MULUNG TANJUNG #6: Bung Karno Masa Muda dan Masa Kecil Saya
Buku Bung Karno Masa Muda ditulis berdasarkan wawancara seorang wartawan bernama S. Saiful Rahim, pada Ibu Wardoyo atau Sukarmini, kakak Bung Karno satu-satunya.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
4 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Sejak kecil saya sangat suka membaca, apa pun akan saya baca. Bahkan iklan-iklan di papan reklame jalan tak luput dari tangkapan mata saya. Kesukaan saya untuk membaca ini diawali oleh kebiasaan bapak membeli surat kabar. Setiap hari Pikiran Rakyat menjadi sarapan pagi bapak, keasyikan bapak membaca membuat saya penasaran dengan benda bernama surat kabar itu.
Ketika kakak saya mulai masuk sekolah, di rumah ada aktivitas belajar membaca, saya yang masih balita ikut-ikutan sibuk belajar, istilah dalam bahasa Sunda disebut tuturut munding. Yang pada awalnya hanya meniru, akhirnya saya jadi ikut mengenal huruf. Hal yang ibu saya ingat adalah ketika saya membaca satu tulisan "agogo", saat itu saya masih sering tertukar huruf G dan C, sehingga saya membacanya menjadi "acoco". Maklumlah... namanya juga balita.
Setelah puas dengan buku pelajaran membaca milik kakak, saya pun mulai mengganggu bapak dengan ikut membaca surat kabar. Saya menjadi seorang balita yang membaca Pikiran Rakyat. Masa kecil saya memang diwarnai beberapa buku yang sepertinya bukan bacaan anak kecil, tapi saya membacanya dengan senang hati, dan meninggalkan kesan cukup dalam. Ketika duduk di sekolah dasar, saya membaca buku Bung Karno Masa Muda, Lalaki jeung Jajatenna; buku kumpulan cerita pendek karya Trisnoyuwono, yang disadur ke dalam bahasa Sunda oleh Min Resmana; komik wayang karya R.A. Kosasih, majalah Sunda Gondéwa, Manglé, novel-novel Balai Pustaka, majalah Hai, bahkan koran kriminal yang memberitakan pembunuhan yang membuat saya susah tidur karena ketakutan. Buku tulisan Haryoto Kunto pun saya baca entah saat saya di bangku Sekolah Dasar atau Sekolah Menengah Pertama.
Buku Bung Karno Masa Muda adalah salah satu buku yang berkesan buat saya. Ini awal mula saya mengenal sosok proklamator ini. Banyak hal yang saya ingat, salah satunya adalah bahwa Bung Karno di masa kecilnya adalah seorang anak laki-laki yang pemberani dan doyan berkelahi.
"Anak itu pemberani dan doyan berkelahi. Tidaklah aneh bila suatu hari Karno pulang dengan muka yang bengkak-bengkak. Bahkan terasa aneh bila dia pulang dengan muka yang mulus," ujar Ibu Wardoyo tentang adiknya itu (halaman 8).
Ya, buku ini ditulis berdasarkan wawancara yang dilakukan seorang wartawan bernama S. Saiful Rahim, pada Ibu Wardoyo atau Sukarmini, kakak Bung Karno satu-satunya. Buku yang diterbitkan pada tahun 1978 ini menjadi buku yang sering saya sebutkan jika saya ditanya buku apa yang pernah dibaca dan berkesan buat saya. Ketika duduk di bangku sekolah dasar itu saya sangat bangga mengetahui bahwa nama lahir Bung Karno adalah Kusno. Dan saya sangat menyukai menyebut Bung Karno sebagai Kusno, sampai saat ini. Apalagi setelah saya membaca bahwa Ibu Inggit pun memanggil si Bung dengan Engkus, atau Kus, dari Kusno.
Nama Kusno yang akhirnya diganti karena Bung Karno sakit-sakitan di masa kanak-kanaknya, menurut saya lebih Jawa dan lebih merakyat, itu yang membuat saya menyukai dan sering menyebutnya Kusno dalam tulisan-tulisan saya.
Masa kecil yang serba kekurangan, pernah membuat Bung Karno menangis tersedu karena tak mampu membeli petasan untuk dinyalakan di malam lebaran seperti anak-anak lainnya. Maka ketika ia mendapat oleh-oleh sebungkus kecil petasan dari tamu Raden Soekemi, ayahnya, tak kepalang bahagia dan suka hatinya. Kebiasaan makan sederhana pun membuatnya senang bermain di sungai untuk sekadar menangkap ikan kecil yang bisa dimasak oleh ibunya, dan menjadi lauk makan. Tapi suatu hari, kebiasaan bermain di sungai yang menghabiskan waktu lama karena sekalian menangkap ikan, malah memancing kemarahan ayahnya. Ketika pulang rasa suka citanya karena mendapatkan ikan, seketika berganti menjadi duka karena dihadiahi pukulan rotan dari sang ayah yang marah karena khawatir. Pelipur duka Sukarno adalah pelukan sayang sang ibu, Idayu.
Ketampanan Bung Karno juga memikat para gadis Belanda, sebut saja Rika Meelhuysen, cinta pertamanya di usia empat belas tahun, lalu Pauline Gober, Laura Raat, dan Mien Hessels. Bahkan dia yang saat itu berusia delapan belas tahun, sempat menemui ayah Mien dan meminta izin untuk memacari sang putri. Dan tentu saja ditolak dengan keras, bahkan ayah gadis yang dicintainya itu menyebutnya inlander kotor dan binatang kotor. Sukarno sakit hati tentu saja. Tapi justru pada akhirnya kejadian itu dianggapnya sebagai rahmat Tuhan ketika dua puluh tiga tahun kemudian dia bertemu seorang wanita Belanda tua gemuk, tak terurus yang menyebutkan namanya "Mien Hessels".
Raden Soekemi yang keras pada anaknya sebetulnya sangat besar kasih sayangnya. Hal ini disampaikan Ibu Wardoyo yang mengisahkan bahwa Bung Karno menderita sakit yang cukup lama ketika berusia sebelas tahun. Selama dua bulan setengah Bung Karno sakit, selama itu pula ayahnya selalu tidur di kolong tempat tidur Bung Karno. Konon kepercayaan Raden Soekemi mengharuskan dia tidur di kolong tempat tidur putranya agar bisa mencurahkan kekuatan dari tubuhnya untuk membantu penyembuhan Bung Karno.
Baca Juga: MULUNG TANJUNG #4: Anomali Karnadi Bandar Bangkong dalam Cerita dan Realita
MULUNG TANJUNG #5: Merajut dan Merenda, Hobi dengan Banyak Manfaat
Bung Karno yang lahir bersamaan dengan meletusnya Gunung Kelud di waktu fajar, lahir tanpa bantuan bidan ataupun dokter, tapi dengan bantuan ayah dan seorang teman ayahnya. Dia tumbuh bersama kasih sayang ayah, ibu, kakak, serta Sarinah sang pengasuh yang dikasihinya. Sarinah menjadi tempatnya mencurahkan segala perasaan yang dipendamnya. Sarinah menjadi ibu kedua untuknya. Peran ibu juga didapatkannya dari Ibu Tjokroaminoto, namun karena kesibukan Bu Tjokro dalam mengurus rumah tangga serta anak-anak kos lainnya. Bung Karno sering merasa kehilangan figur ibu. Hal ini menyebabkan Bung Karno beralih untuk mendapatkan figur ibu kepada Mbok Tambeng, pembantu rumah tangga keluarga Tjokro yang sangat baik dan perhatian padanya.
Karena membaca buku ini pula saya mengenal nama Ibu Inggit. Istri kedua Bung Karno itu disebut oleh Bu Wardoyo saat bercerita tentang peristiwa penahanan Bung Karno di penjara Banceuy dan Sukamiskin, Bandung. Bagaimana Inggit berjuang di luar tahanan agar Bung Karno tetap mendapatkan berita tentang perjuangan bangsa. Dan bagaimana Ibu Inggit berjuang untuk memenuhi nafkah keluarga.
Pada bagian lain buku ini disampaikan pula tulisan yang memuat pendapat ibu Fatmawati tentang Bung Karno. Satu hal yang menarik pada bagian ini adalah ketika saya membaca bahwa Bung Karno mempunyai kemampuan menyembuhkan orang saat dia kecil. Namun kemampuan itu menghilang ketika Bung Karno menginjak usia remaja. Dan ketika putra-putrinya sakit Bung Karno selalu menyerahkan pengobatan serta perawatannya pada dokter dan perawat. Konon beliau tidak mempercayai hal-hal berbau takhayul.
Buku ini menjadi salah satu bagian dari masa kecil saya. Menjadikan saya bangga merasa sebagai anak SD yang jauh lebih tahu siapa itu Bung Karno di masa muda, dan membentuk kecintaan saya pada sejarah. Suatu keberuntungan saat ini saya bisa memiliki kembali buku ini sebagai hadiah dari seorang teman. Mendapatkan kembali buku ini membuat saya seolah menemukan satu bagian puzzle masa kecil saya.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung