KELAS LIAR #2: Membedah Kemacetan Bandung Setelah Turun dari Angkot
Kelas Liar #2 diselenggarakan di Toko Buku Pelagia, Bandung. Mengangkat tajuk Perkara Parah Kemacetan Bandung.
Penulis Ryan D.Afriliyana 14 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Para peserta Kelas Liar #2 memulai perjalanan menuju Toko Buku Pelagia dengan menggunakan angkutan umum, termasuk angkot. Mereka langsung merasakan kondisi fasilitas angkot dan kemacetan Kota Bandung yang hingga kini belum teratasi. Toko Buku Pelagia, yang terletak di Jalan Kebon Jati, menjadi lokasi penyelenggaraan Kelas Liar #2: Perkara Parah Kemacetan Bandung. Jalan Kebon Jati sendiri merupakan salah satu titik kemacetan utama di Kota Kembang.
Bicara soal transportasi publik, Bandung memang memiliki beragam moda akngkutan umum seperti angkot. Namun transportasi yang terbilang jadul ini tak sanggup melayani kebutuhan warga. Orang Bandung lebih memilih kendaraan pribadi atau transportasi daring. Akibatnya, kemacetan terus meningkat.
Laporan TomTom Traffic Index menobatkan Bandung sebagai kota termacet di Indonesia dan mengalahkan Jakarta yang sebelumnya dikenal dengan kemacetannya. Imbas dari kemacetan ini tidak main-main. Kerugian yang disebabkan oleh kemacetan di Indonesia ditaksir mencapai 12 triliun rupiah per tahun 2024. Angka tersebut dihitung berdasarkan beberapa aspek ekonomi, waktu, lingkungan, kesehatan, sosial, penurunan produktivitas, juga kesenjangan akses, dan pendidikan.
Kerentanan transportasi publik disinyalir menjadi salah satu penyebab kemacetan. Di Bandung, transportasi publik yang beroperasi tidak sepenuhnya melayani kepentingan publik. Kebanyakan moda transportasi publik dikelola swasta atau individu.
Hal itu membuat pelayanan publik tumpang tindih dengan mata pencaharian para para pelaku usaha di bidang transportasi. Alih-alih mengurangi penggunaan kendaraan pribadi yang menjadi biang kemacetan, transportasi publik di Bandung malah kurang diminati warga.

Ratna Agustina, Perencanaan Wilayah dan Kota Institut Teknologi Nasional (Itenas) Bandung mengungkapkan, kemacetan membentuk lingkaran setan, dimulai dari pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk, dan perubahan pola aktivitas.
"Kemudian motorisasi yang tinggi sekarang kita jarang yang jalan kaki dan naik sepeda, terlebih lagi dana pemerintah jelas terbataslah," ungkap Ratna, salah satu pemateri Kelas Liar #2.
Menurut Ratna, sekarang kebanyakan orang ketergantungan memakai kendaraan. Tapi bagi sebagian orang menggunakan kendaraan umum adalah sebuah keharusan karena mereka tidak punya pilihan lain.
Pemerintah dinilai telat menyadari akar permasalahan kemacetan kota. Pada awalnya bahkan pemerintah tidak punya anggaran untuk membuat angkutan umum atau layanan transportasi publik. Pemerintah memasrahkan urusan transportasi publik ke swasta. Sekarang, permasalahan transportasi publik dan kemacetan sudah berkembang menjadi benang kusut.
"Nah, sekarang udah semakin carut-marut, udah semakin susah. Ketika sudah sadar, angkutan umum itu harus baik, kondisinya sudah terlalu carut-marut gitu loh," tutur Ratna.
Kurangnya pemerintah dalam membaca visi perkembangan kota dapat dilihat dari konsep perencanaan tata kota yang lebnih memprioritaskan penggunaan kendaraan pribadi, khususnya mobil, sebagai moda transportasi utama.
"Loh pemerintahnya sendiri aja di persimpangan atau bahu jalan dikasih marka. Itu berarti kan resmi kan untuk parkirkan ya? Itu kan mengurangi kapasitas jalan. Gimana enggak macet?" Ratna terheran.
Pemerintah membangun prasarana jalan atau parkir buat mereka yang mempunyai mobil atau kendaraan pribadi. Hal ini mendorong warganya untuk berlomba menggunakan kendaraan pribadi daripada transportasi publik.
"Coba kalau parkir dimahalin, mau enggak naik kendaraan pribadi? Atau misalnya parkir di tengah kota lebih mahal daripada parkir di daerah pinggiran kota," kata Ratna.
Pemateri lainnya di Kelas Liar #2, Muhammad Zoel Yandri, CO-Founder Transport For Bandung (TFB), menjelaskan transportasi publik harus menjangkau ke mana pun dengan tepat waktu. Faktanya, transportasi publik di Bandung tidak demikian.
Meskipun Transport For Bandung pesimis dengan pemerintah, komunitas ini tetap berkolaborasi untuk menata ulang fasilitas-fasilitas transportasi publik. Termutakhir, Transport For Bandung melakukan pendataan halte-halte di Bandung Raya secara sukarela.
"Misalnya, warga butuh informasi, lalu, kita pasang walau tanpa izin, Dishub Kota Bandung jadi me-notice dan minta tolong untuk rombak ulang halte," ucap Zoel.
Di samping itu, sembari pemerintah melakukan perbaikan, masyarakat boleh berisik. Selama ini masyarakat dinilai kurang berisik menuntut perbaikan transportasi publik di Bandung.
"Mungkin kalau kita lebih berisik, akan seperti di Jakarta, berbuah menjadi aturan yang lebih tinggi terkait layanan transportasi publik," tutur Zoel.

Transport For Bandung menawarkan solusi kepada pemerintah untuk beberapa jenis transportasi publik di antaranya, perangkotan memungkinkan pembayaran dengan sistem buy the service operator, dibayar per kilometer, dan sopir digaji. Untuk per-busan bisa mengubah dari yang multilayanan jadi satu layanan, sehingga pelayanan mereka lebih fokus.
Untuk perkeretaapian Transport For Bandung menyarankan agar bisa mengubah kereta konvensional menjadi elektrik dan mereaktivasi jalur kereta api nonaktif di Bandung Raya.
"Solusi tersebut bisa direalisasikan, tidak ada alasan untuk tidak ada anggaran," tandas Zoel.
Untuk reaktivasi jalur kereta api nonaktif, Zoel mengingatkan mengenai akan adanya warga terdampak yang harus diberi solusi terbaik. "Solusi bisa berupa uang atau rumah. Justru peran pemerintah harus menengahi," kata Zoel.
Sementara itu, Amanda Mita dari organisasi Demokrasi Kita menjelaskan temuan risetnya tahun 2013 tentang eksperimen sosial Angkot Day 2013. Hasilnya, kemacetan menjadi salah satu keresahan terbesar warga Kota Bandung.
"Ansumsinya adalah bisa merujuk karena minimnya transum yang layak, aksesibel, terjangkau, dan abainya pemerintah," ungkap Mita.
Mita mengungkapkan bahwa meskipun berbagai upaya telah dilakukan, sistem transportasi di Bandung belum menunjukkan perubahan signifikan. Salah satu faktor utama adalah minimnya sistem transportasi yang layak, terjangkau, dan aksesibel.
Menurutnya, kemacetan ini diperparah oleh meningkatnya penggunaan kendaraan pribadi, ketidakteraturan dalam berlalu-lintas, dan pengelolaan transportasi umum yang buruk.
Baca Juga: KELAS LIAR #1: Membedah Pola Penggusuran Kampung Kota di Bandung dan Langkah-langkah Advokasinya
KABAR DARI REDAKSI: Mengapa Kami Menggulirkan Kelas Liar dan Mengapa Kamu Harus Terlibat

Pengalaman Warga Menggunakan Angkot
Para peserta Kelas Liar #2 menceritakan pengalaman mereka naik angkot ke lokasi Toko Buku Pelagia. Ada peserta yang menyatakan bahwa bagi banyak warga Bandung, naik angkot bukanlah pilihan yang nyaman. Abdul Hadi Ahmad, 28 tahun, misalnya sehari-hari lebih memilih menggunakan transportasi daring.
Masalah keamanan bukanlah satu-satunya faktor yang mengganggu kenyamanan penggunaan angkutan kota. Hadi menyoroti dampak buruk terhadap kesehatan mental yang bisa timbul dari ketidaknyamanan selama perjalanan.
"Ada hal yang tidak menyenangkan selama di perjalanan naik transportasi publik, sehingga menjadi stres," tuturnya. Kepercayaan terhadap angkutan kota juga kian menurun karena adanya ketidakjelasan kelembagaan dan perilaku sopir angkot yang kadang tidak dapat diandalkan.
Saat menuju Toko Buku Pelagia, Hadi memulai perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 7-8 menit menuju Jalan Dago Ir. H. Juanda, untuk kemudian menaiki angkot trayek Stasiun Hall Dago dari Borma Dago. Perjalanan dengan angkot memakan waktu sekitar 21-22 menit hingga Pasar Baru.
Hadi kemudian melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki sekitar 10-11 menit menuju Pelagia. Jalan kaki yang ia tempuh tidak selalu aman, karena sebagian trotoar terhalang pedagang dan parkir motor, memaksanya berjalan di jalan raya yang berisiko.
Pengalaman Marsha Victorina, 20 tahun, lain lagi. Ia menyoroti kemacetan di Astanaanyar, kampung halamannya. Kecamatan di Bandung yang padat dengan aktivitas ekonomi ini memiliki penduduk yang padat. Kemacetan di kawasan ini dipicu oleh faktor-faktor seperti pungutan liar, penggunaan bahu jalan oleh pedagang, dan minimnya revitalisasi pasar oleh pemerintah.
"Kemacetan yang enggak kunjung reda gitu di perputaran pasar ini orang-orang pakai segala macam ternyata banyak faktor yang ngedukung kayak pungli," kata Marsha.

Ia menambahkan, petugas yang mengatur lalu lintas sering kali tidak efektif dalam mengurai kemacetan. Bahkan, menurutnya, petugas terkadang hanya mengambil foto dan parkir mobil di bahu jalan.
"Setelah 20 tahun saya dilahirkan, kemacetan itu tidak pernah berubah," tegas Marsha.
Meskipun angkot cukup sering digunakan di daerah tersebut, pengalaman naik angkot tetap tidak lepas dari masalah. Ia mengaku merasa aman, tetapi gangguan seperti panas, suara bising, dan perilaku sopir yang tidak terduga membuatnya tidak nyaman.
“Karena ada beberapa kasus ada yang si angkot itu dijadiin rumah nya supir. Jadi kalau mau pipis mau apa di botol terus botolnya disimpan di bawah jok kayak itu aja,” lanjut Marsha.
Namun Marsha memiliki pengalaman khusus dengan angkutan kota sejak kecil. Saat bersekolah di SD, ia sering diantarkan oleh seorang sopir angkot yang dipercayakan oleh neneknya. "Jadi setiap jam 7 pagi saya ditungguin di situ karena saya jalan ke situ sendiri posisinya nenek kakek itu lagi enggak bisa," kenang Marsha.
Pengalaman ini berlanjut hingga ia menginjakkan kaki di SMP di mana angkot menjadi moda transportasi utamanya. Saat SMA ia mulai beralih ke ojek daring karena angkot tidak lagi melewati rute sekolahnya.
Bagi Marsha, meskipun angkutan kota masih dianggap murah, ketidaknyamanan selama perjalanan dan kerusakan pada trotoar yang seharusnya bisa digunakan pejalan kaki menjadi hambatan besar. “Trotoar masih kepakai bangetlah buat para pejalan kaki gitu, tapi sekarang undah banyak rusak apa segala macam,” tuturnya.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB