• Cerita
  • Masjid An-Nuur Citi di Cibuntu, Menyemai Harapan di Saat Bandung Darurat Sampah

Masjid An-Nuur Citi di Cibuntu, Menyemai Harapan di Saat Bandung Darurat Sampah

Masjid An-Nuur Citi lebih dari pusat ibadah di Kelurahan Cibuntu. Menjadi tempat pengelolaan sampah organik bagi warga sekitar.

Sampah Organik Dapur (SOD) disetorkan oleh salah satu ibu jamaah Masjid An-Nuur Citi kepada Zuki, Rabu, 16 Juli 2025. (Foto: Abdul Hakim Ghibran/BandungBergerak)

Penulis Abdul Hakim Ghibran dan Arini Rahma Apriani5 Agustus 2025


BandungBergerak.id — Di tengah krisis sampah yang terus membelit Kota Bandung, ibu-ibu di Cibuntu Tengah memilih langkah kecil. Setiap siang, usai urusan dapur selesai, mereka keluar rumah mengenakan daster dan sandal jepit, tangan menggenggam kantong plastik berisi sisa sayur, kulit buah, atau ampas dapur lainnya. Mereka menyusuri gang-gang sempit sambil menggenggam kantong berisi sampah dapur, menyetorkannya ke masjid.

Masjid tersebut bernama Masjid An-Nuur Citi. Terletak di daerah Cibuntu Tengah RT 12 RW 06, Kecamatan Bandung Kulon, Kota Bandung. Daerah ini dikenal sebagai sentra produksi tahu. Tak heran jika pabrik tahu mudah ditemukan di sekitar wilayah ini–termasuk di depan Masjid An-Nuur Citi.

Di balik produktivitasnya, Kelurahan Cibuntu juga merupakan salah satu kawasan padat di Kota Bandung. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bandung, pada tahun 2024 tercatat sebanyak 18.673 jiwa tinggal di daerah tersebut. Seperti banyak permukiman padat lainnya, persoalan sampah menjadi hal yang nyaris tak terelakkan. Sampah rumah tangga menumpuk, saluran air kerap tersumbat, dan bau tak sedap menjadi keluhan yang akrab terdengar.

Bagi ibu rumah tangga, sampah organik dapur (SOD) kerap menjadi beban pikiran mereka. Namun, pengelolaan sampah yang dilakukan Masjid An-Nuur Citi membawa secercah harapan. Hampir setiap hari, sisa dapur dari rumah seperti kulit buah, sisa sayuran, mereka titipkan ke ruang pengolahan di lantai dua masjid. Siti (47 tahun), yang menjadi salah satu warga yang aktif menyetor sisa-sisa dapur ke masjid, merasakan langsung dampaknya.

"Memang ada perubahan, namun tidak berkurang secara drastis tetapi bertahap," ucap Siti, Jumat, 25 Juli 2025.

Di balik geliat pemilahan sampah yang mulai tumbuh, mereka perlu menghadapi tantangan tersendiri. Sebagian besar warga belum terlalu sadar akan pentingnya pemilahan dan pengurangan sampah, terutama untuk jenis nonorganik. Namun sedikit demi sedikit, praktik pengelolaan sampah mulai dibicarakan setidaknya di lingkaran kecil yang sudah ikut terlibat. Dari sana, proses bergerak perlahan.

Salah satu warga yang juga mahasiswa, Nayla Zahara (21 tahun), program pemilahan sampah bukan sekadar pengelolaan limbah. Kebiasaan kecil memisahkan sampah dapur perlahan membentuk pola hidup baru yang lebih ramah lingkungan.

“Sangat membantu untuk mengurangi sampah makanan di rumah. Banyak yang merasa terbantu atas program ini,” ujar Nayla yang rumahnya tak jauh dari masjid Masjid An-Nuur Citi, saat ditemui, Jumat, 25 Juli 2025.

Baca Juga: Tahun Baru Sunda di Cireundeu
Orang Muda Lintas Iman Bandung Menyuarakan Keadilan Iklim dengan Jurnalisme

Di ruangan khusus Masjid An-nur Citi terdapat pusat pengelolaan sampah organik, Rabu, 16 Juli 2025. (Foto: Abdul Hakim Ghibran/BandungBergerak)
Di ruangan khusus Masjid An-nur Citi terdapat pusat pengelolaan sampah organik, Rabu, 16 Juli 2025. (Foto: Abdul Hakim Ghibran/BandungBergerak)

Lantai 2 Masjid

Setelah menunaikan salat, Zuki segera mengenakan kembali sandalnya. Ia menaiki tangga masjid menuju lantai dua yang bertransformasi menjadi pusat pengelolaan sampah organik.

Di tengah peliknya persoalan sampah, sebuah inisiatif sederhana dari Masjid An-Nuur Citi mulai menyulut perubahan. Masjid An-Nuur Citi mulai bergerak aktif dalam mengelola sampah sejak tahun 2024. Fokus utama pengelolaan sampahnya adalah sampah organik, khususnya Sampah Olahan Dapur (SOD) seperti sisa makanan, sayuran busuk, hingga kulit buah yang dibuang warga.

Setiap harinya sampah organik dikumpulkan dan diserahkan kepada Zuki serta rekan-rekannya untuk diolah. Seluruh sampah yang masuk pun tak langsung diproses begitu saja, masing-masing dicatat secara rinci dalam buku data harian SOD sebagai bentuk pengawasan dan dokumentasi.

“Kalau dirata-rata, per hari bisa masuk sekitar 100 sampai 150 kilogram SOD untuk kita kelola,” kata Zuki, Rabu,16 Juli 2025.

Selain itu, lantai dua Masjid An-Nuur Citi memiliki beberapa ruangan yang difungsikan untuk berbagai kegiatan pengelolaan lingkungan. Di antaranya terdapat ruang khusus untuk budidaya maggot, mulai dari fase baby maggot, ruang pemeliharaan lalat Black Soldier Fly (BSF), serta ruang untuk ternak ayam, dan pengelolaan tanaman.

Untuk mengolah SOD, Zuki menggunakan maggot sebagai senjata utamanya. Budidaya maggot, khususnya larva dari lalat Black Soldier Fly (BSF), telah terbukti menjadi langkah yang efektif dalam mengurai sampah organik. Maggot mampu “melahap” sisa dapur dalam jumlah besar hanya dalam hitungan hari. Dalam prosesnya, limbah-limbah dapur yang semula menumpuk dan berbau, berubah menjadi biomassa bernutrisi tinggi yang kemudian dimanfaatkan sebagai pakan ternak atau pupuk alami.

Di balik tubuh mungilnya, maggot memiliki siklus hidup yang menakjubkan. Berawal dari telur yang menetas menjadi larva atau dikenal dengan baby maggot, ia mulai menjalankan tugasnya melahap sampah dapur yang menumpuk. Dalam waktu sekitar 7 hingga 10 hari, larva tersebut tumbuh dengan cepat, memakan sisa makanan, kulit buah, dan sayur busuk tanpa tersisa.

Setelah mencapai fase prepupa, maggot akan berhenti makan dan bersiap bermetamorfosis menjadi lalat dewasa jenis Black Soldier Fly (BSF). Berbeda dengan lalat rumah pada umumnya, lalat BSF hanya hidup untuk kawin dan bertelur, kemudian siklus pun berulang.

Di seberang ruang budidaya maggot, suara ayam petelur bersahut-sahutan memecah hening siang. Mereka mengais pakan yang sebagian besar dari maggot kering. Tak hanya itu, telur-telur yang dihasilkan kemudian diperjualbelikan kepada warga sekitar dengan harga di bawah harga pasar, sebagai bentuk kebermanfaatan yang terus mengalir.

Di ujung ruangan, tanaman cabai, sawi, dan kangkung tumbuh rapat dalam deretan polybag. Tanah tersebut terlihat hitam pekat, gembur dan tumbuh subur di lahan terbatas milik masjid. Mereka disiram dan dipupuk dengan kompos hasil olahan frass, sisa penguraian maggot. Bermula dari sampah dapur untuk pangan maggot, dari maggot menjadi pakan, dari kotorannya tumbuh tanaman. Di lantai dua masjid ini tak ada yang benar-benar dibuang, semuanya kembali ke tanah dan ke tangan warga yang menyambutnya.

Sekitar seratus meter di luar ruangan budidaya maggot, anak-anak berlarian bermain sepakbola di tengah jalan. Di samping mereka, motor-motor terparkir manis di antara tumpukan sampah anorganik yang terlihat berserakan dalam gerobak penampung. Tumpukan itu seolah menciptakan kontras yang tajam di lingkungan sekitar.

Masjid An-Nuur Citi, Kelurahan Cibuntu, Bandung menjadi pusat kegiatan ibadah dan gerakan peduli lingkungan, Rabu, 16 Juli 2025. (Foto: Arini Rahma Apriani/BandungBergerak)
Masjid An-Nuur Citi, Kelurahan Cibuntu, Bandung menjadi pusat kegiatan ibadah dan gerakan peduli lingkungan, Rabu, 16 Juli 2025. (Foto: Arini Rahma Apriani/BandungBergerak)

Melihat fenomena tersebut, Budi, Ktua RT 12 mengatakan, pengelolaan maggot oleh warga masjid sebagai bentuk perlawanan dari titik kecil di tengah gunungan masalah. Namun dirinya sadar, program seperti ini tidak bisa berjalan sendirian. Kondisi ini diperparah dengan ditutupnya tempat pembuangan sementara (TPS) Suryani selama dua bulan terakhir. Meski menghadapi tantangan, Budi tetap menyimpan asa. Ia membayangkan agar setiap RT bisa meniru model pengelolaan mandiri seperti di Masjid An-Nuur Citi. Tidak harus dengan maggot, bisa juga lewat kompos, ember tumpuk, atau bank sampah.

“Sebenarnya, ini butuh kerja sama juga dengan pemerintah dalam mendorong masyarakat,” kata Budi, Rabu, 16 Juli 2025.

Sampah masih menjadi cerita panjang di Kota Kembang. Bebassampah.id melaporkan, Kota Bandung menghadapi masalah serius terkait pengelolaan sampah, terutama setelah terjadinya kebakaran di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sarimukti pada Agustus 2023. Kebakaran di TPA yang sudah kelebihan muatan itu memicu status darurat sampah yang ditetapkan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung.

Berdasarkan data dari Dinas Lingkungan Hidup Kota Bandung, jumlah timbulan sampah di Kota Bandung mencapai 1.594 ton per hari. Tiga jenis sampah terbanyak adalah sisa makanan 44.52 persen, sampah plastik 16.7 persen, dan sampah kertas/katon 13.12 persen. Bebassampah.id mengingatkan, jika setiap tahunnya tidak ada pengurangan sampah di Kota Bandung maka yang akan terjadi Bandung lautan sampah, mengingat kota ini tidak memiliki Tempat Pembuangan Akhir tersendiri. 

Sebuah ironi, ketika kota yang konon harum namanya justru dibayang-bayangi oleh bau tak sedap dari masalah yang tak kunjung selesai. Di tengah situasi darurat sampah, Masjid An-Nur Citi bergerak memberi arah bahwa perubahan bisa lahir dari ruang ibadah, melalui sisa dapur rumah.

*Liputan ini bagian dari program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism) yang diinisiasi Eco Bhinneka Muhammadiyah dan berkolaborasi dengan BandungBergerak 

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//