KAMPUNG NAGA #1: Harmoni Budaya Islam di Kampung Adat
Pesona alam dan budaya masyarakat adat Kampung Naga di pedalaman Tasikmalaya, Jawa Barat mencerminkan miniatur Indonesia yang bhineka (beraneka ragam).

Merrina Listiandari
Penulis sejarah dan budaya. Bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo
19 September 2025
BandungBergerak – Kampung Naga tak hanya menyuguhkan pesona alam yang memukau, tetapi juga sebagai penjaga warisan budaya tak benda (intangible) yang kaya di wilayah Priangan Timur. Terletak di lembah setelah menuruni 444 anak tangga, kampung adat ini memiliki keunikan tersendiri. Meski melarang penggunaan listrik di wilayahnya, Kampung Naga tetap membuka diri terhadap perkembangan budaya modern, dengan syarat tidak melanggar aturan dan norma adat yang telah lama melekat di sana.
Jumlah 444 anak tangga ke Kampung Naga tidak memiliki makna atau filosofi khusus. Ijad, salah satu pemandu adat Kampung Naga, menjelaskan anak tangga tersebut sebagai infrastruktur semata. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Naga tidak menutup diri terhadap perubahan yang mempermudah kehidupan mereka, sepanjang tidak bertentangan dengan hukum adat yang berlaku.
“Tergantung dana teh, kalau ada dana ya, bisa jadi jumlah anak tangganya pun akan bertambah,” kata Ijad kepada penulis.

Asal Muasal Kampung Naga
Kampung Naga disebut kehilangan sebagian akar sejarahnya akibat peristiwa kebakaran benda-benda pusaka serta naskah-naskah kampung adat di tahun 1956. Namun, menurut Harun Alrazid, Kasi Kebudayaan Kanwil Depdikbud Tasikmalaya, Tasikmalaya, dilihat dari bukti-bukti sejarah kepurbakalaan, masyarakat Kampung Naga berasal dari Kerajaan Galunggung yang bercorak Hindu. Hal ini tampak dari kebiasaan masyarakat Kerajaan Galunggung sebagai peladang, sesuai dengan kebiasaan masyarakat Kampung Naga sekarang (Pratama :18,2019).
Lahan pertanian yang semakin sempit di wilayah Kerajaan Galunggung membuat masyarakat terus mencari ladang untuk ditanami. Karena masyarakat priangan pada dasarnya adalah masyarakat peladang berpindah, akhirnya kelompok peladang itu menemukan tempat yang cocok di tepi Sungai Ciwulan dan menetap di sana hingga kini. Diperkirakan para peladang itulah yang menjadi asal mula masyarakat Kampung Naga.
Di luar pendapat tersebut masyarakat Kampung Naga meyakini bahwa mereka adalah keturunan dari Sembah Dalem Eyang Singaparna, putra dari Prabu Rajadipuntang, Raja Galunggung terakhir. Sembah Dalem Eyang Singaparna yang menganut Islam, terpaksa menyingkir ke Linggarwangi saat diserang oleh Kerajaan Sunda yang dipimpin oleh Surawisesa (1536-1543).
Di Linggarwangi Prabu Rajadipuntang menyerahkan harta serta pusakanya pada sang putra, Singaparna. Sepeninggal ayahnya, Singaparna beserta para pengikutnya pergi dan mendapati sebuah lembah yang dikelilingi bukit dan menetap di sana hingga tempat tersebut menjadi Kampung Naga saat ini (Her Suganda, 2006).
Sejak itulah Singaparna menurunkan apa pun yang diajarkan oleh ayahnya, Prabu rajadipuntang, kepada para pengikutnya. Ajaran itulah yang hingga kini digenggam erat hingga menjadi pegangan hidup masyarakat adat Kampung Naga.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kampung Naga, Kehilangan Jejak Sejarah Akibat Peristiwa Kelam
Kain Kasang Tukang #1: Budaya Menenun dalam Tradisi Sunda

Budaya Islam Buhun di Kampung Naga
Sesuai titah para karuhun, otomatis laku lampah alias jalan hidup yang dijalani masyarakat adat ini masih mengikuti ajaran leluhur mereka. Kampung ini terbentuk setelah masyarakatnya terusir akibat serangan yang terjadi karena raja terakhir mereka memeluk Islam. Keyakinan yang sama kini dianut oleh masyarakat adat Kampung Naga.
“Ya memang kami beragama Islam,” tegas Ade Suherlin, kuncen atau pemangku adat Kampung Naga.
Ade menuturkan, segala sesuatu yang dilaksanakan di Kampung Naga dilakukan sesuai dengan ajaran Islam. Namun demikian berbeda dengan ajaran Islam pada umumnya, masyarakat adat kampung Naga menyebutnya sebagai Islam buhun yang berarti Islam sesuai dengan ajaran kuno mereka.
Karena latar belakang sejarah dan kepercayaan itulah ritual keagamaan yang dijalankan di Kampung Naga memiliki perbedaan dengan praktik Islam pada umumnya. Misalnya, meskipun salat lima waktu adalah kewajiban dalam ajaran Islam, di Kampung Naga salat lima waktu hanya dilakukan pada hari Jumat, sementara pada hari-hari lainnya tidak diwajibkan. Selain itu, mereka menggantikan kewajiban ibadah haji dengan upacara Hajat Sasih yang dilaksanakan pada tanggal 10 Rayagung bertepatan dengan bulan Dzulhijjah dalam penanggalan Islam (Maria, 1995). Keunikan ini mencerminkan cara masyarakat Kampung Naga mengintegrasikan ajaran agama dengan tradisi dan keyakinan lokal mereka.
Di Kampung Naga ajaran agama Islam dan budaya lokal berpadu dengan harmoni. Masyarakat Kampung Naga mempercayai keberadaan makhluk halus yang menempati tempat-tempat tertentu, seperti jurig cai, makhluk halus yang menguasai atau menghuni sumber air seperti sungai, kuantil atau makhluk halus yang sering mengganggu bayi dan perempuan hamil. Masyarakat Kampung Naga menghormati ‘keberadaan’ mereka bukan untuk memujanya.
Tradisi Warisan Leluhur di Kampung Naga
Seperti di banyak wilayah lain di Indonesia, Jawa Barat juga memiliki masyarakat adat yang setia menjalankan tradisi yang diwariskan turun-temurun. Meskipun zaman terus berubah, komunitas-komunitas adat di Jawa Barat tetap mempertahankan nilai dan kebudayaan mereka.
Banyak tradisi terkenal yang hingga kini menjadi warisan budaya. Sebut saja tradisi Seren Taun di Kasepuhan Ciptagelar di Kawasan Gunung Halimun, Sukabumi. Tradisi Nyangku yang dilakukan sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur dari Kerajaan Galuh di Panjalu, Ciamis. Ziarah Makam Karomah di Kampung Dukuh, Kabupaten Garut yang dilaksanakan agar hajat atau keinginan bisa tercapai. Ritual Muja di Kampung Adat Baduy, Lebak, Banten sebagai bentuk penghormatan pada situs leluhur.
Begitu pula pada masyarakat adat Kampung Naga. Mereka memiliki ritual yang telah diturunkan selama berabad-abad oleh para karuhun mereka, di antaranya adalah upacara Pedran, Sukuran Tengah Taun, Sukuran Tengah Bulan Sya’ban, Lebaran Idul Fitri, Lebaran Idul Adha, dan yang paling besar adalah Hajat Sasih yang merupakan bentuk penghormatan pada nenek moyang dan dilaksanakan dengan nuansa Islam. Upacara serta ritual-ritual tersebut menjadi kekayaan dan keindahan budaya di Jawa Barat.
***
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp bit.ly/ChannelBB