Catatan YLBHI: Proyek Strategis Nasional Mengorbankan Wong Cilik dan Petani
YLBHI mendesak pemerintah membatalkan semua Proyek Strategis Nasional yang merugikan rakyat. PSN memicu 35 konflik agraria.
Penulis Iman Herdiana26 September 2023
BandungBergerak.id - Hari Tani Nasional yang diperingati setiap September meninggalkan catatan suram bagi buruh tani ataupun wong cilik. Mereka berada dalam pusaran konflk agraria, menjadi korban kekerasan dan kriminalisasi, dan ironisnya negara justru menjadi aktor utama dalam konflik ini. Banyak kasus terkait Proyek Strategis Nasional (PSN).
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) menilai proyek-proyek strategis nasional dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) menghasilkan efek berlipat berupa ketidakadilan dan penindasan terhadap rakyat. Pembangunan PSN dan industri SDA juga menimbulkan kerusakan alam dan konflik-konflik yang membara.
“Dalam memenuhi ambisi proyek-proyek ini negara melakukan serangkaian tindakan represif dan penggunaan kekuatan yang berlebihan (Excessive use of force) kepada warga yang mempertahankan tanah, air dan ruang hidupnya melalui aparat negara yakni TNI dan Polri. YLBHI menemukan angka yang sangat tinggi di mana para petani, masyarakat adat, pembela hak asasi manusia dan pejuang lingkungan mengalami kekerasan fisik, non-fisik, dan kriminalisasi,” demikian Siaran Pers YLBHI Hari Tani Nasional, dikutip Selasa, 26 September 2023.
YLBHI mendata kekerasan terhadap petani yang ditangani 18 LBH Kantor selama tahun 2017-2023 di Indonesia. Waktu tujuh tahun ditetapkan berdasarkan dimulainya Proyek Strategis Nasional sejak 2016.
Data tersebut terbagi ke dalam beberapa variabel, antara lain: jumlah konflik, luas wilayah konflik, dan jumlah korban; pelaku kekerasan dan kriminalisasi; pola kekerasan; undang-undang yang sering digunakan; penyebab dan dampak struktural konflik.
“Sebanyak 106 konflik agraria dan PSN ditangani YLBHI-LBH kantor di seluruh Indonesia. Luas wilayah yang berkonflik adalah sekitar 800.000 hektare dengan lebih dari satu juta rakyat menjadi korban,”
Sektor perkebunan mendominasi terjadinya konflik agrarian dengan 42 kasus, kemudian diikuti oleh sektor pertambangan dengan 37 kasus. Lalu, konflik PSN sebanyak 35 kasus.
YLBHI mencatat, tingginya konflik di sektor perkebunan setidaknya disebabkan oleh dua faktor yaitu: warisan ketimpangan penguasaan lahan yang tidak pernah terselesaikan; dan melibatkan dua aktor yang kuat, negara melalui perkebunan PTPN dan swasta memiliki hak guna usaha (HGU) skala luas.
“Sektor PSN yang baru muncul tujuh tahun terakhir menempati posisi ketiga karena negara beserta kekuatan represif tampil sebagai pemain utama dalam konflik,” terang YLBHI.
YLBHI memetakan berbagai subjek pelaku dalam konflik-konflik tersebut. Perusahaan swasta terlibat dalam 100 konflik, pemerintah daerah terlibat dalam 74 konflik, dan Polri terlibat dalam 50 konflik.
Menurut YLBHI, Tingginya keterlibatan perusahaan swasta disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: warisan penguasaan HGU yang masih didominasi oleh swasta ditambah dengan pemberian HGU baru khususnya perkebunan sawit; meningkatnya industri ekstraktif karena kemudahan perizinan, kelindan kepentingan bisnis tambang dan politik, dan korupsi perizinan.
Faktor berikutnya, lanjut catatan YLBHI, keterlibatan perusahaan swasta sebagai penunggang gelap PSN. Sedangkan, pemerintah daerah dan Polri berada pada posisi paling depan menghadapi konflik yang selalu menggunakan pendekatan keamanan dan kekerasan.
Dari segi perbuatan, tercatat sebanyak 134 tindak kekerasan dengan pola yang berbeda. Pertama, pola kekerasan dalam bentuk lisan seperti intimidasi; kekerasan fisik seperti penganiayaan hingga penyiksaan. Pola ini tercatat sebanyak 48 kasus (40 intimidasi dan 8 kekerasan fisik). Kedua, pola lainnya berupa pecah belah dengan 43 kasus. Ketiga, kriminalisasi dengan 43 kasus.
“Biasanya, ketiga pola tersebut diterapkan secara bertahap, misalkan diawali dengan ancaman penggusuran paksa dan ancaman kriminalisasi, kemudian meningkat pada kekerasan dan kriminalisasi. Selanjutnya, warga yang dikriminalkan dijadikan sebagai alat negosiasi hingga terjadinya perpecahan masyarakat, pro dan kontra,” terang YLBHI.
Dari 43 kasus kriminalisasi, terdapat 212 orang petani yang menjadi korban. Upaya kriminalisasi paling banyak menggunakan produk hukum Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan 29 kasus. Kemudian diikuti oleh UU Minerba dengan 7 kasus, UU 39 Tahun 2014 dengan 4 kasus. UU No 18 Tahun 2013 dengan 3 kasus. UU ITE 2 kasus dan UU Anti Marxisme-Leninisme dengan 1 kasus.
YLBHI juga menyoroti upaya kriminalisasi petani dalam agenda PSN yang berada di wilayah 18 LBH Kantor. Terdapat 35 titik PSN menelan 35 korban petani yang dikriminalisasi. Para korban dari petani ini berasal dari 5 provinsi/kota, yaitu: Jawa Tengah, Jawa Barat, Padang, Makassar, dan Manado.
Kriminalisasi terbanyak dalam proyek PSN terjadi di Jawa Tengah (10 kasus) dan Padang (10 kasus). Di Jawa Tengah, 6 warga Dieng dikriminalisasi oleh PT Geo Dipa, sebuah perusahaan Geothermal yang sedang membangun proyek pembangkit listrik panas bumi di Dieng.
Sedangkan 4 warga di Batang dikriminalisasi oleh PT BPI dalam penolakannya terhadap PLTU Pesisir Batang. Sedangkan di Padang, kriminalisasi dilakukan oleh PT Hitay Daya Energy dalam membungkam penolakan petani lereng Gunung Talang terhadap pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi. Ditambah dengan 6 orang petani Bidar Alam yang saat ini di tahan Polres Solok Selatan yang dituduh mencuri di tanah sendiri
Dilihat dari dasar hukum kriminalisasinya, hampir semuanya didasari oleh produk hukum KUHP. Pertama, pasal 362 yang memuat delik pidana “pencurian”. Kedua, Pasal 333 yang memuat delik pidana perampasan kemerdekaan orang lain. Ketiga, pasal 170 yang memuat delik pidana kekerasan terhadap orang atau barang. Keempat, pasal 154a yang memuat delik penodaan lambang negara. Kelima, pasal 406 yang mengatur delik pengrusakan properti orang lain. Dan terakhir, adalah pasal 27 UU ITE yang memuat delik pencemaran nama baik.
Berdasarkan situasi tersebut di atas, YLBHI dan 18 LBH Kantor mendesak pemerintah dan DPR serta kementerian dan lembaga terkait untuk:
- Membatalkan semua Proyek Strategis Nasional yang justru terbukti merugikan rakyat, memicu praktik kekerasan dan pelanggaran HAM oleh Negara melalui aparaturnya kepada rakyat di berbagai wilayah;
- Menghentikan perampasan tanah rakyat atas nama Hak Pengelolaan dan klaim tanah negara;
- Menghentikan penggunaan pendekatan keamanan dan kekerasan dalam penyelesaian konflik SDA dan PSN;
- Menarik seluruh aparat keamanan dari wilayah konflik agraria dan PSN;
- Mencabut UU Cipta Kerja beserta turunannya sebagai pemicu meningkatnya praktik perampasan tanah dan kekerasan negara terhadap rakyat;
- Menghentikan program-program nasional berkedok Reforma Agraria atau Reforma Agraria palsu;
- Menghentikan segala bentuk kriminalisasi terhadap seluruh pejuang agraria dan lingkungan hidup dan melepaskan tanpa syarat seluruh pejuang agraria dan LH dari tahanan dan jerat kriminalisasi;
- Mamastikan Negara mengimplementasikan mandat konstitusi khususnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bahwa Bumi, Air dan Kekayaan Alam yang terkandung didalamnya dikuasai Negera untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bukan untuk investor dan/atau para penguasa cum pengusaha.
Baca Juga: PT KAI Mengerahkan Ormas untuk Memagar Lahan Sengketa Anyer Dalam, Warga dan Jurnalis Diintimidasi
Kota Bandung Rawan Kasus Sengketa Tanah
Klaim Positif Layanan Pertanahan ketika Marak Sengketa Lahan di Kota Bandung, Salah Satunya Dago Elos
Konsorsium Pembaruan Agraria: Nestapa Wong Cilik dan Buruh Tani
Catatan suram tentang nasib wong cilik khususnya buruh tani terjadi bertahun-tahun di negeri agraris ini. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sepanjang tahun 2022, terjadi sedikitnya 212 letusan konflik agraria di berbagai sektor investasi dan bisnis berbasis korporasi.
Konflik agraria yang dihimpun KPA mengacu kepada masalah agraria struktural yang dialami oleh kelompok petani, masyarakat adat, nelayan, masyarakat agraris dan masyarakat miskin di perkotaan, yang berhadap-hadapan langsung dengan klaim-klaim izin dan hak atas tanah oleh kelompok badan usaha dan bisnis (perusahaan). Baik perusahaan milik negara atau pun swasta, serta dengan instansi pemerintahan/lembaga negara.
Sebanyak 212 letusan konflik agrarian itu terjadi di 459 desa dan kota di Indonesia. Secara total, letusan konflik tersebut terjadi di atas tanah seluas 1 juta hektare, tepatnya 1.035.613 hektare berada dalam status konflik sepanjang tahun 2022. Sementara masyarakat yang terdampak konflik agraria setidaknya 346.402 kepala keluarga (KK).
Letusan konflik agraria di tahun 2022 memperlihatkan kenaikan dibandingkan tahun 2021 yang berjumlah 207 kasus. Meskipun kenaikannya tidak signifikan, namun dari sisi luasan wilayah terdampak konflik agraria naik drastis hingga 100 persen dibanding tahun 2021. Begitu pun dari sisi jumlah korban yang terdampak konflik agraria mengalami kenaikan signifikan hingga 43 persen dibanding tahun 2022.
Meningkatnya konflik dari sisi luasan dan jumlah korban, salah satunya diakibatkan adanya upaya pengambilalihan kembali tanah secara paksa oleh perusahaan-perusahaan perkebunan (expired HGU maupun HGU telantar), yang sudah dikuasai dan ditempati oleh masyarakat. Tidak hanya mengaktifkan operasinya, namun-namun perusahaan-perusahaan tersebut juga mencoba memperluas areal penguasaan mereka yang berdampak pada pemukiman dan garapan warga.
Contoh klaim tanah yang HGU-nya sudah expired terjadi di Desa Cikajang, Garut-Jawa Barat. Empat petani mengalami kriminalisasi dengan tuduhan menyerobot lahan HGU PTPN VIII Cisaruni. Padahal, menurut warga tanah HGU tersebut telah lama ditelantarkan oleh pihak PTPN, dan HGU-nya berakhir pada 1 Januari 2023.
“KPA juga mencatat, berdasarkan laporan petani dan warga, sebagai tanah-tanah tersebut telah menjadi lahan bancakan bagi keuntungan banyak pihak dari kalangan PTPN sendiri dengan praktik menyewa-nyewakan tanah kepada para penggarap atau orang luar,” demikian catatan KPA, dikutip dari Catahu 2022.
Di sektor pembangunan infrastruktur, meskipun dari sisi jumlah letusan konflik di sektor ini menurun dibandingkan tahun lalu, namun dari sisi luasan dan jumlah korban terdampak memperlihatkan trend peningkatan. Misalnya konflik agraria akibat pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) dan proyek-proyek strategis nasional lainnya yang melakukan percepatan pengadaan tanah dalam skala luas, namun sayangnya praktik yang dilakukan mengabaikan hak-hak konstitusional warga atas tanah.
* Simak tulisan-tulisan lain Iman Herdiana, atau tulisan-tulisan menarik tentang Sengketa Tanah