KELAS LIAR #1: Membedah Pola Penggusuran Kampung-kota Kota di Bandung
Warga korban penggusuran di kampung-kampung Kota Bandung membutuhkan pembelaan berbasis solidaritas dan kolaborasi. Warga berhak atas ruang hidup.
Penulis Tim Redaksi9 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Ancaman perampasan ruang hidup masih menghantui Kota Bandung. Dalam 10 tahun terakhir penggusuran menyasar ataupun mengancam kampung kota seperti Dago Elos, Kampung Kolase, Rumah Laswi, Anyer Dalam, Tamansari, dan Sukahaji. Kampung kota menjadi kawasan yang tak ramah bagi warganya.
Salah satu contoh mutakhir adalah Dago Elos yang sampai saat ini masih terancam direbut oleh keluarga Muller dan PT Inti Graga. Meski Muller bersaudara sempat menang dan dinyatakan sebagai pemilik sah tanah Dago Elos, warga yang memiliki hak ruang hidup terus berjuang menolak penggusuran.
Setahun sebelum sengketa tanah Dago Elos, tahun 2015 terjadi penggusuran kampung Kolase. Dengan mengusung pendekatan humanis di era Wali Kota Ridwan Kamil, kampung kolase hilang dari peta dan berubah menjadi Teras Cihampelas.
Empat tahun kemudian, Tamansari RW 11 menjadi sasaran penggusuran Pemerintah Kota Bandung untuk proyek rumah deret. Konflik Tamansari berlangsung panas. Ratusan aparat gabungan aparat keamanan mendesak warga Tamansari untuk mengosongkan rumah yang telah mereka huni berpuluh tahun.
Penggusuran berikutnya terjadi pada 2021 yang menimpa rumah para pensiunan KAI di Jalan Laswi oleh PT KAI. Dengan dalih pengamanan aset, beberapa keluarga terpaksa meninggalkan rumah mereka.
Di tahun yang sama, PT KAI menggusur kampung kota di Anyer Dalam, Kecamatan Batununggal. Kendati warga menolak, sebanyak 25 rumah akhirnya dirubuhkan.
Kasus sengketa tanah terbaru menimpa warga Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay. Sebanyak empat RW terancam digusur oleh pengusaha Junus Jen Suherman yang mengklaim tanah seluas 7,5 hektare. Dalam konflik tanah ini enam warga Sukahaji ditahan polisi dengan tuduhan menyerobot lahan.
Konflik agraria di Bandung menjadi pembuka Kelas Liar #1: Penggusuran, Tanah ini Milik Siapa? Membongkar Konflik Agraria dan Kekuatan Advokasi di Dago Elos yang digelar di Bale Warga Dago Elos, Kota Bandung, Sabtu, 2 Agustus 2025.
Sebanyak 20 peserta mendapatkan materi tentang akar konflik penggusuran hingga advokasinya. Kelas Liar dipandu oleh Ratu Tammi, peneliti dari Agrarian Resource Center (ARC), dan Yunita, Direktur LBH Pengayoman Unpar. Kelas liar adalah ruang belajar untuk membangun kesadaran kolektif terkait hak asasi manusia wabil khusus soal pemenuhan hak ruang hidup.
Alasan Kelas Liar diselenggarakan di Dago Elos antara lain untuk melihat dan memahami kasus penggusuran lebih dalam. Terlebih hingga saat ini warga Dago Elos tengah berjuang untuk mempertahankan kampung halaman mereka dari perebutan dan penggusuran.
“Kasus Dago Elos sama dengan menyadari bahwa tanah yang menjadi tempat tinggal puluhan tahun belum pasti dijamin oleh hukum,” ujar Ratu membuka materi Kelas Liar berjudul Ekspansi Tanpa Batas: Pola dan Mekanisme Pencaplokan Lahan Saat Ini.
Baca Juga: KABAR DARI REDAKSI: Kelas Liar
Warga Sukahaji Menolak Penggusuran, Mempertahankan Ruang Hidup Selama Berpuluh-puluh Tahun

Pencaplokan Lahan
Konflik agraria bisa dipahami melalui tiga lapisan konflik, di antaranya tindakan kekerasan dan perlawanan, konflik kepentingan, dan orientasi pembangunan. “Konflik Agraria itu sebenarnya bentuk keras dan ekstrem dari perebutan atas tanah dan objek lainnya di antara sekelompok orang atau masyarakat dengan kelompok lain. Biasanya masyarakat dengan negara atau korporat,” jelas Ratu Tammi.
Lapisan pertama, kekerasan dan perlawanan. Kekerasan bisa muncul dari aparat keamanan atau kelompok tertentu. Sementara perlawanan hadir untuk mempertahankan tanah oleh warga atau kelompok yang terancam digusur.
Lapisan kedua, kepentingan. Sering kali negara, korporat atau kelompok lainnya memiliki kepentingan tersendiri yang bertentangan dengan hak masyarakat. Lapisan ketiga, orientasi pembangunan yang kerap mengorbankan keadilan sosial dan keberlanjutan hak masyarakat.
Ratu juga menyebut dalam kasus sengketa tanah selalu ada orang yang saling mengklaim kepemilikan. Dalam hal ini warga biasanya terkendala legalitas seperti sertifikat. Di sisi lain, pihak pengklaim memiliki legalitas aspal (asli tapi palsu). Dalam situasi itu pemerintah biasanya berpihak kepada pemilik modal, sehingga warga yang selalu jadi korban.
Pola tersebut terlihat pada kasus-kasu penggusuran, mulai dari penertiban kawasan sungai hingga yang cukup lawas konflik agraria yang mewarnai pembangunan Waduk Jatigede, Sumedang. Pihak yang paling terdampak adalah warga miskin yang tidak bisa lagi mengakses sumber-sumber kehidupannya.
Ratu juga menyoroti bahwa konflik tanah berkaitan dengan harga tanah. Semakin tanah yang disengketakan berada di pusat kota, semakin mahal.
Peningkatan harga tanah mendorong terjadinya perlombaan untuk menguasai atau memiliki tanah dengan skala besar. Ruang-ruang dibuka untuk mendorong privatisasi tanah di kawasan yang dianggap belum ‘sempurna’ pembanguannya. Hal ini mendorong terjadinya tanah sebagai investasi, nilai tanah dijadikan spekulasi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Tanah kemudian menjadi komoditas atau aset investasi, tidak lagi digunakan untuk ruang hidup. “Karena orang-orang yang mengumpulkan tanah kerap menghitung nilai lima tahun ke depan terkait harga tanahnya,” tegas Ratu.
Advokasi Penggusuran
Advokasi dalam kasus penggusuran kampung kota bukan semata jalur hukum, melainkan strategi jangka panjang untuk membangun kesadaran publik dan mendorong kebijakan yang berpihak pada masyarakat.
Dalam konteks penggusuran, Yunita menekankan pentingnya strategi advokasi yang tepat, terstruktur, dan sistematis. Ia menjelaskan tiga pendekatan dalam advokasi. Pertama, pendekatan berbasis kekuatan (menang-kalah), yang mengedepankan dominasi dan sering disertai intimidasi atau kekerasan.
“Tujuan utama adalah meraih kemenangan absolut, tanpa memperhatikan kompromi atau solusi jangka panjang,” jelasnya.
Kedua, pendekatan berbasis hak (benar-salah), yang berlandaskan norma hukum dan keadilan, biasanya didampingi lembaga bantuan hukum. Ketiga, pendekatan berbasis kepentingan, yang menekankan solusi kolaboratif dan perlindungan hak melalui advokasi hukum secara strategis.
Peserta Kelas Liar
Kelas Liar menjadi ruang belajar penting untuk memahami kompleksitas penggusuran. Adian Angkasa, peserta Kelas Liar, mengungkapkan kekhawatiran atas kekalahan warga dalam mempertahankan ruang hidup.
“Makanya saya ngikutin pelatihan itu lebih ke untuk dorongan moral saya untuk bisa bergiat lagi kembali ke teman-teman yang sedang mengalami titik konflik,” ujarnya.
Niko Hasbalah, peserta lainnya, menyoroti pentingnya memahami aspek sosial dan budaya penggusuran. Sementara Felix Bonor, yang tempat tinggalnya di Sukahaji terancam digusur, menyatakan setelah mengikuti Kelas Liar ia melihat penggusuran menjadi sangkat kompleks. “Bukan sekadar kerta lembaran sebidang tanah dan bangunannya, tapi berbicara penggusuran itu tentang hati ke hati, dan rumah ke rumah,” ungkapnya.
Mujahidah Aqilah menyebut Kelas Liar membantunya menemukan jawaban atas pertanyaan soal penggusuran. “Ada beberapa yang menjadi pertanyaan yang alhamdulillah terjawab di kelas hari ini,” ujarnya.
Nipa Riyanti menekankan pentingnya solidaritas. “Yang bikin aku amaze adalah mereka hidup di kampung kota dan bisa melek akan penanganan hukum yang tentunya dipahami oleh warga lain,” ungkapnya.
***
*Reportase ini ditulis reporter BandungBergerak Iklima Syaira dan Yopi Muharam
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB