CERITA ORANG BANDUNG #95: Atang, Seorang Juru Parkir di Tengah Pasang Surut Bisnis Distro
Atang menyaksikan pasang surut bisnis distro di Jalan Sultan Agung, Bandung. Dari pekerja serabutan hingga juruparkir dengan penghasilan tak menentu.
Penulis Noval Azmi Fakhreza28 Juli 2025
BandungBergerak.id - Di tengah riuh pusat perbelanjaan fesyen Jalan Sultan Agung, Kota Bandung, setiap hari Atang menjalankan rutinitasnya: mengais rezeki sebagai juru parkir. Mengenakan seragam orange dan pluit, pria paruh baya ini bertugas dari pagi sampai malam. Penghasilannya tergantung jumlah kendaraan yang ia tangani.
Terang gelap hidup di jalan telah ia rasakan. Atang sudah biasa menerima perlakuan kuarang mengenakan dari pemilik kendaraan. Arogansi dan kata-kata kasar dari para pengendara yang tak mau bayar parkir sudah ia anggap bagian dari risiko kerja tukang parkir.
Atang hanya bisa pasrah dan menerima semua itu sebagai konsekuensi pekerja informal. Rumah tangganya retak karena masalah ekonomi. Penghasilan sehari-hari Atang tak cukup untuk menggembirakan istri dan satu anaknya.
Atang mengalami zaman tarif parkir 500 perak. Dan ia menyaksikan pasang surut pertumbuhan bisnis fesyen di Jalan Sultan Agung, salah satu destinasi wisata belanja distro yang terkenal di era 2000an.
"Titik puncak ramai distro di Kota Bandung itu sekitaran tahun 2017 – 2019," ujar Atang, kepada BandungBergerak, pertengahan Juli 2025.
Atang mengabdikan dirinya sebagai tukang parkir sejak 2017. Ia memulai kariernya di Bandung jauh sebelum tren distro merebak di kota tersebut. Keberadaannya di jalan tidak lepas dari masa kecilnya yang keras. Sejak SD pada 1981 ia sudah terbiasa bekerja untuk membantu ekonomi keluarga.
Pada masa kecilnya, Atang bekerja sebagai tukang angkut di pasar Cihaur Geulis dengan upah yang terbilang sangat minim, hanya 250 rupiah per hari. Ia juga sering ikut mendorong gerobak Soto Betawi dari Pasar Cihaur Geulis ke Jalan Sultan Agung dengan upah 10.000 rupiah per hari, serta berjualan keliling di kawasan tersebut.
Kawasan di sekitar Jalan Sultan Agung, tempat Atang bekerja, menjadi saksi perkembangan pesat bisnis distro di Kota Bandung. Di era 1990-an, kawasan ini sudah ramai dengan aktivitas ekonomi, berkat keberadaan kampus Unpad yang saat itu masih berada di pusat kota, sebelum pindah ke Jatinangor.
Pada tahun-tahun tersebut, toko pertama yang muncul adalah toko buku, diikuti oleh toko-toko fesyen Smith, RSCH, dan Evil yang membuka babak baru fenomena distro.
Dari tukang dorong gerobak sampai tahun 2005, Atang diajak untuk membantu mengatur parkir di kawasan Sultan Agung. Meski saat itu tren distro belum begitu pesat, keberadaan toko-toko tersebut turut memberi dampak positif bagi perekonomian sekitar, termasuk bagi Atang yang mulai beralih profesi menjadi tukang parkir.
Seiring berjalannya waktu, tren distro di Bandung semakin meluas. Atang merasakan masa jaya distro. Hasil parkir sebagai sumber pendapatan utamanya turut terdongkrak. Atang bisa mengantongi hingga 150.000 rupiah per hari.
Namun, kondisi mulai berubah di saat pandemi Covid-19 melanda pada 2020. Keberadaan platform belanja daring (online) yang semakin populer turut menggeser kebiasaan belanja masyarakat yang sebelumnya ramai di toko luring (offline).
Selain itu, penutupan jalan yang mengarah ke Jalan Sultan Agung dari Jalan Ir. H. Djuanda memperburuk keadaan. Arus transportasi yang terbatas membuat pengunjung lebih memilih berbelanja di toko distro yang berada di sekitaran Jalan Trunojoyo, yang lebih mudah diakses.
Dampaknya sangat terasa bagi Atang. Ia harus menghadapi penurunan pendapatan yang signifikan. "Sebelum maraknya platform belanja digital, saya bisa mengantongi 150.000 per hari. Tapi dengan adanya belanja online, pendapatan saya menurun," ujarnya.
Kewajiban untuk membayar iuran parkir sebesar 35.000 rupiah per hari kepada Dishub semakin memberatkan beban Atang, sementara penghasilannya tidak lagi stabil seperti dulu.
Pandemi COVID-19 juga berdampak pada seluruh UMKM yang bergantung pada aktivitas luring, termasuk pedagang kaki lima dan tukang parkir seperti Atang. Daya beli masyarakat yang menurun akibat pengurangan aktivitas di luar rumah membuat perekonomian di kawasan tersebut semakin lesu. Banyak toko distro bahkan terpaksa tutup atau dikurangi jam operasionalnya karena kebijakan pembatasan sosial yang diberlakukan pemerintah.
Namun, Atang tetap berharap akan ada perubahan di masa depan. Salah satu harapannya adalah agar akses jalan dari Jalan Ir. H. Djuanda ke arah Jalan Sultan Agung dibuka kembali.
Ia juga setia menunggu momen-momen ramai yang mendongkrak pendapatannya, seperti Hari Raya, Libur Sekolah, dan lain-lain. Jika tidak ada momen besar sehari-harinya ia hanya mangntongi 70.000 rupiah. Sedangkan setor iuran pada dishub semakin naik.
Perjalanan hidup Atang, yang dimulai dari bekerja keras di pasar hingga menjadi tukang parkir di kawasan yang menjadi pusat trend distro, menggambarkan bagaimana kehidupan masyarakat kecil sangat dipengaruhi oleh perubahan besar dalam perekonomian. Di tengah kesulitan yang datang, Atang tetap berusaha bertahan dan berharap ada kebijakan yang bisa mengembalikan kejayaan masa lalu.
Baca Juga: CERITA ORANG BANDUNG #92: Asep Sutajaya, dari Pena ke Cangkul
CERITA ORANG BANDUNG #94: Kisah Toekang Saeh dan Kertas Daluangnya
Distro di Tangan Orang Muda Bandung
Bandung telah lama dikenal sebagai kota yang penuh dengan semangat kewirausahaan, terutama di kalangan orang muda. Setiap tahunnya, ribuan pebisnis muda muncul di kota ini, dan banyak dari mereka yang memulai perjalanan bisnis mereka di bidang distro. Salah satu faktor yang mendukung pesatnya perkembangan bisnis ini adalah tingginya jumlah mahasiswa yang datang ke Bandung dari berbagai daerah di Indonesia, serta budaya akulturasi yang sangat tinggi di kota ini. Hal ini membuat kreativitas menjadi salah satu ciri khas yang melekat kuat pada Bandung.
Inge Barlian, Elvy Maria, Lilian Danil, dan Dianta Hasri dalam laporan penelitian “Distro Sebagai Bisnis Anak Muda Bandung: Kreativitas dan Kewirausahaan yang Berkembang di Kota Kembang” (Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Katolik Parahyangan, 2014) mengungkapkan, distro, yang menjadi bagian dari industri kreatif, telah menjadi sektor strategis bagi perekonomian Kota Bandung.
Para peneliti mencatat, di sepanjang kawasan seperti Jalan Suci, Dago, dan Riau, terdapat banyak produsen desain grafis yang dikelola oleh orang muda. Mereka menciptakan berbagai kreasi fesyen dan aksesoris yang menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari warga Bandung. Banyak juga kios-kios di Pasar Baru yang menjual barang-barang ini, serta butik-butik dan distro yang sebagian besar dimiliki dan dikelola oleh pengusaha muda. Fenomena ini mencerminkan bagaimana industri kreatif di Bandung sangat berkembang dan memberi ruang bagi kaum muda untuk berekspresi melalui bisnis.
Industri kreatif di Bandung, yang banyak dilakukan oleh kaum muda, meliputi beberapa jenis usaha, dengan yang terbanyak adalah desain grafis. Bisnis ini bisa dilihat dalam berbagai produk, mulai dari kaos, media advertensi, hingga berbagai produk fesyen lainnya. Meski sebagian besar beroperasi dalam skala kecil dan menengah, sektor ini terus berkembang pesat. Hal ini menunjukkan bahwa kreativitas dan inovasi sangat penting dalam menjalankan bisnis, terutama dalam dunia kewirausahaan masa kini.
Dengan keberagaman produk dan kreativitas yang ditawarkan, industri distro di Bandung menjadi salah satu contoh sukses bagaimana anak muda dapat mengembangkan usaha mereka di bidang fesyen dan desain, dan sekaligus membawa dampak positif bagi perekonomian kota, salah satunya bagi Atang.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB