Bencana Alam, Perubahan Iklim, dan Jejak Hutan Tropis Bandung
Pembalakan hutan (deforestasi) dianggap sebagai faktor penyumbang terjadinya perubahan iklim. Memicu berbagai bencana alam dan penyakit endemik.
Johan Arif
Peneliti Geoarkeologi & Lingkungan di ITB, Anggota Kelompok Riset Cekungan Bandung.
13 April 2024
BandungBergerak.id – Di perbukitan sebelah timur-laut kota Bandung sekarang banyak terjadi perubahan fungsi lahan dari kawasan hutan hujan tropis menjadi kawasan pertanian dan pemukiman. Sisa dari hutan hujan tropis di Bandung adalah Gupusmu milik TNI-AD dengan luas sekitar 3x4 km2 di Cikutra, dan Hutan Wisata Ir..Haji Djuanda. Terlihat di sini bukit-bukit yang berada di sekitar hutan sudah gundul dan dipenuhi oleh pemukiman dll.
Keberadaan suatu hutan di suatu kawasan paling tidak bisa mengurangi terjadinya bencana alam yang akan terjadi akibat dari adanya perubahan iklim. Seperti kita ketahui salah satu fungsi hutan adalah meningkatkan proses penguapan air yang mana hal ini akan mengurangi jumlah air yang mengalir di permukaan. Kalau hutan di pegunungan hilang maka air hujan akan mengalir ke tempat yang lebih rendah dan sungai-sungai tidak mampu menampung aliran air tersebut karena debitnya terlalu besar. Keadaan ini lebih diperparah lagi kalau di sekitar bantaran sungai-sungai telah dijadikan kawasan pemukiman. Untuk itu perbaikan ekologi perlu dilakukan walaupun hal ini bukan sesuatu yang mudah karena jumlah populasi manusia terus bertambah.
Hutan menempati sekitar sepertiga luas daratan bumi, mengandung sekitar 70% karbon yang terdapat pada makhluk hidup. Hutan dihormati dalam cerita rakyat dan disembah dalam agama kuno. Namun, hutan menjadi korban utama peradaban seiring dengan peningkatan populasi manusia selama beberapa ribu tahun terakhir, yang menyebabkan masalah deforestasi dll.
Hutan hujan tropis adalah ekosistem terestrial paling produktif di dunia. Tingkat energi matahari yang tinggi, dikombinasikan dengan suhu yang cukup seragam, kelembapan yang tinggi dan curah hujan yang relatif tinggi, memberikan kondisi iklim yang sangat baik untuk pertumbuhan tanaman. Selain itu, hutan hujan sangat efisien dalam mendaur ulang sebagian besar unsur hara dengan cepat.]
Baca Juga: Belajar dari Perusakan Ranca Upas, Hutan Lindung Harga Mati!
Kawanan Monyet Liar Merambah Permukiman Kota Bandung, Kehilangan Hutan dan Makanan Diduga Kuat Menjadi Penyebabnya
Meninjau Penciptaan Bumi Berdasarkan Al-Qur'an dan Geosains
Perubahan Iklim & Bencana
Isu perubahan iklim akhir-akhir ini menjadi hal yang menarik dan telah menjadi pembicaraan masyarakat dunia karena akibat yang ditimbulkannya dianggap memberikan efek yang cukup dahsyat bagi ekosistem bumi beserta penghuninya. Pakar lingkungan mengatakan bahwa suhu di bumi telah naik sekitar 0,6 °C sejak memasuki abad ke-20 dan bahkan menjelang tahun 2100 suhu di bumi akan lebih naik lagi antara 1,5°C hingga 6°C. Sebagian besar pakar lingkungan sepakat bahwa penyebab dari perubahan iklim tersebut disebabkan oleh peningkatan gas rumah kaca (greenhouse effect) karena aktivitas manusia.
Peningkatan efek gas rumah kaca ini sebenarnya merupakan fenomena alam biasa karena bumi bersifat dinamis, tetapi hal ini bisa lebih dipercepat oleh aktivitas manusia seperti pemakaian bahan bakar fosil untuk industri dan transportasi, pembakaran hutan yang menyebabkan peningkatan CO2 diudara dan aktivitas manusia lainnya yang dapat meningkatkan konsentrasi gas-gas seperti CFCs (chlorofluorocarbon), ozone, methan dan nirous oxides, serta aktivitas pembalakan hutan (deforestasi).
Deforestasi
Di sebagian besar negara dunia ketiga yang terletak di kawasan tropis seperti Indonesia, pembalakan hutan (deforestasi) juga dianggap sebagai faktor penyumbang bagi terjadinya perubahan iklim yang menjadi lebih panas walaupun peningkatan suhu tersebut hanya bersifat lokal saja dan tidak menyeluruh menurut pendapat beberapa pakar. Tetapi dampaknya dapat menimbulkan berbagai bencana, antara lain, tanah longsor, terganggunya keseimbangan sistim air tanah dan air permukaan, hujan asam, timbulnya penyakit endemik dan lain-lain.
Kita biasanya selalu mengaitkan bencana alam yang terjadi di Indonesia yang telah menelan banyak korban jiwa dan harta benda dengan adanya perubahan iklim walaupun belum diketahui apa faktor penyebabnya apakah karena peningkatan efek gas rumah kaca atau deforestasi atau sebab yang lain. Sebut saja longsor di Cianjur yaitu di kecamatan Cempaka dan Cibeber pada tahun 2008, galogo (banjir lumpur dan batu) di Kabupaten Agam dan Tanah datar, Sumatra Barat, jebolnya waduk situ Gintung di Tangerang pada tahun 2009 dan banjir bandang di Hambung Hasundutan Sumatra Utara pada akhir tahun 2023 yang diduga disebabkan oleh adanya deforestasi.
Jika kita hubungkan siklus pergantian iklim dengan bencana banjir, tampaknya banjir yang melanda di beberapa daerah di Indonesia disebabkan oleh fenomena alam yaitu naiknya muka air laut. Tetapi hal yang dapat memperparah dan mempercepat terjadinya bencana ini bisa juga akibat ulah manusia, sebut saja masyarakat yang membangun hunian di bantaran sungai sehingga lebar sungai menjadi kecil dan sempit dan mentalitas masyarakat yang buruk terhadap lingkungan seperti membuang sampah di sungai. Sementara itu hutan-hutan di kawasan resapan air hujan di pegunungan di mana tempat bermulanya mata-air dari sungai-sungai yang mengalir ke laut ditebang dan diubah fungsinya menjadi kawasan pertanian bahkan pemukiman.
Perubahan Iklim Zaman Plestosen-Holosen
Isu adanya perubahan iklim bukanlah perkara yang baru. Sejak tahun 1950-an banyak orang meneliti lapisan sedimen yang berasal dari laut dalam, terutama di Samudra Atlantik dan Pasifik. Dari hasil penelitian tersebut terungkap bahwa selama zaman Plestosen telah terjadi banyak siklus pergantian iklim antara dingin dan panas. Pada saat bumi mengalami iklim dingin yang disebut sebagai zaman es (glasial) luas daratan es di kutub utara bisa meluas hingga menutupi sebagian besar Eropa Utara dan Amerika Utara. Sedangkan di wilayah ekuator efek zaman glasial tersebut hanya berupa penurunan muka air laut yang mengakibatkan munculnya daratan baru yang tadinya berada di bawah permukaan laut.
Di Indonesia, kita mengenal ada dua daratan besar pada zaman Plestosen yaitu Daratan Sunda di Indonesia Barat dan Daratan Sahul di Indonesia Timur. Sebaliknya pada saat bumi mengalami iklim yang panas yang disebut sebagai zaman interglasial luas daratan es di kutub utara adalah seperti yang kita lihat sekarang dan di wilayah ekuator muka laut relatif naik dibanding pada zaman glasial.
Masa transisi dari zaman Plestosen ke zaman Holosen merupakan masa yang banyak dikaji orang. Puncak iklim dingin yang terakhir pada zaman Plestosen terjadi pada sekitar 35-13 ribu tahun yang lalu dan kemudian memasuki zaman Holosen iklim meningkat memasuki perioda interglasial yang panas dan kita sekarang berada pada masa transisi tersebut. Tetapi dalam perjalanannya iklim menjadi dingin kembali seperti kondisi zaman es (glasial). Fenomena ini dikenal sebagai Younger Dryas (YD) yang berlangsung dalam perioda yang pendek selama masa transisi akhir Plestosen Atas-Holosen Bawah antara 12,5-10,5 ribu tahun yang lalu. Fenomena YD ini ditandai dengan hadirnya tumbuhan yang biasanya tumbuh di kawasan kutub yaitu dryas octopelata. Tetapi, pada zaman akhir Plestosen Atas, pollen-nya (serbuk sari) ditemukan di sedimen-sedimen yang berumur antara 13-10 ribu tahun yang lalu, di Eropa barat laut (Swiss dan Greenland).