Rawan Kepemilikan Tanah dan Sengketa Lahan di Jawa Barat
Sengketa terjadi di Kota Bandung maupun secara umum di Jawa Barat, termasuk di perdesaan-perdesaan di mana banyak petani yang kehilangan lahan garapan.
Penulis Iman Herdiana1 Maret 2022
BandungBergerak.id - Kepemilikan tanah di Jawa Barat sudah lama timpang. Kasus ini terjadi di perdesaan maupun di perkotaan. Di Kota Bandung, misalnya, masalah kepemilikan tanah memicu penggusuran yang merugikan warga. Sedangkan di perdesaan, terjadi ketimpangan kepemilikan lahan yang membuat warganya berbondong-bondong ke kota.
Masalah penyelesaian kepemilikan lahan ini jelas mesti menjadi prioritas baik bagi Pemkot Bandung maupun Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang mentargetkan kedaulatan pangan melalui digitalisasi dan petani milenial.
Terkait kepemilikan lahan ini, Pemerintah Kota Bandung mengingatkan warganya untuk melakukan sertifikasi tanah. Sertifikasi ini penting bagi masyarakat untuk mendapatkan kepastian hukum atas haknya. Pemkot Bandung pun telah membuka program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL).
Program sertifikasi tanah tersebut akan dilayani oleh Panitia Ajudikasi Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap dan Satuan Tugas Wilayah Kota Bandung Tahun 2022. Tim ini telah dilantik Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bandung, Jumat (25/2/2022) lalu.
Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung, Andi Kadandio Alepuddin, mengatakan kehadiran tim sertifikasi tanah memiliki asas manfaat untuk masyarakat guna mempercepat hak untuk mendapatkan sertifikat. Diharapkan keberadaan tim dan program sertifikasi bisa mempercepat pendataan tanah yang belum terdaftar.
Ia juga menjanjikan bahwa Pemkot Bandung maupun BPN senantiasa mendukung sertifikasi tanah bagi warga Bandung.
"Masyarakat yang belum punya sertifikat agar segera mendaftarkan. Dukungan Pemkot dan BPN diharapkan succes story sebagai kota lengkap," bebernya, dikutip dari siaran pers Pemkot Bandung.
Sengketa Tanah dan Penggusuran
Sertifikat tanah penting sebagai jaminan hukum atas hak tanah. Terlebih Bandung termasuk kota dengan tingkat sengketa lahan tinggi, seperti pernah disampaikan Kepala Kantor BPN Kota Bandung sendiri, Andi Kadandio Alepuddin, 22 September 2021 lalu.
“Sengketa tanah di Indonesia, nomor satu urutannya adalah Kota Bandung. Persengketaannya ini sangat kompleks dan luas,” katanya.
Potensi sengketa lahan di Bandung terlihat dari jumlah data tanah yang masuk ke dalam Data Siap Elektronik. Dari 513.058 bidang tanah terdaftar di Kota Bandung, baru 31 persen yang termasuk dalam Data Siap Elektronik. Artinya, baru 163.280 bidang tanah sudah siap elektronik, sementara sisanya, 349.778 bidang tanah, belum siap karena bermasalah dari sisi administrasi dan persyaratan lainnya. Pada 2023 mendatang, BPN Kota Bandung menargetkan pendataan tanah sudah 100 persen. Dengan estimasi, pada 2022 nanti, validasi tanah di Kota Bandung mencapai 100 persen.
Di lingkup mikro, pendataan atau sertifikasi tanah ini tampaknya tidak akan mudah. Bahkan beberapa kasus sengketa harus berakhir dengan penggusuran. Kasus terbaru adalah penggusuran terhadap 26 di Jalan Anyer Dalam RT 05 dan RT 06 RW 04, Kelurahan Kebonwaru, Kecamatan Batununggal, Kota Bandung, Kamis 18 November 2021.
Penggusuran yang berlangsung dalam suasana serba sulit karena pandemi tersebut terjadi pada warga yang rata-rata sudah tinggal di sana selama puluhan tahun. Pascapenggusuran, warga hidup terkatung-katung dan berusaha berjuang melalui pengadilan. Terakhir, mereka menuntut kepada keluarahan agar mengeluarkan surat pernyataan tempat tinggal. Namun Kelurahan Kebonwaru hanya bergeming.
Sebelumnya, penggusuran lahan juga menimpa warga Tamansari yang terdampak pembangunan rumah deret. Sampai saat ini, tinggal seorang yang bertahan menuntut haknya atas tanah. Deretan sengketa lahan di Kota Bandung dikhawatirkan akan terus meningkat di tengah laju pembangunan.
Terbaru, warga di Jalan Arjuna resah menghadapi rencana pembangunan flyover Ciroyom yang akan dimulai dalam waktu dekat demi menyokong aktivasi megaproyek Kereta Cepat Jakarta Bandung. Diperkirakan ada puluhan hingga ratusan warga yang menempati tanah di sana yang akan tergusur pembangunan flyover Ciroyom. Sama dengan warga Jalan Anyer Dalam, mereka juga sudah tinggal di sana selama berpuluh tahun.
Semua warga yang tinggal di tanah sengketa tentunya bertanya-tanya bagaimana perlindungan hukum terhadap hak-hak mereka atas tanah yang sudah mereka tempati selama turun-temurun. Mereka tentu berharap ada keberpihakan Pemkot Bandung Bandung, khususnya BPN Kota Bandung, yang menggulirkan program sertifikasi tanah.
Baca Juga: Data Luas Lahan Sawah di Kota Bandung 2003-2017, Setiap Tahun Rata-rata 98,5 Hektare Sawah Hilang
Sawah di Rancasari Ditargetkan Bisa Panen 4 Kali dalam Setahun, Irigasinya dari Mana?
Korban Penggusuran Anyer Dalam Berdemonstrasi ke Kantor Kelurahan
Ketimpangan Kepemlikan Tanah di Jawa Barat
Sengketa tanah tak hanya terjadi di Bandung, melainkan menggejala secara umum di Jawa Barat, termasuk di perdesaan-perdesaannya. Hal ini pula yang memicu warga desa untuk hijrah ke kota-kota, di mana Kota Bandung menjadi salah satu tujuan mengadu nasib.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat sudah menyadari gejala urbanisasi ini, sehingga Gubernur Jawa Barat meluncurkan program petani milenial yang mengusung selogan “tinggal di desa, rezeki kota”. Program petani milenial berusaha mendekati anak muda agar mau jadi petani modern dengan pendekatan teknologi digital. Digitalisasi diharapkan dapat mendongkrak ekonomi di desa sampai bisa setara dengan usaha di perkotaan.
Dalam Rakor Akbar Gabungan Tenaga Harian Lepas Tenaga Bantu Penyuluh Pertanian Daerah Jabar di Inna Beach Hotel Pangandaran, Sabtu (19/2/2022) lalu, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil meminta para penyuluh untuk menyosialisasikan kepada generasi muda agar tak malu menekuni dunia pertanian termasuk ikut dalam program petani milenial.
"Saya titip ajak generasi muda untuk terjun di dunia pertanian tapi dengan digital agar nantinya tinggal di desa, rezeki kota, dan bisnis mendunia," ajak Ridwan Kamil.
Ia juga meminta tenaga penyuluh agar menguasai teknologi digital. Hal ini karena Jabar sedang mentransformasi pertanian menggunakan teknologi. Menurutnya, pemanfaatan teknologi mampu meningkatkan hasil produksi pertanian maupun peternakan. Salah satu contohnya, pemberian pakan ikan lele menggunakan Internet of Thing (IoT) yang dikendalikan lewat smartphone oleh petani Indramayu mendongkrak hasil panen hingga bekali-kali lipat. Begitu pula pemanfaatan teknologi fish finder di Sukabumi dan apartemen ayam di Kabupaten Bandung.
"Ngasih makan ikan lele di Jabar sekarang sudah pakai hape," ucapnya.
Ridwan Kamil menegaskan dirinya tak ingin pengolahan pertanian di Jawa Barat masih menggunakan cara konvensional. Namun secara bertahap teknologi digital dalam pertanian menjadi bagian tak terpisahkan termasuk dalam hal pemasaran.
"Saya tidak mau lagi pertanian Jabar konvensional, poinnya dengan ilmu semua bisa," ujarnya.
Dengan pendekatan digital dan petani milenial itu Ridwan Kamil yakin Jawa Barat bisa mencapai target kedaulatan pangan. Bahkan Ridwan Kamil mengatakan akan melakukan revolusi ekonomi digital, salah satunya setiap desa akan dibekali laptop untuk produktivitas. Langkah lain mencapai target kedaulatan pangan ini dengan menyisir tanah-tanah yang menganggur untuk dipakai program petani milenial.
Namun sejauh ini, program Pemprov Jabar untuk kedaulatan pangan lebih didominasi wacana digitalisasi maupun program petani milenialnya. Sementara mengenai penyediaan lahannya kurang dirinci. Padahal kata kunci pertanian digital maupun konvensional ada pada ada tidaknya lahan atau tanah garapan.
Dan persoalan lahan di Jawa Barat bukannya tidak ada masalah. Jawa Barat memiliki sejarah panjang tentang ketimpangan penguasaan tanah. Sedangkan ketersediaan lahan penting dalam menopang digitalisasi pertanian, petani milenial, desa digital, dan sejenisnya.
Menurut Endang Suhendar, dalam buku Ketimpangan Penguasaan Tanah di Jawa Barat (Seri Penelitian Akatiga, Bandung, 1995), riwayat ketimpangan penguasaan tanah di Jawa Barat setidaknya dapat dilihat dari data statistik zaman Belanda tahun 1905. Data ini menggambarkan bahwa sebagian besar keluarga di Jawa Barat (51 persen) merupakan keluarga tunakisma (petani yang tidak punya lahan).
Dari jumlah keluarga pemilik lahan, 67 persen keluarga di antaranya hanya menguasai tanah kurang dari 1 bau (0,7 hektare), dan pada sisi lain terdapat 7 persen keluarga menguasai tanah di atas 6 bau (4,2 hektare).
Meski demikian, Endang Suhendar mencatat banyak juga keluarga perdesaan yang menguasai tanah puluhan hektare. Terutama di daerah Priangan pada tahun 1905 tercatat ada sekitar 559 keluarga yang menguasai tanah di atas 30 bau. Angka ini pada tahun 1925 naik menjadi 1.226 keluarga.
Endang juga mencatat, angka tunakisma di Kabupaten Bandung cukup besar. Dari 189.325 keluarga yang terdaftar, hanya 31 persen saja yang memiliki lahan. Di distrik Majalaya tercatat hanya 34 persen keluarga saja yang memiliki lahan pertanian.
Memasuki masa kemerdekaan, fenomena ketimpangan dan sempitnya luas usaha tani tidak mengalami perubahan. Pada tahun 1940 luas rata-rata pemilikan tanah per kapita di Jawa dan Madura hanya 0,170 hektar dan pada tahun 1951 menurun menjadi 0,162 hektar. Fenomena kecilnya luas ratarata telah mendorong penduduk untuk menguasai tanah-tanah bekas perkebunan terlantar yang banyak ditinggalkan semasa perang kemerdekaan.
Menurut data statistik tahun 1957 tercatat sekitar 10.000 keluarga menguasai tanah di atas 5 hektar. Akan tetapi, pada sisi lain sebagian besar keluarga perdesaan di Jawa Barat hanya menguasai tanah di bawah 0,5 hektar.
Demikian pula beberapa hasil penelitian mikro menunjukkan hal yang sama. Misalnya, hasil penelitian di Desa Cibodas, Kabupaten Bandung, diperoleh keterangan bahwa 69 persen keluarga di desa tersebut adalah petani tunakisma dan hanya 23 persen keluarga yang memiliki tanah, itu pun dibawah 1 hektare. Di Desa Cipicung Kabupaten Pandeglang tercatat hanya 30 persen keluarga yang memiliki tanah.
Tingginya ketimpangan dan angka tunakisma menyebabkan semakin tingginya tingkat penyakapan (sistem bagi hasil). Di sini posisi petani penyakap sangat rentan terutama berkaitan dengan perjanjian bagi hasil. Walaupun pada tahun 1960 telah dikeluarkan UU No.2/1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, tetapi tidak mampu memperkuat posisi petani penyakap menghadapi kekuatan pemilik tanah.
Demikian pula data hasil sensus pertanian tahun 1963, 1973, 1983, dan 1993 1 masih tetap diwarnai ketimpangan penguasaan tanah. Bahkan pada sensus pertanian 1983 penguasaan tanah di atas 2 hektar mengalami kenaikan, sementara penguasaan tanah di bawah 0,1 hektar mengalami penurunan. Tingkat ketunakismaan mencapai angka 45 persen dari jumlah rumah tangga pedesaan.
Angka-angka menurut sensus pertanian tersebut bisa dibilang moderat dibandingkan data hasil penelitian mikro. Hasil penelitian SAE-SDP di sebuah desa di Kabupaten Cirebon mencatat bahwa sekitar 73 persen rumah tangga tergolong tunakisma dan pada penelitian yang sama di Kabupaten Subang tercatat 76 persen rumah tangga tergolong tunakisma.
“Tingginya tingkat ketunakismaan dan semakin kecilnya akses atas tanah, telah mendorong petani kecil dan tunakisma pedesaan keluar dari sektor pertanian. Salah satu upaya mempertahankan kehidupan di antaranya dengan cara melakukan migrasi ke kota, misalnya menjadi buruh bangunan, penarik becak, atau ke sektor informal lainnya,” papar Endang Suhendar.
Upaya penataan struktur agraria warisan sejarah yang timpang menuju struktur agraria yang adil sebenarnya telah dilakukan dengan dikeluarkannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria. Berbagai peraturan pelaksanaan di antaranya pembatasan penguasaan maksimal, larangan pemilikan tanah absentee, dan redistribusi tanah telah diupayakan.
Akan tetapi, upaya tersebut tidak sempat dituntaskan ketika terjadi prahara politik pada tahun 1965. Beriktunya, peraturan agraria secara perlahan menjadi terabaikan. Ironisnya, banyak kebijakan yang menyangkut agraria dewasa ini yang justru semakin memperbesar ketimpangan dan semakin menggusur petani kecil dan tunakisma pada kondisi yang lebih buruk.
“Fenomena ini tampaknya akan terus berlangsung pada masa yang akan datang, kecuali jika ada upaya pemecahan secara dini,” tulis Endang.
Endang mengingatkan bahwa sumberdaya tanah pada masyarakat agraris merupakan faktor produksi yang paling penting. Penguasaan tanah tidak hanya bermakna ekonomis dalam arti sebagai sumber kehidupan, tetapi kerap bermakna kultural, bahkan cenderung magis. Pandangan seperti ini memberikan konotasi bahwa masalah pertanahan adalah masalah hubungan manusia dengan tanah. Persoalan penguasaan tanah juga menyangkut hubungan sosial, ekonomi, dan politik.