Aliansi Mahasiswa Papua Bandung Peringati Perjanjian New York
Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bandung juga mengingatkan seluruh pihak untuk menghormati perbedaan ras umat manusia.
Penulis Yopi Muharam18 Agustus 2025
BandungBergerak.id - Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Bandung memperingati 63 tahun New York Agremment dan 6 tahun rasisme melalui aksi di sekitar Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, Sabtu, 16 Agustus 2025. Berbekal data historis, AMP Bandung menyatakan bahwa 15 Agustus 1962 menjadi momen penandatanganan perjanjian New York tentang perpindahan kedaulatan bangsa Papua menjadi bagian Indonesia.
Aksi AMP Bandung diwarnai orasi yang menyatakan bahwa perjanjian New York berisi penyerahan Papua bagian barat dari Belanda melalui Otoritas Eksekutif Sementara Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNTEA) dengan mediator Amerika Serikat. Menurut AMP Bandung, sebagian rakyat Papua menolak isi perjanjian itu.
AMP Bandung menyatakan, perjanjian New York menyatakan Indonesia harus melakukan Penentuan Pendapat Rakyat atau Pepera bagi rakyat Papua secara one man one vote. Namun dalam mekanismenya, hanya 1.025 orang yang dilibatkan untuk menentukan nasib Papua. Sementara jumlah orang Papua Barat saat itu diperkirakan lebih dari 700-800 ribu orang.
AMP Bandung menilai, Papera dilakukan tidak secara demokratis. Orang-orang yang mengikuti Papera telah dipilih agar menyetujui bahwa Papua bergabung dengan Indonesia.
“Mereka dikarantina di bawah tekanan todongan senjata, intimidasi, dan teror untuk memilih (agar Papua) integrasi ke NKRI,” ujar orator dari AMP Bandung.
Dia juga menyebut perjanjian New York ini seakan memberi keran bagi Amerika dan Indonesia untuk mengeksploitasi sumber daya alam Papua melalui Penandatangan Kontrak Karya pertama antara negeri Abang Sam dengan pemerintah Indoensia untuk mendirikan PT Freeport di tahun 1967. Alhasil hingga kini, penambangan terus dilakukan di Papua. Setidaknya 9.946 hektare luas tanah dikeruk untuk menambang emas.
Hal senada diungkapkan juga oleh Edi, juru bicara AMP Bandung yang mengungkapkan perjanjian New York tidak sah karena tidak melibatkan bangsa Papua. “Perjanjian itu hanya melibatkan Indonesia, Belanda, dan Amerika saja,” tukas Edi.
Ia mebambahkan, penentuan nasib di era Papera dilakukan secara paksa melalui negoisasi PBB. Terlebih menurutnya bangsa Papua saat masa pendudukan Belanda tengah berjuang sendiri untuk memerdekakan. “Jadi tidak ada keterlibatan bangsa Papua untuk sama-sama berjuang kemerdekaan Indonesia,” ungkapnya.
Baca Juga: Mahasiswa Papua di Bandung Mengajak Memetik Pelajaran dari Bahaya Tambang Nikel di Raja Ampat
Refleksi Sejarah Mahasiswa Papua di Gedung Merdeka
Peringatan Rasisme
Bulan Agustus juga menjadi bulan kelam bagi rakyat Papua. Selain terkait momentum perjanjian New York, di bulan pula terjadi tindak rasisme yang dialami oleh mahasiswa Papua di Surabaya, tepatnya 16 Agusutus 2019.
Edi ingat betul saat dia mendapat berita dan cerita yang dialami mahasiswa Papua tersebut. Dia menegaskan tak ingin kejadian rasisme terhadap orang Papua terus terjadi.
Menurut Edi, tindakan rasisme itu terus diperingati agar tidak terulang kembali. “Mahasiswa Papua itu harus berdiri untuk melawan tindakan rasisme,” tuturnya. Dia menegaskan bahwa rasisme adalah musuh dunia, bukan hanya musuh orang Papua saja.
Di sisi lain, Veronica Alom, anggota AMP lainnya juga jengah dengan rasisme. Dia menegaskan tindakan rasisme tidak dapat dibenarkan oleh siapa pun. “Tuhan menciptakan kami manusia sama seperti manusia yang putih, yang lurus juga,” ungkapnya.
Perempuan itu merasa ketika tindakan rasisme ditujukan terhadap orang Papua seakan merendahkan martabat mereka. “Jadi tentunya kami merasa sangat tidak dihormati kalau itu kayak rasa sakit,” katanya.
Ia berharap semua pihak menghargai perbedaan ras manusia. “Kami sebagai manusia punya darah yang merah sama gitu,” tukasnya.
Menanggapi beragam tindak rasisme dan kekerasan di tanah Papua, AMP Bandung menuntut penentuan nasib sendiri sebagai solusi demokratis bagi bangsa West Papua, penutupan PT Freeport dan semua perusahaan kelapa sawit dan pertambangan lainnya di ata tanah Papua, pencabutan UU Cipta Kerja, Otsus Papua jilid 1 & 2, serta daerah otonomi baru (DOB), dan pencabutan izin PSN di seluruh wilayah tanah Papua. AMP Bandung juga menuntut penghentian kekerasan bersenjata di tanah Papua.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB