• Kampus
  • Diskusi Film Sa Ada di Sini di UPI: Suara Perempuan Papua Menuntut Keadilan

Diskusi Film Sa Ada di Sini di UPI: Suara Perempuan Papua Menuntut Keadilan

Film Sa Ada di Sini membuka mata bahwa perempuan di Papua memiliki peran penting. Namun mereka selalu disingkirkan oleh sistem kekuasaan.

Diskusi film bertajuk Sa Ada di Sini, A Film About Women in Papua di Auditorium Museum Pendidikan Nasional, kampus UPI, Kota Bandung, Rabu, 9 Juli 2025. (Foto: Yopi Muharam/BandungBergerak)

Penulis Yopi Muharam15 Juli 2025


BandungBergerak.id“Kehidupan saya yang sudah lalui itu sangat tidak manusiawi. Saya trauma dengan pukulan, ditendang, diseret sampai pada saat ini jantung saya sekarang sudah lemah,” tutur narasumber asal Jayapura yang tak disebutkan namanya, dalam film bertajuk ‘Sa Ada di Sini—A Film About Women in Papua yang ditayangkan di Auditorium Museum Pendidikan Nasional, kampus UPI, Kota Bandung, Rabu, 9 Juli 2025.

Film dokumenter berdurasi 38:43 detik itu menyorot aktivitas para perempuan Papua, kehidupan keluarga mereka, masalah sosial, ekonomi, dan ketidakadilan sistem. Mereka kesulitan mengakses air bersih, kesehatan, menghadapi kekerasan dalam rumah tangga, kekerasan militer, hingga pembatasan berpendapat.

Film yang didedikasikan untuk Mientje Roembiak, antropolog perempuan Papua, dan Linda Assem, aktivis perempuan pembela HAM, digarap Kelompok Kerja Papua untuk Perempuan (PWG) yang berkolaborasi dengan Asia Justive and Rights.  Film ini menyoroti peran perempuan di lima wilayah di Papua seperti, Sorong, Jayapura, Jayawijaya, Keerom, dan Merauke.

Film yang dirilis 2017 itu menunjukkan bahwa perempuan di Papua berperan penting dalam melangsungkan kehidupan sosial dan ekonomi keluarga. Banyak dari perempuan Papua menjadi penggarap dan penjaga lahan di hutan adat.

Namun, perempuan Papua juga terjepit oleh sistem partarki yang sudah mengakar di kehidupan adat Papua. Hal ini menyebabkan peran perempuan di Papua masih terpinggirkan. Ditambah adanya konflik berkepanjangan di tanah Papua berdampak bagi perempuan karena mengancam kehidupan mereka.

Sistem patriarki yang membudaya

Kekerasan berbasis gender sering terjadi di Papua, baik dalam bentuk kekerasan domestik maupun publik.

Siska, aktivis Sa Pu Alam mengungkapkan, di tanah Papua kekerasan bagi perempuan menjadi hal yang biasa. Kentalnya budaya partiarki membuat perempuan Papua tersingkir di ruang publik.

Perempuan di Papua, menurut Siska, tak punya hak untuk mengeluarkan pendapat, bahkan tidak memiliki hak atas tanah. “Perempuan di papua juga tidak memiliki suara untuk berpendapat, karena sering kali peran perempuan disingkirkan karena budaya partiarki,” tandasnya.

Siska pernah menjadi korban kekerasan oleh laki-laki. Atas pengalaman kelam itu, Siska terus menyuarakan keadilan bagi perempuan di Papua, agar perempuan Papua tidak disingkirkan oleh sistem partiarki.

“Yang dihadapi perempuan itu seperti kekerasan, diskriminasi, dan seterusnya, hal ini sudah dialami sejak lama,” papar Siska, dalam diskusi. Kekerasan yang dialami perempuan Papua terjadi di ranah keluarga hingga oleh aparat negara.

Kekerasan yang dialami atau dilakukan terhadap perempuan Papua dikonstruksi langsung dan dibentuk oleh lingkungan setempat seperti dalam berumah tangga.  Ia mencatat, anak-anak yang menyaksikan kekerasan yang dilakukan ayah terhadap ibunya, akan cenderung mengulangi pola tersebut.

Mientje Roembiak, pemantik diskusi lainnya, mengatakan dalam film ertajuk ‘Sa Ada di Sini dijelaskan kekerasan yang dialami perempuan adalah suatu budaya peniruan dalam keluarga.

“Jadi, kalau kekerasan perempuan di Papua saya akui itu karena budaya yang mendukung,” ungkapnya.

Pilamo, dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) menyoroti bahwa budaya kekerasan terhadap perempuan menjadi persoalan serius bagi kemanusiaan. “Sehingga ini menjadi tanggung jawab bersama untuk kita bisa lebih bergandeng tangan untuk sama-sama mendorong hak-hak perempuan,” tuturnya.

Baca Juga: Mahasiswa Papua di Bandung Mengajak Memetik Pelajaran dari Bahaya Tambang Nikel di Raja Ampat
Refleksi Sejarah Mahasiswa Papua di Gedung Merdeka

Kekerasan Negara terhadap Perempuan Papua

Kekerasan terhadap perempuan di Papua memiliki akar yang dalam dan kompleks. Hal ini diperparah dengan kedatangan militer ke tanah Papua yang menimbulkan pengalaman traumatik terutama pada perempuan. Film Sa Ada di Sini menghadirkan cerita dari korban kekerasan oleh militer.

Nidan dari Indonesia Hapus Femisida mengungkapkan, tingginya angka kekerasan oleh militer terhadap perempuan di tanah Papua bertujuan untuk menandakan kekuasaan.

Tentara, menurut Nidan, dididik untuk meniadakan sifat kasihan, sehingga kekerasan menjadi alat untuk menunjukkan kekuasaan. “Semakin dia menindas, semakin dia membunuh, semakin dia kuat,” jelasnya.

Penguatan militer di ruang sipil, menurutnya semakin memperparah situasi dan menormalisasi kekerasan, serta menghilangkan rasa kritis. Nidan menyebut kekerasan terhadap perempuan di Papua bukan masalah tunggal, melainkan  permasalahan interseksionalitas. “Yang membuat perempuan di tanah Papua itu jauh lebih rentan menghadapi kekerasan,” tuturnya.

Film Sa Ada di Sini menegaskan bahwa keadilan belum singgah di tanah Papua. Pemutaran film ini hasil kolaborasi Great UPI, Indonesia Hapus Femisida, Kalem, Sa Pu Alam, dan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (STPPKS) UPI dengan tema ‘Perempuan Papua Melawan Kekerasan Struktural’.

***

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//