• Opini
  • Dari Muak ke Aksi: Dari Kejenuhan Publik hingga Gelombang Demonstrasi Nasional

Dari Muak ke Aksi: Dari Kejenuhan Publik hingga Gelombang Demonstrasi Nasional

Tragedi kematian Affan Kurniawan bukan menjadi satu-satunya isu yang mengakibatkan meletusnya demonstrasi masyarakat di berbagai penjuru Indonesia.

Williams Oey dan Parahyangan Law Debate Community (FH Unpar)

Civitas academica Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung

Warga Bandung saat demonstrasi di sekitar Gedung DPRD Jawa Barat, Bandung, Jumat, 29 Agustus 2025. (Foto: Fitri Amanda/BandungBergerak)

1 September 2025


BandungBergerak.id – “Muak”, rasa-rasanya menjadi ungkapan yang paling tepat untuk merepresentasikan perasaan masyarakat saat ini. Walaupun ada indikasi “pembredelan pers” pada tanggal 28 Agustus 2025 kemarin yang membuat kita kesulitan mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam aksi demonstrasi di Jakarta, namun unggahan-unggahan di berbagai platform media sosial berhasil menangkap “insiden tragis” yang tepat terjadi di hari itu. Masih terbayang dengan jelas melalui rekaman-rekaman tersebut, bagaimana aparat penegak hukum telah mengimplementasikan kebiadabannya dengan melindas seorang rakyat sipil dengan Mobil Rantis Brimob sebesar 4,8 ton.

Apakah pantas jika dibandingkan dengan tragedi di Tiananmen-Republik Rakyat Cina di tahun 1998, yang mempergunakan tank untuk melindas para demonstran pada saat itu? Mau mengatakan bahwa jumlah nyawa yang melayang di Indonesia ini masih belum seberapa parah? Jika ya, patut diduga bahwa negara ini hanya menganggap nyawa manusia sebatas angka, bukan sebagai bagian dari rakyat yang memiliki hak. Hak yang bukan hanya sekedar hak biasa, melainkan hak yang dilindungi oleh produk hierarkis tertinggi di negara kita yaitu Konstitusi.

Jalan curam nan terjal yang sudah sempat dilalui oleh para generasi yang hidup di tahun 90an, berhasil membuahkan “reformasi” yang memiliki esensi perubahan yang terstruktur, sistematis, dan masif. Ada cita-cita reformasi yang bertujuan untuk memperbaiki tatanan kehidupan di berbagai aspek, baik dalam bidang politik, sosial, hukum, maupun ekonomi, menuju kondisi yang lebih “adil” melalui proses berdemokrasi yang sebelumnya dibelenggu sepanjang rezim Orde Baru. Tapi mari kita coba refleksikan, apakah benar proses reformasi ini berjalan dengan baik?

Kembali ke dalam pengantar dalam tulisan ini yang dimulai dengan rasa muak akibat insiden tragis di tanggal 28 Agustus 2025, terenggutnya nyawa Affan Kurniawan tidak menjadi satu-satunya isu yang mengakibatkan meletusnya demonstrasi masyarakat di berbagai penjuru Indonesia. Bahwa memang benar solidaritas dari delivery gig worker tidak bisa dianggap remeh, sampai membuat rekan-rekan sejawat Affan Kurniawan mengeksekusi demonstrasi yang jauh lebih besar di tanggal 29 Agustus 2025. Tapi mari kita coba telisik lebih dalam, siapa saja yang turut berpartisipasi di dalam demonstrasi tersebut.

Ini demo yang melibatkan bukan hanya dari 1 (satu) unsur masyarakat. Demonstrasi ini terjadi secara jauh lebih organik dengan penyusunan strategi yang tidak sekomprehensif seperti beberapa aksi di bulan-bulan ke belakang. Ada suatu perasaan yang menggerakkan banyak masyarakat untuk akhirnya bergerak sekalipun tidak ada ajakan. Garis bawahi, aksi ini menandakan, lagi-lagi, “rasa muak” dari masyarakat dari sekian banyak runtutan peristiwa tindakan negara yang tidak sesuai logika. Bukan hanya tidak sesuai “hukum” melainkan juga “logika”. Bukan hanya tindakan yang dilakukan oleh “pemerintah”, melainkan juga “negara”. Dengan memakai kata negara, berarti konteksnya jauh lebih luas dari sekedar 1 (satu) lembaga tinggi negara.

Menjadi sangat menggelitik apabila di berbagai media sosial, masih ada saja yang menganggap bahwa insiden ini hanya diakibatkan kerakusan para anggota dewan yang berhasil meng-goal-kan proposal peningkatan pendapatan dalam jabatan mereka sebagai wakil rakyat. Itu hanya menjadi salah satu pemantik. Rasa muak masyarakat juga semakin membludak karena tindakan-tindakan yang tidak kalah konyol, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga lainnya di luar kursi legislatif.

Mari kita urai satu per satu, apa saja runtutan peristiwa yang membuat masyarakat pada akhirnya terpanggil untuk melakukan demonstrasi besar-besaran sejak awal proses berkuasanya rezim a quo.

Baca Juga: Kematian Affan Kurniawan dan Runtuhnya Kepercayaan Publik pada Institusi Polisi
Tragedi Affan Kurniawan, Ketika Suara Rakyat Ditabrak Kekuasaan
Satu Nyawa, Dua Institusi, dan Keharusan Rakyat Memberontak

Putusan Yudikatif Rasa Keluarga

Hampir tepat (2) tahun yang lalu, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 menjadi awal mula tercorengnya kredibilitas Mahkamah akibat nepotisme antara seorang bapak, anak, paman, dan keponakan. Kasus ini tereskalasi hingga melahirkan gerakan masif “Peringatan Darurat” yang menentang keras kebusukan politik untuk memberikan karpet merah kepada sang anak agar bisa melanggeng ke pencalonan wakil presiden.

Hasil pengujian dari Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, menghasilkan suatu putusan yang secara langsung mengubah batas usia calon wakil presiden, bukan lagi di 40 tahun melainkan di 35 tahun, yang momentumnya bertepatan dengan usia Gibran Rakabuming yang ke-35 tahun juga. Dengan berbagai strategi politik tidak terpuji, sang paman yakni Anwar Usman juga secara kebetulan-yang disengaja, menjadi salah satu majelis hakim yang turut memeriksa perkara ini. Bukan tanpa alasan jika emosi masyarakat memuncak karena kekecewaan terhadap lembaga yudikatif, yang selama ini dinilai sebagai guardian of constitution dengan tugas memastikan pengujian suatu produk Undang-Undang tidak melanggar nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat.

Kabinet yang Obesitas

Tidak lama berselang, setelah keniscayaan majunya sang anak menjadi wakil presiden, Prabowo sebagai pemimpin teranyar di rezim ini, juga kembali melakukan hal kontroversial dengan membentuk kabinet kementeriannya yang jumlahnya mencapai 48 (empat puluh delapan) orang menteri. Angka ini belum termasuk jumlah wakil menterinya sendiri yang mencapai 55 (lima puluh lima) orang disertai dengan jumlah kepala lembaga serta staf khusus yang fungsi keberadaannya masih dipertanyakan sampai dengan saat ini.

Terlepas dari apakah hal tersebut memang merupakan hak prerogatif presiden atau bukan, penambahan nomenklatur kementerian berikut banyaknya menteri (berikut wakilnya), justru menimbulkan kesan kuat bahwa langkah tersebut lebih diarahkan pada praktik bagi-bagi jabatan ketimbang penataan kelembagaan negara yang efektif dan efisien.

Makanan Bergizi dan ber-Gengsi

Gengsi apabila program kampanyenya tidak dilaksanakan, tanpa disertai cukup waktu untuk mengkaji program Makan Bergizi Gratis (MBG), pemerintah meluncurkan program ini dengan jumlah anggaran sebesar 71 triliun rupiah. Hasilnya?

Persebaran wilayah yang tidak tepat sasaran, keterlambatan pembayaran yang seolah menjadi rutinitas, kualitas komponen gizi yang jauh dari standar, ketiadaan transparansi dalam penggunaan dana publik (siapa yang tidak terkejut dengan fakta ini), serta yang paling konyol adalah munculnya kasus keracunan. Semuanya menggambarkan betapa program yang seharusnya menjadi tumpuan risiko stunting justru berubah menjadi ironi berkepanjangan.

Militerisasi Bagian Sipil

Dengan naiknya mantan perwira militer sebagai presiden, yang banyak dikaitkan dengan penculikan aktivis di tahun 1998, membuat masyarakat kembali menjadi gaduh karena kekhawatiran dari kebangkitan rezim Orde Baru. Alih-alih menenangkan masyarakat dari trauma sebelum 1998, justru inisiasi pengesahan yang bermulai dari eksekutif atas Rancangan Undang-Undang TNI menjadi biang kerok kemunculan demonstrasi masa yang tidak kalah besar.

Proses penyusunan Undang-Undang yang dilakukan secara terbatas a.k.a. sembunyi-sembunyi, memancing amarah publik atas penyelewengan proses formil penyusunan undang-undang yang seharusnya mengedepankan masyarakat. Bahkan di luar dari substansi regulasinya itu sendiri, keterlibatan militer di berbagai sektor yang seharusnya tidak dimasuki oleh instansi pertahanan ini, semakin merajalela di era pemerintahan yang sekarang.

Sebagai catatan, isu pembentukan undang-undang kontroversial yang menjadi residu ketidakpuasan publik hingga menimbulkan demonstrasi besar-besaran, juga beberapa kali terjadi di era pemerintahan sebelumnya seperti pada saat pengundangan Undang-Undang Cipta Kerja dan perubahan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi.

Kebobrokan BUMN

Kemunculan lembaga Danantara yang muncul tanpa ba-bi-bu dengan struktur yang diisi oleh orang-orang yang bermasalah juga kembali menguras stamina otak masyarakat. Sebutlah misalnya Perdana Mentreri Thaksin Shinawatra yang diusung menjadi salah satu anggota Dewan Penasihat Danantara. Bukan tanpa alasan penunjukan dirinya menuai lebih banyak kontra karena keterlibatannya dalam skandal korupsi, kolusi, nepotisme bahkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi di Thailand. Lantas jika ada pertanyaan mengapa dirinya yang dipilih, hanya rezim penguasa sekarang yang mengetahui jawabannya

Jangan lupa, isu Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini tidak berhenti dari produk si pembuat Undang-Undang BUMN saja, tapi juga dari si pelaksana BUMN. Terungkapnya skandal salah satu BUMN paling bonafid di Indonesia, menjadi salah satu mega-korupsi terbesar sepanjang sejarah setelah Indonesia merdeka. Tidak lain tidak bukan adalah Pertamina, yang selama ini menjadi penentu utama ketersediaan bahan bakar minyak yang jenis komoditasnya paling berpengaruh terhadap fluktuasi perekonomian harga barang dan jasa di Indonesia. Bak laboratorium, para pejabat di BUMN ini memainkan berbagai metode oplosan bahan bakar minyak yang diekspor dari luar negeri dibanding memprioritaskan pembangunan dan pengadaan minyak yang berasal dari dalam negeri. Jumlah kerugian negara yang diakibatkan skandal korupsi Pertamina ini tidak main-main. Jika dihitung dari 2018, jumlahnya bisa mencapai 950 triliun rupiah.

Ibu Kota Mangkrak

Menyambung ke isu selanjutnya, angka 950 triliun Rupiah yang diderita akibat skandal Pertamina di atas, hampir 2 (dua) kali lipat biaya yang dibutuhkan untuk membangun Ibu Kota Nusantara (IKN) di Kalimantan Timur. Dari situs resmi IKN ini sendiri, proyek ambisius yang dicanangkan di jamannya sang ayah wakil presiden, yakni Joko Widodo, membutuhkan biaya hingga 466 triliun Rupiah.

Koefisien biaya yang dibutuhkan, menyerap hingga lebih dari 50 persen APBN. Alih-alih diselesaikan, tampak bahwa pemerintah sendiri menjadi kebingungan untuk menutup beban berlapis yang bukan hanya untuk biaya penyelesaiannya tapi juga untuk ongkos pemeliharaannya. Isu yang tidak kalah penting, masyarakat menjadi dibuat bertanya-tanya apakah inisiasi pembangunan IKN ini sudah dilakukan sesuai prosedur yang dipersyaratkan, baik dari kajian ekonomi, lingkungan, atau bahkan pertahanan dan keamanan.

Terkesan Remeh tapi Berdampak Luas

Seluruh kegaduhan yang dipaparkan di atas, masih belum termasuk ke dalam pretelan kecil kasus-kasus dari pejabat yang ditangkap karena tuduhan korupsi yang nilainya juga sama-sama membuat dompet-dompet tipis dari masyarakat ikut berteriak. Bukan hanya mengenai nilai kerugiannya, publik juga dibuat bertanya-tanya dengan kasus-kasus yang memang murni adalah permasalahan hukum atau hanya sekedar permainan politik dari elite-elite yang tidak tersentuh. Jika berkaca pada salah satu anime terpopuler saat ini, mereka-mereka inilah yang disebut sebagai World Government di seri manga One Piece ciptaan Eichiro Oda. Tidak aneh jika dalam beberapa minggu terakhir menjelang hari kemerdekaan Indonesia, bukan hanya Sangsaka Merah Putih yang terkibar, namun juga bendera tengkorak (atau yang bisa disebut bendera Jolly Roger), sebagai bentuk ekspresi terhadap negara Indonesia yang banyak diisi oleh perompak.

Puncaknya (sampai dengan tulisan ini dibuat), yang tidak kalah menguras emosi, adalah statement yang disampaikan oleh para pejabat juga sering kali terkesan “tidak pintar”. Keberhasilan untuk lebih menyejahterakan pendapatan para wakil rakyat (yang sebelumnya sudah tajir melintir) di kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menjadi momentum memuncaknya amarah dari masyarakat. Di tengah lesunya perekonomian yang menuntut stabilitas upah minimum dan pembukaan lapangan kerja, para wakil rakyat ini seperti tanpa dosa menari-nari bak Firaun di dalam gedung kura-kura yang berwarna hijau. Sadar bahwa rakyat tidak suka dengan keputusan dari para dewan, alih-alih membatalkannya, banyak dari mereka juga yang mengajak masyarakat untuk dapat membayangkan kesulitan hidup para anggota dewan ini. Harapannya masyarakat bisa diajak untuk mengerti mengapa para anggota dewan ini pada akhirnya sangat membutuhkan yang namanya kenaikan gaji dan tunjangan (belum termasuk komponen upah yang lainnya). Tidak berhenti sampai di situ, saudagar dari Tanjung Priok yaitu Ahmad Sahroni, yang kini menjadi anggota dewan malah memaki dengan sebutan “tolol” ataupun “brengsek”, kepada rakyat yang justru selama ini membayar pajak a.k.a. sumber penghasilan para anggota DPR. Kasus paling konyol adalah statement balik dari Bupati Pati Sudewo yang menantang balik untuk didemo dengan jumlah 50 ribu masyarakat.

Sedemikian banyak runtutan kasus (yang bahkan belum semuanya disebutkan) yang terus menerus menjadi makanan sehari-hari selama kurang lebih 2 (dua) tahun ke belakang. Bayangkan jika asupan ini ditelan secara persistent pada saat masyarakat tengah berada di kondisi ekonomi yang tidak stabil. Gelombang pemutusan hubungan kerja dan minimnya lapangan pekerjaan yang diikuti dengan rendahnya investasi di Indonesia, ibaratnya adalah bensin yang cukup hanya dijentikkan dengan sekilas percikan, dapat langsung membakar aksi demonstrasi akibat rasa “muak” yang dipendam sekian lama.

Satu hal yang pasti, yang seharusnya diamini oleh seluruh masyarakat Indonesia dalam hal ini, yaitu tindakan nyata untuk mereformasi di setiap relung-relung negara (yang tidak bisa dibebankan hanya pada salah satu institusi). Melalui berbagai kanal yang dapat kita manfaatkan saat ini, mari kita kawal terus pengembalian dan keberlanjutan cita-cita reformasi di Indonesia.

 

*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB

Editor: Ahmad Fikri

COMMENTS

//