• Kolom
  • NGABANDUNGAN: Panggung Pengkhianat dan Pahlawan

NGABANDUNGAN: Panggung Pengkhianat dan Pahlawan

Rangkuman kehidupan manusia sebagai lakon teater maha kolosal dalam syair Taufik Ismail, dibedah dalam cerpen “Tema Pengkhianat dan Pahlawan” Jorge Luis Borges.

Iman Herdiana

Editor BandungBergerak.id, bisa dihubungi melalui email: [email protected].

Ilustrasi pertunjukan teater. Pementasan teater kontemporer dengan aktor utama Tony Broer berjudul Ekstase Jenar di GK Sunan Ambu ISBI Bandung, Jawa Barat, 12 November 2021. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

2 Juli 2023


BandungBergerak.id – Jika “dunia ini panggung sandiwara” seperti dalam syair lirih Taufik Ismail, maka lakon-lakon teater yang dimainkan di atas panggung-panggung gedung kesenian hanyalah bagian terkecil dari pentas teater mahabesar di alam raya ini. Semua adalah aktor sekaligus penonton teater.

“Setiap kita dapat satu peranan,” lantun Ahmad Albar [bisa juga kita bayangkan Nike Ardila dan Nicky Astria yang melantunkan lagunya], diiringi petikan gitar Ian Antono. Mahasiswa memerankan diri sebagai kaum intelek, mengerjakan tugas, berdemonstrasi jika ia aktif di suatu organisasi, atau sesekali menongkrong dengan teman-temannya di kafe sambil membidik sesuatu yang ingin mereka dapatkan dan belum juga didapatkan. Seorang penulis akan menonton pentas kehidupan ini sebelum mulai menuliskannya. Bahkan orang yang sehari-hari menggeluti seni teater, begitu selesai pentas atau latihan dia akan kembali menjalankan peran di luar teater, entah bekerja atau lainnya.

Banyak kelompok teater di Bandung yang masing-masing anggotanya “rangkap” profesi; sebagai pemain atau aktor, iya, sebagai pekerja juga, iya. Bagaimana pun mereka tidak mungkin mengandalkan penghasilan dari teater. Mooi Bandoeng, kelompok teater yang didirikan Hermana HMT di Bandung tahun 1996, memiliki profil anggota yang sangat beragam mulai dari pelajar, mahasiswa, buruh, tukang ojek, pegawai bank, pegawai toko, pekerja lepas. Tidak ada konflik kepentingan di sini karena pekerjaan dan aktivitas seni yang mereka lakukan tak saling mempengaruhi; yang ada mereka harus menyisihkan waktu, energi, dan mungkin biaya agar bisa menghidupkan kesenian.

Beda halnya dengan rangkap jabatan para pejabat negara yang sekaligus anggota atau pimpinan partai politik, mereka akan terjebak mendahulukan kepentingan negara atau partai politiknya, atau menggunakan sumber daya negara untuk partai politiknya. Rangkap jabatan jenis ini jelas-jelas bentuk dari konflik kepentingan. Mereka mungkin tak mengerti definisi konflik kepentingan, dan kalaupun mengerti mereka akan pura-pura tak mengerti sehingga layak untuk disebut tak tahu diri.

Kepura-puraan dalam politik lumrah terjadi pada dunia sandiwara. Para elite politik sadar bahwa mereka sedang bermain peran yang penuh kesementaraan. Suatu waktu mungkin saja mereka berubah haluan, mungkin beralih profesi menjadi artis sinetron, meski kasus ini sebenarnya jarang terjadi karena kenyataannya justru sebaliknya, banyak artis yang justru menjadi politikus.

Artis yang terjun ke dunia politik menjadi bukti lain lagi tentang dunia panggung sandiwara. Langkah para artis ini cukup logis jika dilihat dari kacamata pragmatis. Sang artis, setidaknya dia merasa, sudah memiliki panggung di layar kaca atau media sosial maka ia akan mudah mendapatkan panggung politik. Mengenai pekerjaan kenegaraan apa yang akan mereka kerjakan ketika terpilih nanti, itu soal belakangan karena toh mereka sudah biasa berakting.

Mudah bagi mereka untuk meniru akting-akting yang dilakukan para politikus kawakan. Pada musim kampanye mereka akan berusaha sekuat tenaga untuk menampilkan citra merakyat, sederhana, dan prorakyat kecil. Peran ini terus dimainkan sampai kematian menjemput. Setelah kematian, nama mereka masih akan hidup sebagai pengkhianat atau pahlawan, tergantung seberapa baik mereka menjalankan seni peran di masa hidupnya dan tergantung siapa penulis sejarahnya. 

Meski kehidupan manusia ini adalah lakon teater mahakolosal, bukan berarti setiap kepura-puraan atau kepalsuan di dalamnya tidak akan terungkap. Cepat atau lambat kepalsuan itu akan terbongkar, orang-orang yang di dunia ini berperan sebagai penulis akan mencatat kebenaran tersebut, walaupun ada kenyataan lain yang tak kalah absurdnya bahwa para penulis bisa jadi menambah runyam suatu kepalsuan sejarah, tergantung dengan kacamata mana dia menulisnya.

Baca Juga: NGABANDUNGAN: Mitos Fesyen Lebaran #1
NGABANDUNGAN: Tafsir Tunggal Pancasila
NGABANDUNGAN: Komedi Kemiskinan dalam Lakon Tengul

Rangkap Jabatan atawa Lakon dalam Lakon?

Kisah lakon di dalam lakon di panggung sandiwara digambarkan sangat baik dalam cerpen Jorge Luis Borges berjudul “Tema Pengkhianat dan Pahlawan” [pernah diterbitkan LKIS (1999) dalam buku Labirin Impian, sebuah antologi cerita pendek (cerpen) karya sastrawan Argentina itu]. Cerpen ini menggambarkan adegan rumit dan berlapis bahwa jarak antara pengkhianat dan pahlawan amatlah tipis. Atau jika ditafsirkan lebih luas lagi, jarak kebenaran dan kepalsuan begitu dekat.

Borges dengan gaya penceritaannya yang khas, paduan luwes antara filsafat, sastra, fantasi, dan detektif, memakai kacamata Ryan yang merupakan penulis biografi Fergus Kilpatrick, tokoh kelompok pemberontak misterius Irlandia. Ryan adalah cicit dari Fergus Kilpatrick.

Di mata rakyat Irlandia yang dilanda euforia pemberontakan, Fergus Kilpatrick adalah pemimpin muda, populer, heroik, “yang namanya menggambarkan syair Browning dan Hugo, yang patungnya berdiri di atas bukit abu-abu di antara rawa-rawa merah”. Namun Fergus Kilpatrick dibunuh secara misterius pada suatu pementasan teater.

Borges mengingatkan bahwa kisah Fergus Kilpatrick bisa terjadi di mana pun terutama di negara-negara tertindas dan keras kepala, bisa di Polandia, Irlandia, Venesia, beberapa negara bagian Amerika Selatan atau Balkan. Dalam cerpen ini Borges memilih Irlandia dengan tahun kejadian 1824 dengan alasan, “untuk kenyamanan naratif”.

Pada kisah ini, Ryan selama meriset penulisan biografi sang pahlawan menemukan sejumlah fakta ganjil dan misterius. Ryan masuk ke dalam labirin membingungkan, begitu dia berhasil keluar dari labirin itu dia malah masuk ke labirin yang lain. Narasi cerita dari Borges ini mungkin agak mirip dengan pepatah “keluar mulut harimau masuk mulut buaya”.

Ryan menemukan alur pembunuhan terhadap Fergus Kilpatrick merupakan gabungan detail-detail yang terjadi pada drama yang ditulis William Shakespeare, yaitu lakon Julius Caesar dan Tragedi Macbeth. “Mereka [detail tersebut] bersifat siklus: mereka tampaknya mengulang atau menggabungkan fakta dari daerah terpencil, dari zaman yang jauh,” demikian teka-teki yang dihadapi Ryan.

Ada surat tersegel yang memperingatkan Fergus Kilpatrick tentang risiko jika pergi ke teater malam itu. Alur ini mirip dengan drama Julio César ketika dia “dalam perjalanan ke tempat belati teman-temannya menunggunya, menerima peringatan yang tidak sempat dia baca”. Istri Caesar, Calpurnia, melihat firasat buruk dalam mimpinya, tentang hancurnya sebuah menara yang telah ditetapkan senat. Calpurnia khawatir sesuatu yang kejam akan menimpa suaminya. Sementara menjelang kematian Kilpatrick, desas-desus ramai membicarakan pembakaran menara bundar Kilgarvan, “sebuah fakta yang bisa jadi merupakan pertanda, karena dia lahir di Kilgarvan”.

Ryan juga menemukan paralel tersebut dalam puisi W. B. Yeats, Konspirator Menara Irlandia, bahwa “Semua pria adalah penari dan langkah mereka menuju ke dentang gong yang biadab”. Puisi ini mengantarkan Ryan pada paham reinkarnasi atau transmigrasi jiwa, bahwa “sebelum menjadi Fergus Kilpatrick, Fergus Kilpatrick adalah Julius Caesar”, karena “semua pria adalah penari”.

Kemiripan-kemiripan peristiwa sejarah yang satu dengan yang lainnya sudah diingatkan dalam pepatah lama bahwa sejarah selalu [kadang] berulang. Namun cerpen Borges ini menunjukkan “kenyataan” yang lebih mengejutkan lagi, “Bahwa sejarah telah menyalin sejarah cukup mencengangkan; bahwa sejarah menyalin sastra tidak terbayangkan”.

Pada penyelidikan terakhirnya, Ryan akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa Kilpatrick dibunuh oleh kelompoknya sendiri dalam suatu pentas teater yang direncanakan seteliti mungkin di sebuah kota yang seluruh penduduk sedang bermain teater.

Sosok pembunuh Kilpatrick sengaja dirancang bahwa ia orang tak dikenal. Maksud pembunuhan ini untuk menimbulkan kesan bahwa Kilpatrick adalah patriot, pemimpin pemberontakan tanpa cela, tewas sebagai martir yang akan lebih menyulut lagi gairah pemberontakan. Bisa dibayangkan jika Kilpatrick dibunuh karena ketahuan mengkhianati perjuangan kelompoknya sendiri, barangkali semangat rakyat akan runtuh dan ini akan dimanfaatkan betul oleh kaum kontra pemberontakan.

Ryan menyadari bahwa ia kini menghadapi kebenaran yang pahit, bahwa Kilpatrick yang riwayat hidupnya sedang ia tulis adalah pengkhianat. Ryan menemukan detail yang menjadi celah untuk sampai pada kebenaran ini. Detail ini sengaja dibikin oleh James Alexander Nolan, sahabat seperjuangan Fergus Kilpatrick sekaligus sutradara yang merancang teater dengan ending eksekusi terhadap sang pahlawan, agar kelak kebenaran terungkap.

Nolan sendiri merupakan anggota kelompok pemberontak yang seniman. Selain aktif dalam pemberontakan, Nolan menggeluti teater. Dia telah menerjemahkan drama utama Shakespeare ke dalam bahasa Gaelik; di antaranya, Julius Caesar.

Borges menyimpan peran signifikan Ryan di akhir cerpennya, bahwa sang penulis sejarah kehidupan Fergus Kilpatrick yang telah menemukan kebenaran itu akhirnya memilih diam. Dia tetap menulis biografi Kilpatrick sebagai pahlawan, bukan sebagai pengkhianat.

*

Seperti di awal cerpennya, Borges mengingatkan bahwa peristiwa ini bisa berlangsung di mana pun di negara yang tertindas. Bisa jadi kemungkinan ini terjadi di Indonesia dengan segenap sejarah masa lalunya, dengan kebenaran-kebenaran pahitnya, dengan tokoh-tokoh yang lebih senang ditulis kebaikan-kebaikannya demi menjadi pahlawan.

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//