• Berita
  • Mendengar Kritik Para Pelajar Bandung terhadap Kebijakan Pendidikan Gubernur Dedi Mulyadi

Mendengar Kritik Para Pelajar Bandung terhadap Kebijakan Pendidikan Gubernur Dedi Mulyadi

Pelajar menolak kebijakan pendidikan yang represif, mulai dari jam malam, pemajuan jam masuk sekolah, hingga pengiriman siswa nakal ke barak militer.

Pelajar SMA di Kota Bandung melakukan aksi unjuk rasa damai di Taman Cikapayang, Bandung, 26 Juli 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Penulis Insan Radhiyan Nurrahim, 26 Juli 2025


BandungBergerak.idPuluhan pelajar SMA di Kota Bandung turun ke Taman Cikapayang, Bandung, 26 Juli 2025. Para pelajar membentuk barisan protes atas kebijakan pendidikan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mereka nilai merugikan.

Dengan pengeras suara dan spanduk bertuliskan “Ciptakan ruang pendidikan yang ama dan nyaman”, mereka menyuarakan keresahan terhadap kebijakan populis Gubernur Jawa Barat seperti satu kelas berisi 50 siswa, masuk sekolah pukul 06.00, serta militerisasi pendidikan terhadap siswa yang dianggap ‘nakal’.

Aksi tersebut dilakukan beberapa perkumpulan seperti Jurnal Pelajar. Bentuk keberanian pelajar ini adalah ekspresi mereka atas keresahan yang terjadi. Mereka menolak kebijakan yang membatasi ruang kritis dan hak atas pendidikan yang manusiawi.

Kebijakan yang mereka soroti di dalam orasi tersebut bukan hanya kebijakan yang serampangan, tetapi juga menjauhkan pelajar dari esensi pendidikan. Salah satu orator Aliansi SMANSA melawan, menyampaikan kritik tajam terhadap kebijakan wajib militer bagi pelajar yang dianggap nakal.

“Militer tidak seharusnya ikut campur ke dalam dunia pelajar. Militer itu satu komando terhadap atasan, sementara pelajar itu kritis dan bebas berpikir, tidak terkurung oleh 1 perintah atau doktrin saja. Ini bertentangan dengan prinsip pendidikan sebagai ruang untuk menjadi manusia yang merdeka,” ujar orator, disambut tepuk tangan dan teriakan semangat dari massa yang hadir.

Para peserta aksi juga menolak narasi bahwa pelajar hanya boleh belajar di ruang kelas tanpa suara, dan duduk manis di rumah tidak perlu mengikuti aksi demosntrasi. Ia menegaskan bahwa diam adalah bentuk kekalahan, dan kehadiran mereka hari itu adalah bukti keberanian kolektif.

“Siapa bilang hanya mahasiswa yang bisa aksi? Kenapa ada pengkotak-kotakan? Kami pelajar juga punya banyak keresahan, punya suara yang belum didengar. Hari ini hanya puluhan, tapi esok bisa ratusan, bahkan ribuan,” tambahnya.

Kritik tidak berhenti di situ. Farhan, dari komunitas Jurnal Pelajar, menyampaikan bahwa kebijakan kelas berisi 50 orang sangat tidak efektif.

“Tiga puluh siswa saja sudah sulit terkendali, apalagi lima puluh. Guru kewalahan mengurusinya, murid kehilangan perhatian untuk tumbuh, terus aparat TNI/Polri dalam orientasi siswa baru ga relevan, itu bukan pendidikan tapi pengondisian. Ospek seharusnya menumbuhkan daya kritis, bukan menanamkan kepatuhan buta,” kata Farhan.

Aksi ini merupakan inisiatif dari berbagai komunitas pelajar, seperti Jurnal Pelajar, Aliansi Pelajar Bandung, Suara Pelajar, Ruang Alternatif, hingga Ruang Literasi. Mereka menggalang solidaritas dari pelajar di Bandung, Cimahi, dan Kabupaten Bandung Barat. Farhan menyebut aksi ini sebagai permulaan.

“Ini langkah awal. Kami ingin memantik kesadaran pelajar bahwa mereka punya hak untuk bersuara. Siapa pun gubernurnya, jika kebijakannya tidak berpihak pada pendidikan, kami akan melawan,” tegasnya.

Salah satu pelajar yang hadir, Refi dari SMAN 1 Bandung, membawa keresahan lain. Konflik sengketa lahan sekolahnya yang kini digugat oleh Perkumpulan Lyceum Kristen belum ada kejelasan. Ia naik ke mimbar dan menyuarakan amarahnya.

“SMA ini sudah berdiri sejak 1958. Sudah berpuluh tahun menjadi tempat mencerdaskan anak bangsa. Tapi hari ini, tanah pendidikan kami ingin dirampas oleh mafia tanah. Kami menolak tunduk pada penindasan. Kami muak pada keserakahan!” teriak Refi, dalam orasinya.

Refi menghadiri aksi ini setelah menerima undangan dari komunitas pelajar. Ia tertarik menyampaikan keresahan di mimbar bebas ini.

“Asa gak mungkin sekolah bisa digusur begitu saja, saya kira semua orang yang tahu harus peduli. Konflik ini membuat saya sadar, kita harus bersuara. Kita tidak bisa hanya diam di kelas dan berharap semuanya baik-baik saja,” katanya.

Mimbar bebas dibuka selama aksi berlangsung. Pelajar bergantian menyampaikan keresahan mereka. Beberapa menyuarakan kritik terhadap pembatasan jam malam untuk pelajar, yang dianggap mengekang aktivitas dan ruang sosial mereka sebagai anak muda yang perlu berekspresi. Beberapa peserta aksi lainnya menyebut pentingnya pelajar memiliki ruang berpikir kritis tanpa tekanan dari aparat atau sistem.

Massa aksi ini tidak besar, tapi momen hari itu menandai perubahan arah gerakan pelajar. Mereka bukan lagi kelompok yang hanya mengerjakan tugas dan mendengarkan guru di kelas. Mereka bertransformasi menjadi subjek politik yang memahami hak dan ruangnya di masyarakat. Mereka bukan haya alat politik yang dimanfaatkan saat pemilu saja. Dari aksi ini, pelajar menyatakan bahwa pendidikan bukanlah milik pemerintah semata, melainkan milik semua orang yang ingin berpikir bebas. Mereka berharap besar pemerintah tidak memberi kebijakan yang merugikan mereka.

Baca Juga: Pelaku Usaha Perjalanan dan Pariwisata Mendemo Kebijakan Dedi Mulyadi dengan Puluhan Bus, Menuntut Larangan Studi Tur Sekolah Dicabut
Tragedi Makan Siang Gratis di Pernikahan Anak Dedi Mulyadi di Garut Berpotensi Hukum Pidana

Puluhan pelajar SMA di Kota Bandung melakukan aksi unjuk rasa damai di Taman Cikapayang, Bandung, 26 Juli 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)
Puluhan pelajar SMA di Kota Bandung melakukan aksi unjuk rasa damai di Taman Cikapayang, Bandung, 26 Juli 2025. (Foto: Insan Radhiyan Nurrahim/BandungBergerak)

Pelajar Berhak Demonstrasi

Dalam sistem demokrasi seperti Indonesia, setiap warga negara memiliki hak untuk menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam aksi protes atau demonstrasi. Ini termasuk anak pelajar, yang dalam beberapa kasus, turut serta dalam aksi unjuk rasa untuk menyuarakan pendapat mereka. Salah satu contoh yang mencuat adalah keterlibatan pelajar dalam demonstrasi #ReformasiDikorupsi, yang menjadi perbincangan hangat di media.

Dalam skripsi “Konstruksi Pemberitaan Keterlibatan Pelajar Dalam Aksi Demonstrasi #ReformasiDikorupsi Pada Media Online Detik.com”, Rama Satria Ramadhan menekankan bahwa dalam negara demokrasi, demonstrasi merupakan instrumen yang sah untuk menyampaikan aspirasi. Ini diatur dalam UUD 1945 Pasal 28 yang menjamin kebebasan berkumpul dan mengeluarkan pendapat, baik lisan maupun tulisan. Selain itu, hak untuk menyatakan pendapat di muka umum juga dilindungi oleh UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Dalam sejarah Indonesia, demonstrasi telah menjadi bagian penting dari perjuangan demokrasi. Pelajar, seperti yang terjadi pada aksi-aksi besar sebelumnya—seperti di era Soekarno dan 1998—telah menunjukkan solidaritasnya dalam gerakan protes yang menuntut perubahan. Aksi yang digagas oleh mahasiswa ini bahkan turut memicu keterlibatan pelajar dalam menyuarakan penolakan terhadap kebijakan pemerintah, terutama terkait dengan RUU kontroversial yang hendak disahkan.

Namun, pemberitaan sejumlah media online tentang keterlibatan pelajar dalam aksi #ReformasiDikorupsi menimbulkan kontroversi. Banyak yang menganggap pelajar hanya ikut turun ke jalan karena euforia atau kebiasaan tawuran, bukan karena pemahaman mendalam terhadap isu yang ada. Bahkan, ada pemberitaan yang menyoroti perilaku anarkis beberapa pelajar dalam aksi tersebut.

Pada 25 September 2019, satu hari setelah mahasiswa melakukan aksi demonstrasi besar-besaran di Gedung DPR, pelajar juga ikut turun ke jalan. Ribuan pelajar berunjuk rasa untuk menuntut pembatalan pengesahan sejumlah RUU kontroversial. Pemberitaan ini, meskipun berfokus pada pelajar yang terlibat dalam demonstrasi, tidak sepenuhnya menggambarkan motivasi politik mereka.

Namun, tidak semua pihak melihat keterlibatan pelajar dalam aksi demonstrasi ini secara negatif. Adi Prayitno, pengamat politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, berpendapat bahwa perlakuan represif aparat terhadap mahasiswa justru menjadi pemicu keterlibatan pelajar dalam aksi tersebut.

Sementara itu, Zaenal Mukarom, dosen UIN Sunan Gunung Djati dan pakar komunikasi politik, mengapresiasi demonstrasi pelajar. Ia menilai bahwa keterlibatan pelajar dalam demonstrasi ini menunjukkan kesadaran politik generasi muda, yang sangat penting di tengah zaman digital yang cenderung mengarah pada krisis sosial.

Keterlibatan pelajar dalam aksi demonstrasi #ReformasiDikorupsi menggambarkan bahwa anak pelajar memiliki hak yang sama dengan warga negara lainnya untuk menyuarakan pendapat dan berpartisipasi dalam gerakan sosial. Hal ini juga menunjukkan bahwa demokrasi memberikan ruang bagi semua elemen masyarakat, termasuk pelajar, untuk menuntut perubahan dan memberikan kontribusi dalam proses politik negara.

**

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//