Orang Muda Lintas Iman Bandung Menyuarakan Keadilan Iklim dengan Jurnalisme
Masa depan ada di tangan orang-orang muda. Apa yang harus dilakukan jika bumi mereka rusak karena perubahan iklim dan keserakahan?
Penulis Tim Redaksi13 Juni 2025
BandungBergerak.id - Krisis iklim bukan hanya persoalan lingkungan, melainkan juga krisis moral dan keadilan yang menuntut solidaritas lintas iman. Maka, Eco Bhinneka Muhammadiyah bekerja sama dengan BandungBergerak menyelenggarakan lokakarya Jurnalisme Pemuda Lintas Iman tentang Keadilan Iklim sebagai bagian dari rangkaian program SMILE (Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism).
Workshop ini fokus pada isu “Bandung Lautan Sampah”, sebagai cerminan nyata krisis iklim dan ketidakadilan lingkungan yang tengah dihadapi masyarakat urban. Pemuda lintas iman, selaku peserta lokakarya, memiliki potensi besar untuk menyuarakan isu-isu ini melalui jurnalisme yang empatik, mendorong kepemimpinan lintas iman, dan mewujudkan perubahan berkelanjutan yang dikawal oleh literasi dan karya nyata.
Lokakarya ini diawali dengan pembukaan pendaftaran dan seleksi beasiswa liputan pada 21 Mei – 7 Juni 2025. Sebanyak 16 peserta terpilih telah diumumkan pada 11 Juni 2025, terdiri dari 8 laki-laki dan 8 perempuan dengan latar belakang agama dan organisasi kepemudaan yang beragam di Kota Bandung.
Kamis, 12 Juni 2025, lokakarya perdana resmi digelar secara daring, dengan menghadirkan narasumber Parid Ridwanuddin dari GreenFaith Indonesia, yang menyampaikan materi bertema “Merajut Harmoni, Menyelamatkan Bumi: Peran Pemuda Lintas Iman dalam Krisis Iklim”.
“Kita punya gerakan besar yang menjadi modal penting mendorong perubahan. Kita juga punya dukungan publik yang semakin kuat. Saat ini, dukungan terhadap gerakan lingkungan relatif lebih luas, dan hal itu harus kita manfaatkan untuk mendukung perubahan nyata,” ujar Parid.
Ia juga menekankan pentingnya keresahan generasi muda sebagai titik awal dari perubahan. Orang muda, khususnya usia 0–40 tahun, menurut riset UNDP, adalah kelompok yang paling resah terhadap krisis iklim. “Rasa resah ini penting sebagai bahan bakar untuk bergerak,” tandas Parid.
Parid menambahkan, kampanye lingkungan bisa dilakukan lewat tulisan dan pendekatan lintas iman. Isu agama bisa dikaitkan dengan lingkungan.
“Itu menarik jika kita mau membangun narasi lintas iman. Perubahan bisa dimulai dari paradigma dan perilaku, lalu meluas menjadi gerakan besar,” jelasnya.
Dalam situasi krisis ini, Parid menegaskan bahwa konsolidasi strategis amat penting untuk melakukan advokasi terhadap kebijakan, terutama untuk mengkritik eksploitasi sumber daya alam dan perampasan ruang hidup masyarakat.
Hening Parlan, Direktur Eco Bhinneka Muhammadiyah, mengungkapkan bahwa program Jurnalisme Pemuda Lintas Iman tentang Keadilan Iklim tidak hanya berbasis data, tapi juga spiritualitas lintas iman yang menjadi kekuatan utama dalam advokasi lingkungan.
“Kita menggunakan nilai-nilai keagamaan sebagai spirit gerakan. Rumah ibadah bisa menjadi basis gerakan anak-anak muda lintas agama. Di sini, kita selain belajar menyuarakan dengan berbasis data, namun juga menyuarakan dengan membawa juga nilai-nilai ajaran agama atau keyakinan,” terang Hening.
Ia menegaskan bahwa semua agama mengajarkan manusia untuk menjaga bumi. Islam mengajarkan bahwa kebersihan sebagian dari iman. Dalam Hindu ada Tri Hita Karana. Dalam Kristen, bumi diciptakan bukan untuk dirusak, tapi dijaga. Dan seterusnya.
“Di seluruh dunia sekarang disadari bahwa krisis iklim tidak cukup ditangani oleh intelektual kampus atau LSM. Lebih dari 2.000 riset dalam pertemuan lingkungan internasional mengakui bahwa akar masalahnya adalah keserakahan. Maka dari itu, narasi kita harus kuat: menyampaikan melalui data, tulisan, dan nilai agama,” papar Hening.
Baca Juga: Perubahan Iklim dan Hancurnya Kerajaan Akkadia
Bencana Alam, Perubahan Iklim, dan Jejak Hutan Tropis Bandung

Perempuan Penjaga Lingkungan
Amalia Nur Milla, Ketua Divisi Lingkungan Hidup LLHPB PWA Jawa Barat, menyampaikan pengalaman Aisyiyah dalam membangun narasi lingkungan melalui kultum dan kisah dari akar rumput. Mereka sudah menyusun 73 naskah kultum dari ibu-ibu Aisyiyah se-Jabar. Di dalamnya ada cerita-cerita nyata dari daerah mereka yang menjadi inspirasi ajakan untuk peduli lingkungan.
“Saya berharap karya jurnalistik dari teman-teman muda ini juga bisa menghadirkan narasi serupa yang menyentuh,” ujar Amalia.
Ia berharap peserta workshop bisa terinspirasi dan melampaui pencapaian para ibu-ibu Aisyiyah. Ia menegaskan, menjaga lingkungan adalah bagian dari keimanan manusia, bagian dari ibadah yang harus dilakukan.
“Sebagai pemimpin di bumi, kita tidak boleh merusak bumi, justru wajib menjaganya. Anak muda punya kreativitas dan bisa menjadi teladan gaya hidup ramah lingkungan,” tambahnya.
Tri Joko Her Riadi, Pimpinan Redaksi BandungBergerak menyampaikan semangat jurnalisme warga yang diusung dalam workshop ini. “BandungBergerak dikenal karena keberpihakannya dan cara kami menampilkan cerita warga biasa. Kami percaya, suara-suara kecil dari pinggiran adalah suara penting yang layak diceritakan. Mereka adalah saksi langsung dari krisis lingkungan yang tidak tertangkap oleh narasi besar media arus utama,” kata Tri Joko.
Ia menambahkan, proses pelatihan ini akan berlangsung selama satu setengah bulan dan menjadi ruang belajar bersama. “Kita akan belajar cara bercerita, mendekati isu keberagaman, inklusivitas, dan keadilan iklim. Teman-teman akan turun ke lapangan, bertemu warga, menggali data dari bawah—bukan dari versi pemerintah. Nanti akan ada pendampingan merancang liputan, belajar foto jurnalistik, hingga menulis dari perspektif lintas iman dan keadilan lingkungan,” jelasnya.
Pelatihan dibagi menjadi dua tahap: sesi daring untuk pembekalan teori lintas iman dan keadilan iklim, serta sesi luring untuk materi jurnalistik dan praktik langsung di lapangan. Para narasumber memberikan materi komprehensif, dari visi program hingga pentingnya jurnalisme yang berpihak pada keberlangsungan hidup.
Sebagai bagian dari rangkaian program SMILE, agenda selanjutnya adalah forum diskusi yang akan dilaksanakan pada 13 Juni 2025, dengan dua topik utama: “Mengadvokasi Keadilan Iklim dari Akar Rumput” dan “Keadilan Iklim, Urgensi Sampah, dan Spirit Green Rumah Ibadah.” Tanggal 22 Juni 2025 para peserta akan mengikuti workshop luring intensif yang mencakup pelatihan dasar jurnalistik, foto jurnalistik, serta praktik langsung merancang dan mempersiapkan liputan lapangan.
Diketahui, Eco Bhinneka Muhammadiyah saat ini tengah melaksanakan program Strengthening Youth Multifaith Leader Initiative on Climate Justice through Ecofeminism (SMILE), yaitu inisiatif untuk memperkuat kepemimpinan kaum muda lintas iman dalam menghadapi perubahan iklim melalui pendekatan keadilan gender dan ekofeminisme. Program ini mendorong keterlibatan aktif generasi muda—terutama perempuan dan kelompok disabilitas—dalam membangun kesadaran, pengetahuan, dan aksi konkret dalam mencegah serta menghadapi krisis iklim. Salah satu pelaksanaan utama program ini berada di Jawa Barat. Kegiatan Eco Bhinneka Muhammadiyah dapat diikuti melalui website ecobhinnekamuhammadiyah.org dan Instagram @ecobhinneka.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB