• Kolom
  • NGABANDUNGAN: Penggusuran Tamansari

NGABANDUNGAN: Penggusuran Tamansari

Rumah deret berdiri di atas bekas kampung kota yang digusur. Penggusuran atas nama pembangunan mendorong pemberontakan orang muda di dalam cerita pendek.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Rumah deret Tamansari berada di pertengahan Kota Bandung, Jumat (22/9/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

12 Desember 2023


BandungBergerak.idMereka datang membawa secarik kertas perintah pengusiran dari pemimpin, lengkap dengan pentungan, senjata api, dan gas air mata. “Ini resmi dari pemerintah!” kata mereka kepada aku dan keluargaku.

Tokoh aku dan keluarga aku dalam cerpen Ahmad Abu Rifai ini tak punya pilihan selain pergi dari rumah dan kampung halaman yang telah mereka tinggali turun-temurun; tanah warisan dari bapak, dan bapak menerima warisan dari kakek. Mereka tak bisa menolak karena tidak akan menang menghadapi senjata aparat.

Cerpen berjudul “Nak, Kita adalah Rumah” saya baca di Linikampus, media daring yang dikelola Badan Penerbitan dan Pers Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (BP2M Unnes), diunggah 8 Maret 2020. Ahmad tak menyebutkan alamat negeri atau kota tempat penggusuran berlangsung, kecuali, “kampung kami, di sisi barat kota yang sedang giat membangun ini”. Entah di sisi barat kota mana, di Semarangkah atau di kota-kota lain di Indonesia yang juga marak penggusuran. Yang jelas, penggusuran bisa terjadi di mana pun di negeri bekas koloni Belanda dan Jepang ini. Ironis, meski kolonialisme sudah jauh di belakang tetapi perampasan ruang hidup rakyat kecil masih sering terjadi.

“Yang lebih menyedihkan adalah fakta bahwa tak semua tanah di kampung kami tanah sewaan. Sebagian besar justru tanah sendiri—termasuk rumah dan tanah keluargaku yang murni warisan dari Bapak (yang mana Bapak menerima dari Kakek). Namun entah mengapa, petugas itu memiliki dokumen yang menyatakan semua tanah milik negara. Dokumen di tangan kami dianggap sampah. Palsu. Dan seperti yang telah kukatakan di awal, kau takkan menang saat berdebat dengan mereka,” lanjut aku.

Cerpen “Nak, Kita adalah Rumah” tampak memiliki latar belakang kejadian faktual, nyata. Korbannya adalah wong cilik atau rakyat kecil yang dalam dunia nyata mereka bisa berasal dari kelompok miskin kota, orang-orang pinggiran, petani, nelayan, masyarakat adat; dan dalam dunia nyata mereka selalu menjadi jualan kampanye politik lalu dilupakan lima tahun kemudian.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pernah merilis sepanjang tahun 2022 terjadi sedikitnya 212 letusan konflik agraria di berbagai sektor investasi dan bisnis berbasis korporasi. Sebanyak 212 letusan konflik agraria itu terjadi di 459 desa dan kota di Indonesia (angka ini naik dibandingkan data tahun 2021 yang berjumlah 207 kasus). Secara total, letusan konflik tersebut terjadi di atas tanah seluas 1 juta hektare, tepatnya 1.035.613 hektare berada dalam status konflik sepanjang tahun 2022. Total masyarakat yang terdampak konflik agraria setidaknya 346.402 kepala keluarga (KK).

Penggusuran karena sengketa lahan ataupun untuk kepentingan pembangunan menunjukkan wajah yang sama: menggusur dan bengis. Dan rakyat kecil yang tergusur tak punya pilihan, seperti dalam cerpen “Nak, Kita adalah Rumah”. Setelah penggusuran mencerabut kehidupan, kenangan, sejarah, dan kampung halaman orang-orang tergusur, para korban hanya bisa menghibur diri bahwa mereka masih bisa bersama-sama sebagai keluarga, seperti yang disampaikan tokoh Mamak kepada aku, “Nak, kita adalah rumah”.

Namun peristiwa bengis yang merenggut kemanusiaan itu tak hanya terjadi sekali pada tokoh aku dan keluarganya yang pindah ke pinggiran selatan kota ke rumah kakek mereka. Setahun berlalu mereka tinggal di selatan. Tiba-tiba surat peringatan datang kembali yang isinya memberitahukan bahwa mereka tinggal di tanah sengketa milik pemerintah dan karena itu mereka harus pindah (lagi!).

Dua kali mereka menghadapi penggusuran. Kata-kata pasrah Mamak kembali terngiang, “Nak, Kita adalah Rumah”. Di saat yang sama, bibit-bibit pemberontakan tokoh aku sebagai orang muda dengan darah panas tumbuh dan mendidih. Ia tak lagi yakin dengan kalimat hiburan yang disampaikan mamaknya yang pada penggusuran kedua itu sedang sakit-sakitan dan akhirnya meninggal.

“Kita memang rumah, Mak. Tapi utuhkan ia saat orang lain telah meringsak secara semena-mena?” batin aku.

Tidak jelas bagaimana ekspresi tokoh aku saat menolak kalimat penghibur mamaknya. Apakah marah atau sedih. Sebagai pembaca, saya membayangkan tokoh aku marah dan putus asa. Dia sangat menghormati ibunya yang bijak dan pasrah, namun ia adalah darah muda yang kritis terhadap ketidakadilan penggusuran. Dia adalah orang muda yang berani meninjau ulang nilai-nilai lama warisan orang tua. Apalagi jika orang tuanya menempuh jalan salah. Dan memang demikianlah seharusnya orang muda bersikap. Bukankah orang muda identik dengan pemberontak? seperti yang disampaikan Albert Camus, “Aku memberontak, maka aku ada”.

WS Rendra dalam sajak Gugur menggambarkan kemarahan orang-orang tergusur dalam bait berikut ini:

Kita bukanlah anak jadah

Kerna kita punya bumi kecintaan.

Bumi yang menyusui kita

dengan mata airnya.

Sajak tersebut ditulis WS Rendra untuk menggambarkan pertempuran Ambarawa melawan kolonialisme. Tetapi mengapa sajak ini terasa relevan bagi orang-orang korban penggusuran di era poskolonial sekarang?

Sebagai negeri poskolonial, sampai saat ini praktik-praktik kolonial masih dipraktikkan pada sesama anak bangsa. Bahkan ada regulasi yang memiliki semangat kolonial, salah satunya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No. 51 Prp Tahun 1960  tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang biasa dipakai dasar penggusuran. Tahun 2017 Perppu ini pernah diuji materi ke Mahkamah Konstitusi olehkorban penggusuran di DKI Jakarta. Para korban menghadirkan dua orang saksi ahli, yaitu sejarawan JJ Rizal dan Yudi Bachrioktora (HukumOnline, diakses 8 Desember 2023). 

JJ Rizal menilai Perppu No. 51 Tahun 1960 masih berjiwa kolonialisme (penjajahan). Menurut Rizal, aturan ini masih menggunakan prinsip domain verklaring (hak menguasai negara) yang digunakan Pemerintah Hindia Belanda. Artinya, semua tanah/lahan yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh masyarakat yang berada dalam kekuasaan Hindia Belanda menjadi milik Kerajaan/Pemerintah Kolonial Belanda (tanah negara).

JJ Rizal menyebut Perppu No. 51 Tahun 1960 sebagai “antitesis pembentukan Negara Republik Indonesia. Apalagi, saat ini zaman reformasi yang sudah menjunjung tinggi hak asasi manusia (HAM), kenapa Perppu yang mengadopsi domein veklaring ini masih dipakai (berlaku)?”.

Menurut JJ Rizal, Bung Karno pada 1933 pernah menyampaikan pidato tentang kolonialisme yang diartikan “nafsu mencari rezeki dengan berbagai cara”. Bung Karno mencontohkan sistem yang tertuang dalam Agrarische Wet 1866 dan Agrarische Besluit yang melahirkan konsep domain verklaring. Bung Karno menerjemahkan verklaring sebagai nafsu mencari rezeki yang menjadi dasar eksploitasi tanah di Hindia Belanda dengan cara apa pun oleh pemilik modal.

Domain verklaring yang rakus kemudian mendorong pemberontakan petani bumiputra pada akhir abad ke-19. Jika dikaitkan dengan konteks saat ini, JJ Rizal menemukan proses pelanggengan yang disebut Bung Karno “nafsu mencari rezeki” yang mengakibatkan eksploitasi dan penghisapan manusia atas manusia. “Ini dijawab sendiri oleh Bung Karno, karena mental kolonialisme ini masih kita warisi mentalnya, bahkan hingga saat ini. Kenapa sifat ini masih kita pelihara?”

Baca Juga: NGABANDUNGAN: Sajak Kritis Politik Pendidikan
NGABANDUNGAN: Panggung Pengkhianat dan Pahlawan
NGABANDUNGAN: Bunga Rawa dan Burung Pelikan

Penggusuran Tamansari

Penggusuran di pulau Jawa sama merusaknya dengan penggusuran di luar Jawa. Penggusuran di kampung di Sumatera sama mencerabutnya dengan penggusuran kampung kota di Bandung. Bahkan dalih penggusuran mirip satu sama lain, selalu dengan dalih kekuasaan dan rakyat selalu tak punya pilihan selain tunduk pada kekuasaan.

Bahkan narasi penggusuran dalam cerpen "Nak, Kita adalah Rumah” mirip dengan alur penggusuran Tamansari oleh program rumah susun Pemkot Bandung. Tanggal 12 Desember 2019, ribuan aparat gabungan dikerahkan untuk menggusur kampung kota Tamansari. Penggusuran ini menyisakan puing-puing dan seorang warga yang masih melawan, Eva Eryani. Eva yang mendirikan rumah bedeng bersebelahan dengan rumah susun akhirnya digusur juga 19 Oktober 2023 lalu.

Sebelum penggusuran, Eva menerima surat-surat peringatan bernada tegas dan kaku dari Satpol PP. Sama seperti dalam cerpen "Nak, Kita adalah Rumah”, surat peringatan itu "atas nama pimpinan" dan "tidak ada negosiasi".

Pemkot melakukan penggusuran terhadap satu-satunya rumah yang bertahan dari proyek rumah susun Tamansari mengatasnamakan kepentingan umum, kepentingan orang-orang yang dulunya tergusur dan akan menempati rumah susun dengan sistem sewa. Bagi Pemkot, suara Eva dianggap tiada dan hanya sendirian, bukan suara mayoritas sehingga tak perlu didengar.

Padahal menihilkan suara seorang sama dengan mengabaikan kemanusiaannya. Penggusuran bukan hanya perkara mengusir atau memindahkan manusia. Penggusuran mencerabut seluruh aspek kehidupan yang melekat pada orang-orang tergusur. Tak heran jika orang-orang tergusur akan mempertahankan tanah mereka sampai sabubukna -- meminjam istilah sakral warga Dago Elos yang juga terancam penggusuran -- seperti yang dilakukan Eva Eryani.

Eva melawan sabukna. Ia tak bisa pasrah seperti tokoh cerpen Mamak yang berserah dan menghibur diri bahwa mereka masih bisa bersama-sama sebagai keluarga. Kenyataannya memang jarang sekali rakyat kecil yang mampu melawan seperti Eva. Semangat Eva seperti tokoh fiksi yang langka dan unik, dia punya pilihan untuk melawan sabubukna. Dengan perlawanan ini Eva seperti mengamini sajak WS Rendra, “Kita bukanlah anak jadah. Kerna kita punya bumi kecintaan”.

*Kawan-kawan yang baik bisa membaca tulisan-tulisan lain dari Iman Herdiana tentang Ngabandungan

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//