• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kampung Naga, Kehilangan Jejak Sejarah Akibat Peristiwa Kelam

NGULIK BANDUNG: Kampung Naga, Kehilangan Jejak Sejarah Akibat Peristiwa Kelam

Meski sempat mengalami sejarah kelam, adat dan budaya Kampung Naga tetap terjaga. Setiap tamu harus mematuhi aturan yang berlaku tanpa pengecualian.

Merrina Listiandari

Pegiat alam, bisa dihubungi di Fb: Merrina Listiandari

Rumah-rumah di Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. (Foto: Merrina Listiandari)

8 Agustus 2025


BandungBergerak.id – Rintik hujan mengiringi perjalanan kami menuju Kampung Naga, Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, akhir Juli 2025. Sebelum tiba di kampung adat, Ijat, kuncen sekaligus pemandu, menerima kami di kedai kopi. Sang juru kunci memberikan keterangan serta beberapa pesan terkait do’s and don’ts selama kami berkunjung ke Kampung Naga.

Selesai memberikan petunjuk singkat, Ijat mengajak kami memulai perjalanan masuk ke kampung adat seluas 1,5 hektare. Hujan tak menyurutkan langkah kaki kami. Dengan mengenakan jas hujan berwarna putih beramai-ramai, jadilah kami menuruni 444 anak tangga menuju kampung yang hari itu sangat basah. “Sudah persis pasukan covid,” kata Pak Lutfi Yondri, seorang arkeolog, salah satu narasumber ahli kami.

Perlahan menuruni tangga satu per satu, saya bertanya tentang asal usul penamaan Kampung Naga pada Kang Ijat. Siapa tahu nama “naga” yang digunakan tersebut ada hubungannya dengan hewan mitologi dari berbagai budaya di dunia. “Gak ada hubungannya dengan naga teh, kata orang tua mah pedah ini kampung na gawir,” tutur Ijat.

Jawaban Ijat terasa “nyunda”, polos sekaligus resep guyon alias suka bercanda. Gawir merupakan bahasa Sunda yang berarti jurang atau tebing curam dan terjal. Singkatnya Kampung Naga adalah kampung di dalam jurang.

Kampung Naga berada di dalam lembah. Menuju Kampung Naga menuruni 444 anak tangga. (Foto: Merrina Listiandari)
Kampung Naga berada di dalam lembah. Menuju Kampung Naga menuruni 444 anak tangga. (Foto: Merrina Listiandari)

Kehilangan Jejak Sejarah

Ketua Adat Kampung Naga, Ade Suherli, menyambut kami secara resmi di bale patemon atau balai pertemuan. Bangunan ini memiliki bentuk julang ngapak, seperti rumah-rumah tradisional lainnya di Kampung Naga. Gaya arsitektur khas Sunda ini menyerupai kepakan sayap burung dengan atap dari ijuk hitam pohon aren serta tiang dan dinding yang terbuat dari bambu.

“Kalau tanya tentang sejarah kampung ini, saya juga tidak dapat bercerita banyak,” tutur Ade Suherli.

Sejak tahun 1956, Kampung Naga kehilangan jejak sejarahnya. Kampung adat yang masih asri ini dibakar oleh sekelompok orang yang diduga bagian dari gerakan DI/TII. Kebakaran itu tidak hanya melalap bangunan, tetapi juga menghancurkan dokumen, benda pusaka, dan merenggut satu nyawa. Peristiwa kelam ini meninggalkan luka mendalam dan menghapus sebagian besar warisan sejarah Kampung Naga.

Karena peristiwa itulah bangunan-bangunan di Kampung Naga tidak lagi menggunakan pasak pada konstruksi bangunannya. Teknik yang biasa digunakan untuk menyatukan bagian-bagian penting pada bangunan tradisional, sudah tidak lagi digunakan.

“Setelah peristiwa kebakaran itu kami membutuhkan tempat tinggal. Jadi kami bangun secara cepat saja dan terpaksa menggunakan paku,” kata Ade Suherli.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #3
NGULIK BANDUNG: Peristiwa Perobekan Bendera Belanda di Surabaya, Terulang di Bank DENIS Jalan Braga #1

Suasana di Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. (Foto: Merrina Listiandari)
Suasana di Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. (Foto: Merrina Listiandari)

Tiga Hal Pamali Bagi Pendatang di Kampung Naga

Sejarah Kampung Naga bisa jadi hilang. Meski sempat mengalami masa kelam, adat dan budaya Kampung Naga tetap terjaga dan tidak pernah luntur. Seperti pepatah, "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung," setiap orang yang datang ke suatu tempat wajib menghormati adat dan aturan setempat. Begitu pula di Kampung Naga, setiap tamu yang datang harus mematuhi aturan yang berlaku tanpa pengecualian.

Sejak awal kedatangan kami, Kang Ijat sebagai pemandu mengingatkan untuk tidak mengambil gambar apalagi mempublikasikan beberapa bangunan yang memiliki ciri khusus. “Bangunan-bangunan yang diberi pagar anyaman bambu tidak boleh difoto apalagi disebarkan, ya. Pamali (larangan),” ujarnya. Bangunan-bangunan tersebut di antaranya Pangsolatan atau tempat ibadah, Patilasan Leuit, dan Bumi Ageung.

Kang Ijat dan lisung (alat penumbuk padi). (Foto: Merrina Listiandari)
Kang Ijat dan lisung (alat penumbuk padi). (Foto: Merrina Listiandari)

Listrik Pamali, tapi tidak Menentang Teknologi

Pamali menjadi budaya yang sangat lekat dengan masyarakat adat Kampung Naga. Ia bukan hanya sekedar sebagai larangan tanpa arti, tapi sekaligus sebagai kontrol sosial bagi masyarakatnya agar mengikuti aturan yang berlaku serta mengikat. “Adab di atas ilmu, harus selalu diutamakan di kampung ini. Menurut aturan kampung kami tidak boleh dialiri listrik maka seperti itu yang kami jalankan, mengikuti perintah orang tua sebagai bagian dari adab,” kata Ade Suherli.

Aturan yang dijalankan turun-temurun bukan tanpa arti. Bangunan di Kampung Naga terbuat dari bahan-bahan yang mudah terbakar. Percikan api dari korsleting listrik bisa mudah menyebabkan kebakaran. “Akibatnya fatal seperti yang terjadi di tahun 1956,” tutur Suherli.

Walaupun hidup tanpa listrik bukan berarti Kampung Naga antiteknologi. Penduduk di kampung ini sama seperti penduduk di kampung lainnya, mereka juga menggunakan telepon seluler untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Namun untuk mengisi daya ponsel mereka melakukannya di kampung lain atau di tempat yang telah ditetapkan. Setelah terisi mereka dapat dengan bebas menggunakannya.

Kehidupan bertetangga di Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. (Foto: Merrina Listiandari)
Kehidupan bertetangga di Kampung Naga di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. (Foto: Merrina Listiandari)

Jumlah Bangunan Terbatas

Saat ini masyarakat adat Kampung Naga terdiri dari 102 kepala keluarga dengan jumlah penduduk sebanyak 287 jiwa. Jumlah penghuni dan bangunan di Kampung Naga dikenal tidak boleh berubah. Lalu bagaimana bila terjadi pertambahan jumlah penduduk? Ade Suherli menjelaskan, memang benar bahwa jumlah bangunan di Kampung Naga sudah tidak bisa lagi bertambah karena luasan wilayah kampung adat yang sangat terbatas.

“Bagaimana mau ditambah, luasnya juga cuma 1,5 hektare, sudah tidak mungkin lagi ditambah,” tutur Suherli. Karenanya, masyarakat adat Kampung Naga tidak seluruhnya tinggal di kampung adat. Bila sudah menikah, biasanya mereka meninggalkan kampung untuk mencari penghidupan di tempat lain. Selain bertani, sama seperti penduduk di tempat lain di Indonesia, masyarakat Kampung Naga pun memiliki berbagai profesi seperti pedagang dan buruh.

Menuruni 444 anak tangga menuju Kampung Naga. (Foto: Merrina Listiandari)
Menuruni 444 anak tangga menuju Kampung Naga. (Foto: Merrina Listiandari)

Memiliki Ketahanan Pangan Mandiri

Hidup secara bersahaja di tengah gempuran kehidupan modern tidak lantas membuat Masyarakat adat Kampung Naga terpuruk. Di tengah harga kebutuhan pokok yang semakin meningkat, sementara daya beli masyarakat Indonesia rata-rata menurun, masyarakat adat Kampung Naga masih mempertahankan sistem pertanian tradisional bernama “Janli” alias menanam padi dua kali dalam satu tahun. Musim tanam biasa terjadi pada Januari dan Juli.

Sistem penanaman itu memberikan ruang yang adil bagi semua makhluk hidup. “Tidak hanya manusia yang dapat menikmati, kami juga memberikan ruang kepada hama atau hewan-hewan lain seperti tikus dan burung-burung untuk menikmati sisa hasil panen, dengan memberikan jeda untuk waktu menanam berikutnya,” kata Ade Suherli.

Hasil panen disimpan dalam setiap goah atau sebuah ruangan khusus dalam setiap rumah untuk menyimpan padi atau beras. Setiap rumah akan memastikan bahwa kebutuhan mereka terpenuhi dan menjual kelebihannya bila hasil panen mereka surplus. Tenang dan bahagia dalam kesahajaan tampaknya tepat untuk menggambarkan kehidupan masyarakat adat Kampung Naga.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//