Menuju Festival Sa Pu Alam di Bandung, Hutan Adalah Ibu yang tak Boleh Dilukai
Pembangunan berbagai proyek oleh pemerintah di Papua tidak berpijak dari kultur masyarakat adat yang menolak pembabatan hutan sebagai ibu mereka.
Penulis Shakila Azzahra M8 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Hutan bagi orang Papua bukan hanya rangkaian pohon yang menjadi pemandangan indah ketika dilihat sambil berlalu. Hutan adalah Ibu yang merawat mereka dan perlu dijaga.
Namun, ketika berbicara tentang Papua, pemerintahan menyematkan istilah ‘pembangunan’ sebagai justifikasi dari perampasan ruang hidup warga, pembabatan hutan adat, dan intervensi aparat. Gagasan pembangunan di Papua bagi pemangku kebijakan terbatas pada hal-hal teknis untuk menguntungkan investor. Pembangunan cenderung berorientasi pada produksi dan keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek manusia dan alam.
Langit Terbelah di Tanah Papua
Kondisi memprihatinkan tanah Papua tergambar jelas dalam film dokumenter ‘Langit Terbelah di Tanah Papua’ karya The Gecko Project. Film ini mengabarkan sejak 2024 ribuan tentara bersenjata dan berbagai alat keruk berat dikerahkan di Merauke untuk melancarkan agenda pembangunan demi ketahanan pangan dan energi nasional bernama Proyek Strategis Nasional (PSN).
Sekitar 2,3 juta hektare lahan hutan di Merauke, Papua dikorbankan untuk PSN berupa industri perkebunan tebu, Proyek Padi Kumbe, dan Merauke Integrated Food and Energy Estate. Masyarakat adat tidak dilibatkan dalam perencanaan PSN. Aksi pelarangan dan protes masyarakat atas pembabatan hutan dan pembangunan pun tidak digubris oleh pemerintah setempat dan pemerintah pusat.
Yasinta Moiwend dari suku Malind merupakan salah satu masyarakat adat yang terdampak PSN. Bagi Yasinta, hutan adalah ibu. Hutan adalah bagian sakral dari kehidupan masyarakat adat Papua, warisan leluhur dan tempat mereka mencari makan untuk bertahan hidup. Mereka aman bersama ‘ibu’ mereka sebelum proyek pemerintah yang dikawal aparat bersenjata datang. Yasinta sekarang bahkan tidak bisa mengunjungi hutan karena tidak kuasa melihat kondisinya yang hancur.
Film dokumenter ini juga mengungkap kesaksian warga Senayu bernama Felomina yang menyuarakan keprihatinan akan kerusakan alam Papua. “Kalau hutan sudah begini, mau bagaimana lagi?”
Bagi Felomina, kerusakan alam bukan hanya soal lingkungan, tetapi juga soal hilangnya identitas dan budaya. Ia khawatir, jika dibiarkan, lama-kelamaan tradisi mereka akan punah. Burung-burung tak lagi bisa membuat sarang, sementara pohon-pohon yang biasanya mereka ambil untuk membuat tali cawat pun banyak yang rusak. Bahkan, burung kasuari yang bulunya biasa digunakan dalam upacara adat kini makin sulit ditemukan karena habitat dan sumber makanannya telah digusur.
Film dokumenter ini memperlihatkan bahwa pembangunan di Papua menambah beban rakyat yang sudah lama hidup sengsara. Tidak ada pembangunan sarana pendidikan, sarana kesehatan, atau sarana kebudayaan. Yang tersisa hanya hutan yang rusak dan proyek gagal yang kemudian ditinggalkan.
Tidak ada kompensasi bagi masyarakat adat yang hidupnya berubah karena tanah dan hutannya hancur. Kecuali rasa takut yang terus dipelihara dengan kehadiran aparat pengawal proyek. Pengerahan aparat bersenjata juga sebagai alat kontrol sosial yang mengintimidasi masyarakat setempat.
Baca Juga: Refleksi Sejarah Mahasiswa Papua di Gedung Merdeka
Mahasiswa Papua di Bandung Mengajak Memetik Pelajaran dari Bahaya Tambang Nikel di Raja Ampat

Stigma Tanah tak Bertuan Justifikasi Pembabatan Hutan
Pilamo dari Komite Sa Pu Alam menyampaikan, kehidupan orang Papua tidak bisa dipisahkan dari hutan dan alamnya. Ada keterikatan yang paling kuat antara orang Papua dan hutan.
“Orang Papua tidak jadikan hutan sebagai tempat produksi, tetapi orang Papua menganggap hutan itu adalah ibu, adalah Tuhan. Sehingga, ketika ada satu perusahaan yang masuk terus tiba-tiba dia membabat hutan, itu orang Papua akan merasakan kesakitan,” kata Pilamo.
Hutan dan ruang hidup masyarakat Papua di Merauke yang menjadi area PSN dilabeli sebagai ‘tanah kosong’ atau ‘tanah tak bertuan’. Narasi ini digaungkan buzzer yang menjustifikasi pembabatan hutan jutaan hektare untuk industri kayu, perkebunan, sawah, dan proyek tambang tanpa memedulikan kesejahteraan masyarakat setempat.
Ambrosius, anggota AMP yang pernah mengunjungi lokasi PSN di Merauke pada Desember 2024, mengatakan di Merauke jumlah penduduknya lebih banyak tentara dan polisi daripada masyarakat adat.
“Secara psikologis mereka (masyarakat) terganggu karena aparat setiap hari dengan senjata lengkap itu mendatangi rumah mereka. Selain itu, kalau hutan tempat keramat mereka dihancurkan, mereka sangat terpukul sekali. Ruang-ruang hidup mereka itu hancur,” begitu kesaksian Ambrosius.
Masyarakat di Merauke sudah melakukan upacara adat Sasi untuk menjaga kelestarian lingkungan dengan mengatur pemanfaatan sumber daya alam secara berkelanjutan yang melarang pengambilan hasil alam, baik di darat maupun di laut, selama periode tertentu. Masyarakat Merauke melalui tradisi leluhur yang dijaga turun temurun menolak pembabatan hutan adat dan lingkungan hidup di Papua. Upaya ini, beserta aksi penolakan perusakan alam Papua lainnya tidak digubris pemerintah.
“Sebenarnya negara ini tidak paham soal antropologi orang Papua. Negara hanya pikirkan bagaimana untuk mengekstraksi sumber daya alam orang Papua tanpa memperdulikan apa yang kekayaan orang Papua miliki, soal budaya dan sebagainya. 2,3 juta hektare ini negara sedang melakukan ekosida dan etnosida di Papua,” katanya.
Solidaritas untuk Melawan Penindas
Pemutaran film ‘Langit Terbelah di Tanah Papua’ merupakan Pra-Festival Sa Pu Alam yang digelar di Asrama Mahasiswa Papua, Bandung. Acara ini diwarnai diskusi, live mural, dan live music yang memberi ruang membangkitkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat Indonesia untuk menggugat perampasan ruang hidup dan hutan masyarakat adat Papua.
Sa Pu Alam Festival akan menjadi wadah bagi masyarakat untuk lebih mendengar dan mengenal Papua melalui cerita dan karya. Acara ini akan dikelola oleh Komite Sa Pu Alam yang terdiri dari AMP dan NGO lingkungan.
Festival akan digelar pada bulan September 2025 dengan tanggal dan lokasi yang akan diumumkan di Instagram @sapualam.fest. “Harapannya acara ini bisa membuat rantai kerja sama solidaritas kita yang mengikutinya, lebih sadar dengan kondisi yang terjadi di Papua seperti etnosida dan ekosida. Nanti suasananya akan seperti ini lagi, ruang terbuka untuk diskusi, santai aja, supaya bisa saling memahami,” jelas Sutami, anggota Komite Sa Pu Alam.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB