MULUNG TANJUNG #8: Upaya Menjaga Umur Panjang Bahasa Daerah dengan Fiksi Mini Sunda
Fiksi mini Sunda sama redupnya dengan fiksi mini Indonesia. Di kalangan pegiat sastra Sunda muncul kekhawatiran punahnya pengguna bahasa daerah.
Ernawatie Sutarna
Ibu rumah tangga, peminat sejarah, anggota sejumlah komunitas sejarah di Bandung.
2 September 2025
BandungBergerak - Sastra daerah bukan sekadar warisan budaya, tetapi cerminan kearifan lokal yang memuat nilai-nilai hidup, norma, pandangan masyarakat, serta keunikan estetika berbahasa. Selain berfungsi sebagai sarana pelestarian budaya, sastra daerah juga dapat menumbuhkan kreativitas dan minat baca siswa, mempererat hubungan antargenerasi, serta memperkuat implementasi kurikulum muatan lokal. Gagasan ini disampaikan oleh Kepala Balai Bahasa Jawa Barat, Herawati, dalam Seminar Merebak Ruang Sastra Daerah di Sekolah yang diselenggarakan oleh Yayasan Kebudayaan Rancage bekerja sama dengan Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, 13 Agustus 2025 lalu.
Tapi kenyataannya, kondisi bahasa Sunda pada saat ini cukup mengkhawatirkan mengingat menurunnya jumlah penutur bahasa Sunda pada saat ini. Memang masih banyak penutur bahasa Sunda, tapi sebagian besar adalah pada segmen usia tua. Banyak faktor yang menyebabkan fenomena ini, dua di antaranya adalah faktor lingkungan yang didominasi bahasa Indonesia atau bahasa Inggris, serta penggunaan bahasa Sunda di lingkungan keluarga bergeser ke arah bahasa Indonesia atau bahasa lainnya. Yang terakhir ini salah satunya disebabkan pernikahan antaretnis. Pergeseran bahasa ini biasanya terjadi di kalangan kaum muda. Hal ini berdampak pula pada perkembangan sastra Sunda.
Berkurangnya penutur bahasa Sunda dikhawatirkan dapat menyebabkan sastra Sunda sulit berkembang di masa yang akan datang karena berkurangnya peminat dan penutur bahasa Sunda. Juga karena terputusnya regenerasi penulis juga pembaca sastra Sunda. Padahal sastra dapat memupuk kecintaan berbahasa Sunda
Fiksi Mini dalam Sastra Sunda
Kekhawatiran terhadap punahnya bahasa dan sastra Sunda mendorong para pemerhati sastra mendirikan wadah khusus bagi fiksi singkat, yang kemudian berkembang pesat seiring dengan maraknya media sosial. Lalu terbentuklah Grup Fiksi Mini Bahasa Sunda (FBS) di laman Facebook pada 16 September 2011. Sekelompok orang yang peduli pada perkembangan bahasa dan sastra Sunda ini berkomitmen pada penggunaan bahasa Sunda sesuai dengan kaidah bahasa Sunda. Banyak penulis baru lahir melalui kelompok ini dan FBS telah mendorong para penulis senior untuk menerbitkan karya mereka dalam bahasa Sunda. Sebagian karya mereka kemudian diterbitkan di media konvensional seperti majalah dan buku [Fiksimini Berbahasa Sunda dalam Media Sosial (Minifiksi Sunda di Media Sosial), Teddi Muhtadin, dkk].
Media sosial menjadi satu wadah yang potensial untuk perkembangan fiksi mini sebagai salah satu genre baru sastra, dalam hal ini sastra Sunda. Banyaknya pengguna media sosial, khususnya Facebook, yang masih menaruh perhatian besar pada bahasa Sunda. Mereka berharap membawa pengaruh yang signifikan pada bertahannya bahasa Sunda sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia.
Setelah itu diterbitkan pula buku-buku yang berisi kumpulan fiksi mini karya para fikminer Sunda. Salah satu yang penulis baca adalah Buku Kumpulan Fiksi mini Sunda "Kalakay" karya fikminer Déni Riaddy [diterbitkan penerbit Pustaka Jaya, 2013]. Buku ini berisi seratus tiga buah judul cerita, salah satunya berjudul Kalakay.
Kalakay
Angin ngagelebug. Salambar kalakay ragrag. Pluk! Nyanghunjar dina taneuh. Teu lila. Angin ngagelebug kaburu datang deui. Nyapukeun kalakay. Pung ngapung ngawang-ngawang. Ragrag deui. Niis heula sakedapan handapan tangkal waru. Sisi susukan. Hiliwirna angin ngapungkeun kalakay. Brus ka susukan. Kabawa palid. Walungan caah. Kalakay palid beuki ka lebak. Ngajauhan. Ninggalkeun tempat asalna. Lebah sédong nu nyangkeredong, kalakay muih. Lelet. Nyoba maké gaya kukupu, gaya dada, nepi ka béak déngkak. Kapeclengkeun deui kaluar tina puteran. Tapi keukeuh teu bisa ngalawan lajuna cai.
Angkleung-angkleungan sosoranganan. Di tengah cai nu mimiti umplak-umplakan. Karasa keueung. Euweuh batur pakumaha. Sepi beuki ngeukeupan diri. Lebah muara, leungeun muntang kana tangkal eurih, satakerna. Kalah ngalongkéwang. Nyeuit nurih ati. Sungkan pisah. Bari nganaha-naha ka angin nu geus nyapih manéhna tina kahayang. Segruk nyuuh. Kalakay hayang balik deui kana tangkal nu jadi sumber hirupna. Langgeng salilana.
Menurut penulisnya, cerita yang diangkat dalam fiksi mini ini adalah gambaran kehidupan manusia. Lahir, hidup, sampai meninggal dunia. Pengalaman yang dialami semua manusia, tentu saja dengan kisahnya masing-masing.
Ada satu karya Irvan Mulyadie yang menarik berjudul Satir Bapa, yang memang bergaya satir untuk menyampaikan kritik terhadap fenomena sosial yang terjadi di masyarakat.
Satir Bapa
"Priiit...Priiit.....!!!"
"......."
"Kunaon maneh bet teu dihelm?"
"Astagfirulloh....."
"Naha make istigfar sagala, da helmet mah moal aya ku ngan ukur maca istigfar" "Sanes kitu, Bapa. Euuu...."
"Tong sok ngangles, geus puguh maneh teh ngalanggar aturan. Rek Kumaha atuh ayeuna?
Ditilang we nya ?!"
"Ke atuh, Pa. Bade ngontek heula Bapa Kapolresta"
"Baruk?! Na atuh ari Yayi, sanes nyarios atuh ti tatadi. Hapunten, nya. Manawi teh teu kenal sareng Bapa. Mangga we lajengkeun deui...."
".....(katipu).....”
Fiksi mini Sunda pada perkembangannya bisa berperan dalam upaya menjaga dan mengembangkan sastra, budaya, dan bahasa Sunda di masa serba digital sekarang ini. Dan dunia digital yang begitu diminati anak muda menjadi salah satu ruang yang diharapkan menarik minat mereka terhadap bahasa, budaya, dan sastra Sunda. Jika ini berhasil, kekhawatiran akan punahnya bahasa Sunda akan sedikit berkurang karena adanya regenerasi yang akan membantu untuk melestarikan bahasa, budaya, dan sastra Sunda.
Tetapi seperti meredupnya karya fiksi mini dalam dunia sastra Indonesia, begitu pula yang penulis amati untuk saat ini pada fiksi mini sastra Sunda. Hal ini juga disepakati oleh beberapa kawan penulis sebagai peminat sastra Sunda. Semoga saja fiksi mini Sunda yang pernah menggeliat dan melahirkan buku-buku kumpulan fiksi mini Sunda mampu menyemarakkan kembali dunia sastra di media sosial, sehingga jumlah penutur bahasa Sunda akan bertambah di segmen usia muda. Semoga fiksi mini Sunda bisa menjadi salah satu upaya kita memperpanjang umur bahasa Sunda sebagai salah satu bahasa yang digunakan dalam berkomunikasi.
*Kawan-kawan yang baik, silakan menengok tulisan-tulisan lain Ernawatie Sutarna atau artikel-artikel lain tentang Sejarah Bandung