• Opini
  • Demokrasi Eceran, Elite Grosiran

Demokrasi Eceran, Elite Grosiran

Demokrasi kita hari ini lebih mirip klub eksklusif ketimbang rumah bersama. Ironinya, rakyat selalu diajak percaya bahwa demokrasi ini milik bersama.

Pinggala Adi Nugroho

Lulusan Jurusan Sastra Inggris Universitas Teknokrat Indonesia. Mencoba kembali menulis setelah setahun vakum. Dapat dihubungi di instagram n_adingrho

Para pembesar mau dipandang dan dikenang sebagai orang baik, tapi tindak-tanduk dan ucapan mereka seperti menganulir narasinya sendiri. (Ilustrasi: Bawana Helga Firmansyah/Bandungbergerak)

9 September 2025


BandungBergerak.id – Demokrasi di negeri ini semakin terasa seperti pasar. Bedanya, rakyat hanya bisa membeli janji-janji politik secara eceran: secuil harapan saat kampanye, sepotong kebijakan setengah matang, dan secangkir retorika yang basi. Sementara itu, para elite politik berbelanja secara grosiran: tunjangan melimpah, fasilitas tanpa batas, dan kebijakan yang sering kali lebih ramah pada kepentingan modal ketimbang kepentingan rakyat.

Ironinya, rakyat selalu diajak percaya bahwa demokrasi ini milik bersama, padahal yang benar-benar “memiliki” akses penuh hanyalah mereka yang punya kuasa dan saldo tebal. Dari kursi DPR sampai ruang rapat kabinet, semua terasa seperti gudang grosiran tempat segelintir orang menimbun keuntungan, sementara rakyat hanya kebagian remah diskon di etalase depan.

Baca Juga: Dari Muak ke Aksi: Dari Kejenuhan Publik hingga Gelombang Demonstrasi Nasional
Menguji Batas Sabar Rakyat, dari Aksi Sipil Menuju Demokrasi yang Hidup
Merayakan Kematian Demokrasi Keterwakilan

Indonesia di Titik Genting

Indonesia sedang berada di titik genting dalam perjalanan demokrasinya. Beberapa hari terakhir, jalanan di berbagai kota dipenuhi gelombang demonstrasi. Ribuan orang turun ke jalan: driver ojek online, buruh, mahasiswa, hingga aktivis. Teriakan mereka sama: keadilan sosial. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan bukan hanya untuk pemangku kuasa.

Pemicu utama adalah keputusan DPR yang menyetujui tunjangan yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Seperti tunjangan rumah untuk setiap orang sebesar Rp 50 juta per anggota. Kemudian tingkah laku mereka sebagai wakil rakyat yang sama sekali tidak mencerminkan sebagai wakil rakyat dan Keputusan Menteri di era pemerintahan kali ini yang banyak sekali menyengsarakan rakyat. Bagi rakyat yang setiap hari bergelut dengan harga beras, tarif listrik, dan ongkos sekolah anak, kebijakan ini terasa seperti tinjuan yang menohok. Bagaimana tidak? Sebelum keadaan chaos ini terjadi, pemerintah mengeluarkan statement bahwa negara akan memberlakukan efisiensi. Tapi kenyataannya adalah sebaliknya. Para elite yang duduk nyaman di atas sana justru bagi-bagi tunjangan, jabatan, penghargaan. Sedangkan rakyat yang di bawahnya hanya bisa melihat dengan hati yang teriris dan sudah pasti merasa dibohongi.

Bagaimana mungkin wakil rakyat yang seharusnya hidup sederhana justru menikmati fasilitas mewah, sementara rakyat yang mereka wakili semakin terimpit? Demokrasi seharusnya menjamin bahwa suara rakyat menjadi dasar utama setiap kebijakan. Namun demonstrasi besar-besaran kali ini justru menunjukkan sebaliknya: suara rakyat terpinggirkan, suara uang yang lebih nyaring. Bahkan di Senayan, para anggota DPR bisa dengan cepat mengesahkan tunjangan fantastis untuk dirinya sendiri. Tapi di jalanan, rakyat harus berteriak berhari-hari agar kebijakan yang menyangkut hidup mereka didengar. Kesenjangan inilah yang membuat demokrasi Indonesia terasa seperti panggung sandiwara: rakyat bersorak, tapi naskahnya ditulis oleh segelintir elite.

Jangan heran jika demonstrasi marak beberapa hari ini. Demonstrasi tersebut bukan lahir dari hasrat untuk rusuh, melainkan dari frustrasi panjang. Selama ini rakyat terus disuruh untuk sabar dan menunggu. Kalau janji dan perilaku yang dibuktikan sesuai tentu tak masalah? Namun nyatanya? NOL BESAR!  Pajak semakin mengimpit, kebijakan semakin rumit, rakyat sulit tetapi yang duduk di kursi empuk sana semakin elite. Miris sekali merasakannya.

Sebagai contoh, driver ojek online yang sudah lama mengeluh soal tarif rendah dan perlakuan tidak adil dari aplikasi, buruh yang gajinya tidak naik sementara harga melonjak, mahasiswa yang menolak komersialisasi Pendidikan. Semua menemukan titik ledak ketika DPR dengan enteng menambah tunjangan bagi dirinya sendiri. Mereka seolah tak tersentuh dan membuat aturan untuk keuntungannya sendiri.

Akibatnya ? Jalanan akhirnya menjadi panggung terakhir. Jika jalur resmi seperti reses anggota DPR, forum aspirasi publik, atau petisi digital tak digubris, maka rakyat terpaksa berteriak di ruang yang paling keras: demonstrasi massal.

Masalahnya bukan sekadar soal tunjangan DPR. Masalahnya lebih dalam: sistem politik kita dikuasai oleh logika uang. Untuk menjadi anggota DPR, calon legislatif membutuhkan biaya miliaran rupiah dari kampanye, baliho, logistik, hingga ongkos politik yang tak jarang bersifat transaksional. Dan itu adalah fakta yang tak terelakkan.

Konsekuensinya, begitu duduk di kursi parlemen, banyak politisi merasa punya “hak” menikmati fasilitas berlebih. Mereka merasa sudah membayar mahal untuk kursi itu. Rakyat yang memilih mereka dianggap sekadar angka di kertas suara, sementara penyandang dana dan sponsor politik justru mendapat tempat lebih penting.

Inilah ironi demokrasi kita: rakyat berteriak lewat kotak suara, tapi yang terdengar justru bisikan uang dari ruang rapat tertutup.

Gelombang protes yang sedang berlangsung adalah tanda jelas bahwa krisis kepercayaan sedang memuncak. Rakyat merasa institusi negara tidak lagi berpihak pada mereka. Keputusan DPR soal tunjangan hanyalah puncak gunung es dari berbagai kebijakan yang dianggap tidak adil. Lebih berbahaya lagi, distrust ini bisa merembet pada keyakinan terhadap demokrasi itu sendiri. Jika rakyat terus-menerus merasa dipermainkan, mereka bisa kehilangan keyakinan bahwa demokrasi masih relevan. Pada titik itu, ruang kosong bisa diisi oleh populisme ekstrem atau bahkan otoritarianisme yang mengklaim lebih berpihak pada rakyat.

Harapan: Mengembalikan Rasa Adil

Jalan buntu tidak harus selalu jadi ujung dari sebuah perlawanan. Gelombang demonstrasi belakangan ini justru bisa dibaca sebagai kesempatan untuk berhenti sejenak, lalu berkaca. Ia menjadi momen koreksi –sebuah pengingat bahwa ada sesuatu yang tidak beres di tubuh demokrasi kita.

Kalau pemerintah dan DPR mau jujur, ada beberapa hal mendesak yang bisa langsung dikerjakan. Pertama, soal tunjangan DPR yang belakangan ramai diprotes. Ini memang bukan sekadar urusan jumlah uang. Yang dipersoalkan publik jauh lebih dalam: rasa keadilan. Bagaimana mungkin di tengah rakyat yang masih berjuang keras, para wakil justru sibuk menambah kenyamanan diri? Membatalkan tunjangan itu akan menjadi sinyal sederhana, tapi kuat, bahwa DPR masih bisa menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan kursi empuk mereka.

Kedua, masalah biaya politik yang mencekik. Selama ongkos masuk ke panggung politik begitu tinggi, politisi akan terus merasa punya “utang” pada sponsor atau penyandang dana. Dan utang itu hampir pasti dibayar dengan kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat. Reformasi dana kampanye –dengan aturan ketat dan transparan– sudah tidak bisa ditunda lagi jika kita ingin wakil rakyat benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk kelompok modal besar.

Ketiga, aspirasi rakyat yang benar-benar didengar. Reses anggota dewan selama ini lebih sering terasa sebagai formalitas. Pertemuan digelar, laporan dibuat, lalu selesai tanpa kelanjutan yang nyata. Padahal, rakyat butuh forum yang interaktif, baik langsung maupun lewat kanal digital, yang betul-betul ditindaklanjuti. Kalau tidak, jarak antara dewan dan rakyat hanya akan makin lebar.

Keempat, transparansi anggaran. Tidak ada alasan bagi DPR untuk menyembunyikan uang publik yang mereka kelola. Setiap rupiah mestinya bisa diakses oleh siapa saja dalam bentuk laporan yang jujur dan mudah dipahami. Keterbukaan ini bukan cuma soal teknis, tapi tentang membangun kembali rasa percaya yang sudah lama retak.

Kalau semua ini diabaikan, jangan salahkan rakyat bila protes terus menyala. Karena inti tuntutan mereka bukan sekadar soal satu kebijakan, melainkan sesuatu yang lebih mendasar: rasa adil. Dan tanpa rasa adil, demokrasi hanya tinggal nama, kehilangan ruh yang membuatnya layak dipertahankan.

Mari kita jujur: demokrasi kita hari ini lebih mirip klub eksklusif ketimbang rumah bersama. Anggotanya segelintir elite dengan jas rapi, gaji gemuk, dan tunjangan fantastis. Tiket masuknya miliaran rupiah, ongkos politiknya menelan biaya satu kampung, dan fasilitasnya ditanggung rakyat yang bahkan kesulitan membeli beras.

Rakyat disuruh sabar, katanya negara butuh stabilitas. Rakyat disuruh maklum, katanya tunjangan itu untuk “kinerja”. Tapi mari kita lihat kinerjanya: berapa banyak undang-undang yang disahkan tanpa melibatkan rakyat? Berapa banyak rapat DPR yang kosong kursi? Ironisnya, rakyat yang malas bayar pajak dihukum, tapi wakil rakyat yang malas rapat malah dapat tunjangan.

Kalau demokrasi seperti ini terus dipertahankan, lebih tepat kita menyebutnya “demo-krisis”: krisis moral, krisis keadilan, dan krisis empati. Yang didengar hanya suara gesekan mesin ATM, bukan suara rakyat di jalan.

Kesimpulannya, demonstrasi hari ini bukan sekadar penolakan kebijakan, melainkan jeritan tentang keadilan yang kian terkikis. Pemerintah dan DPR punya pilihan: mendengar lalu berbenah, atau terus menutup telinga hingga jurang ketidakpercayaan makin dalam. Demokrasi hanya hidup jika rasa adil benar-benar dijaga.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//