Warga Sukahaji Menolak Penggusuran, Mempertahankan Ruang Hidup Selama Berpuluh-puluh Tahun
Sudah puluhan tahun warga Sukahaji, Bandung tinggal di lahan yang kini diklaim perusahaan. Dokumen kepemilikan lahan tidak jelas.
Penulis Muhammad Akmal Firmansyah18 Maret 2025
BandungBergerak.id – Selama berpuluh-puluh tahun warga di empat Rukun Warga (RW) Kelurahan Sukahaji, Kecamatan Babakan Ciparay, Kota Bandung menempati tanah garapan. Kini ruang hidup mereka dibayang-bayangi penggusuran oleh perusahaan yang mengklaim kepemilikan tanah tersebut. Warga membentuk Forum Warga Sukahaji Melawan sebagai upaya menghadapi penyerobotan lahan.
Perwakilan Forum Warga Sukahaji Melawan Warsidi menuturkan, sengketa lahan ini bermula ketika jongko-jongko penjual kayu di Sukahaji diklaim oleh Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar. Klaim lalu melebar ke permukiman warga pada tahun 2009. Menurut Warsidi, sudah beberapa kali warga diminta mengosongkan rumah-rumah mereka oleh perwakilan perusahaan maupun aparat.
“Tetapi gak berhasil. Kemudian, tahun 2011 (penggusuran) menggeser ke warga dari RW 01, 02, 03, dan 04. Di situ mereka melakukan semacam memberikan kerohiman, ngasih 750 ribu rupiah per kepala keluarga untuk mengosongkan lahan,” kata Warsidi kepada BandungBergerak, Minggu, 16 Maret 2025.
Pada tahun 2013 warga melakukan pertemuan dengan pihak kecamatan, Badan Pertanahan Nasional (BPN), dan pihak perusahaan untuk membahas siapa pemilik dokumen kepemilikan tanah yang sah. Namun pertemuan ini tidak membuahkan titik terang.
Di tahun yang sama, Warsidi dipanggil polisi untuk dimintai keterangan. Terungkap bahwa perusahaan mengklaim memiliki 82 sertifikat, tetapi mereka hanya mampu menunjukkan 11 fotokopian sertifikat. Itu pun datanya tidak sesuai dengan area lokasi yang disengketakan.
“Setelah itu kita kerahkan warga sini untuk mengecek sertifikat tersebut dan ternyata ketemu bukan di daerah ini (Sukahaji) tetapi ada di Jamika dan Pagarsih. Kita dipertemukan dengan BPN. Katanya dari BPN klarifikasi itu sertifikat Jamika,” terang Warsidi.
Hal yang sama dituturkan oleh warga lainnya, Ronal. Menurutnya ke-82 sertifikat yang diklaim perusahaan tidak memiliki titik yang jelas.
“Patokan hektarenya gak ada. Surat tanah titiknya bukan di sini. Bukti pertama di Jamika. Sertifikat hak milik yang sama, data yang sama, nama yang sama di tahun 2025 tiba-tiba berubah luasnya, tiba-tiba berubah lokasinya. Siapa yang salah, BPN atau aplikasinya?” katanya.
Ronal menjelaskan, Undang Undang Pokok Agraria tahun 1960 menyatakan bahwa tanah penggarap yang ditempati berpuluh-puluh tahun dikembalikan ke penggarap untuk hak guna pakai, bukan hak milik.
“Sehingga, kami warga dan forum-forum koordinator RT menolak kehadiran mereka dan melawan (sampai) titik penghabisan,” ujarnya.
Baca Juga: Penggusuran Tamansari
Bandung, dari Penggusuran ke Penggusuran
Penggusuran Rumah di Kota Bandung Menjadi Perhatian Mahasiswa

Alasan Warga Tetap Bertahan
Kawasan sengketa lahan Sukahaji pernah dilanda kebakaran hebat pada tahun 2018. Api menghanguskan sekitar 40 jongko penjual kayu, 30 unit rumah nonpermanen, 1 unit mobil ambulans warga, 3 unit mobil, dan 2 unit motor. Luas lahan terdampak mencapai 600 meter persergi, terdiri dari hunian padat penduduk serta lahan kosong yang digunakan untuk penyimpanan kayu. Jumlah warga terdampak 58 KK atau 230 jiwa. Sebanyak 25 KK memilih berada di tenda pengungsian, sementara sisanya mengungsi ke rumah sanak saudaranya (Republika, 18 November 2018).
Terkait pembangunan kembali rumah-rumah warga, Lurah Sukahaji Achmad Roni yang mengunjungi korban di tenda pengungsian menjelaskan, hal itu mesti dibahas di rapat dengan pimpinan pemerintah Kota Bandung. Hasil rapat nantinya akan memberikan solusi tempat tinggal bagi para korban ke depannya. Rapat ini perlu dilakukan karena menyangkut status kepemilikan tanah yang menjadi lokasi kebakaran.
Jika warga tidak bisa lagi membangun di tanah tersebut, kata Lurah, Pemkot Bandung memiliki alternatif solusi. Warga akan direlokasi ke rusunawa milik pemkot.
"Kami dengan Dinsos (Dinas Sosial) akan koordinasi. Kita punya rusunawa di Rancacili, Cingised, dan Cicabe yang bisa ditinggali warga dengan kondisi yang lebih layak," kata Roni, dikutip dari Republika.
Peristiwa kebakaran menimbulkan trauma bagi warga yang hidup di lahan sengketa. Ketakutan digusur membayangi Ketua RT 04 Ahmadin. Sejak mencuatnya rencana pengosongan rumah dalam dua bulan terakhir, ia dan warga terpaksa melakukan ronda malam untuk menjaga kampungnya.
“Saya sudah capek, sampai bergadang tiap malam, karena takut dibakar lagi. (Kami) Keluar memantau lagi. Dulu setelah kebakaran, (kami) dihalangi-halangi (untuk tinggal lagi), karena belum ada izin,” tuturnya kepada BandungBergerak.
Ahmadin meminta pihak penggembang membuktikan dengan surat yang sah secara hukum didampingi BPN terkait kepemilikan tanah. Mereka tidak bisa melakukan pemasangan plang dan penutupan lahan dengan seng tanpa proses peradilan.
“Suratnya masih abu-abu, yang punyanya tidak jelas. Saya berharap itu, silakan pihak pengembang (membuktikan) bahwa sertifikat yang sah secara hukum, didampingi oleh BPN. Sejauh ini tidak ada pemaparan dari BPN,” terangnya.
Ahmadin juga khawatir dengan aksi pihak pengacara yang blusukan ke rumah-rumah warga bersama aparat untuk melakukan pengosongan lahan.
“Pengacara blusukan ke rumah itu sama aparat. Katanya aparat mengamankan, tapi kok berpihak ke sana. Pemasangan patok kemarin diawasi juga, belum ada surat dari pengadilan,” jelasnya.
Warsidi menambahkan, sebagai warga yang tercatat dalam data kependudukan sipil, ia tidak terima diperlakukan seperti warga liar. Sampai sekarang ia dan warga lainnya masih menghadapi ancaman penggusuran.
“Kita itu warga tetap, bukan warga liar, yang punya hak suara juga. Kenapa kok digitukan? Tapi kok pemimpin daerah tidak ada yang melihat? Gak ada satu pun pihak yang menegok, gak pernah perhatian sama sekali,” tambah lelaki berumur 75 tahun ini.
Hal yang sama dituturkan juga oleh ibu dua anak satu cucu, Rundiati, 55 tahun, yang memilih bertahan mempertahankan ruang hidupnya.
“Aku udah dari tahun 1999, (sementara) dianya merasa punya di sini. Sebenarnya waktu diliatin suratnya, ternyata engga asli, pengin bukti yang asli, karena warga udah lama di sini,” jelas Rundiati.
Kabar penggusuran Sukahaji juga berembus kencang di media sosial. Akun instagram @sukahajimelawan mengabarkan bahwa pada tahun 2022 wilayah Sukahaji ditetapkan sebagai zona kumuh. Status ini semakin memperumit keadaan sekaligus menghambat hak kesejahteraan warga seperti pengadaan air bersih, drainase, dan infrakstruktur yang mestinya dipenuhi oleh Pemerintah Kota Bandung.
Akun tersebut menyebutkan, pengacara dari pihak perusahaan Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar telah menawarkan kompensasi kepada warga dan meminta pengosongan rumah paling lambat pada 7 April 2025 mendatang. Namun hal ini dilakukan tanpa ada keputusan pengadilan.
BandungBergerak mencoba menghubungi kuasa hukum Junus Jen Suherman dan Juliana Kusnandar yakni Rizal Nusi dan Patners yang berkantor di Jalan Gayungsari XI49 Surabaya melalui email dan pesan singkat Whatapps, Senin, 17 Maret 2025. Tidak balasan diperoleh. Pada Selasa, 18 Maret 2025, BandungBergerak kembali mengirimkan pesan serupa dan beberapa menit kemudian menelepon langsung. Namun sampai berita ini diturunkan, belum ada jawaban.
*Kawan-kawan bisa membaca artikel-artikel lain dari Muhammad Akmal Firmansyah, atau tulisan-tulisan menarik lain tentang Penggusuran