmu. “Ilmu tertinggi menurut saya, agama, seni, baru ilmu yang lain,” ujar Tono. “Hidup tanpa agama itu sesat, tetapi hidup tanpa seni itu kaku.”
Oleh karena itu, pencapaian terbesar dalam seni ada pada kebijaksanaan diri. Ia yakin sampai kapan pun seni tidak akan pernah mati. Seni pula yang bisa membawa rezeki.
Memang, di perjalanan kesenian Tono kerap menghadapi berbagai tantangan. Namun itu tak menjadi soal. Ia senantiasa berusaha untuk mencintai pekerjaannya sebagai seniman. Ia bersyukur bisa memiliki pekerjaan yang diawali dengan rasa cinta.
Saat ini, bisnis seni lukis yang ia terima tidak hanya melukis di atas kanvas. Ia melebarkan sayapnya menerima tawaran melukis potret, kaligrafi, desain lukis pada pakaian, seperti pada hijab. Batik dingin juga merupakan bagian dari proses kreatif yang ia tekuni.
Melalui batik dingin, Tono melahirkan karya batik bernama Sekar Kujang yang hingga saat ini masih terus dikembangkan. Usaha Tono membuahkan hasil berupa banyaknya pesanan. Tidak jarang Tono diminta memberikan pembelajaran seni lukis kepada anak-anak sekolah.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #88: Oom Komariah Menolak Penggusuran di Tenjolaya
CERITA ORANG BANDUNG #89: Sepi Dagangan Een di Pinggiran Cadas Pangeran
Digitalisasi sebagai Peluang Berekspresi
Media sosial bagi Tono merupakan wadah untuk berkolaborasi dan ruang berekspresi. Tono menilai, kemajuan teknologi bukan menjadi hambatan maupun ancaman. Teknologi justru banyak membantunya dalam menuangkan ide-ide kreatifnya, khususnya pada desain grafis. Mengandalkan aplikasi seperti Photoshop dan Coreldraw ketika ingin menuangkan visual sebelum ke kanvas, ternyata memberikan warna tersendiri dalam proses kerja-kerja seniman.
Kecintaannya pada menulis juga dimudahkan dengan hadirnya media sosial. Tono merasa bahwa ia lebih mudah untuk menuangkan perasaannya melalui media sosial dibandingkan dengan harus selalu membawa buku. Selain untuk menuangkan kreativitas, media sosial turut menjadi sumber rezeki bagi Tono. Tidak jarang pesanan lukisan datang melalui media sosial, seperti Facebook.
“Menurut saya sih itu malah membantu,’’ ucapnya.
Hadirnya kecerdasan buatan seperti Meta AI baginya justru menjadi ladang untuk menggali inspirasi. Teknologi membuat Tono berusaha untuk beradaptasi dan tidak pernah berhenti belajar. Tidak ada kata “selesai” untuk belajar.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB