NGULIK BANDUNG: Peristiwa Perobekan Bendera Belanda di Surabaya, Terulang di Bank DENIS Jalan Braga #1
Tidak hanya merupakan bangunan cagar budaya, Gedung Bank BJB di Jalan Braga ternyata menyimpan kisah kepahlawanan para pemuda Bandung.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
7 Desember 2024
BandungBergerak.id – Arsitektur bangunan cagar budaya di sebuah kota menjadi simbol sekaligus menyumbang pengaruh besar pada identitas kota tersebut. Bagaimana sebuah kota didirikan, tumbuh serta berkembang, sehingga bangunan di dalamnya menjadi sejarah yang melekat dan tak terpisahkan. Salah satunya Bandung, kota yang masyhur memiliki banyak bangunan tua yang “bercerita” pada siapa pun yang melihatnya, bahwa kota ini memiliki sejarah panjang masa kolonial Belanda.
Sepanjang jalan-jalan utama Kota Bandung, bangunan-bangunan dengan desain Art Deco tampak menghiasi kota ini. Menjadi simbol kemewahan dan kemodernan pada masanya. Jalan Asia Afrika dan Jalan Braga adalah contoh kawasan yang menjadi etalase Kota Bandung, sebagai kawasan elite dan sohor tidak hanya pada masa kolonial namun hingga saat ini.
Banyak bangunan megah dan mewah yang dibangun pada awal abad ke-20 terabadikan hingga kini. Salah satunya adalah gedung yang berada di sudut perempatan antara Jalan Braga Pendek dan Jalan Naripan. Gedung yang kini menjadi kantor Bank Jabar Banten-BJB itu dulunya adalah De Eerste Nederlandsche Indische Spaarkas en Hypotheekbank (DENIS Bank).
Bank DENIS hadir di Bandung saat ekonomi Hindia Belanda menguat secara umum dan Priangan sedang dalam masa puncak ekonominya. Dalam hal ini para Preanger Planters memegang peranan penting. Bank DENIS, didirikan di Braga Weg No. 14, dirancang dan dibangun dengan sangat megah oleh seorang arsitek kenamaan A. F. Aalbers, yang juga merancang Hotel Homann, dengan gaya Art Deco (De Preanger Bode, 26 Desember 1935).
Namun siapa sangka gedung yang kini tetap memiliki fungsi yang sama seperti awal didirikannya, tidak sekadar memiliki sejarah tentang pendiriannya yang hampir seabad lampau. Gedung ini juga memiliki kisah heroik para pemuda Bandung dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Proklamasi Kemerdekaan Dibacakan, Jepang Kecolongan
Pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan oleh Sukarno-Hatta di Jakarta, Jepang yang pada saat itu telah menyerah pada sekutu, setelah bom atom diledakkan di Hiroshima pada tanggal 6 Agustus 1945 dan menyusul tiga hari kemudian pada 9 Agustus 1945 di Nagasaki, masih bertahan dan belum hengkang dari Indonesia. Jepang merasa kecolongan.
Bagaimana tidak, saat itu Jepang sempat berencana ingin memberikan kemerdekaan pada Indonesia. Pada Bulan Juli 1945, semua unsur di kalangan Jepang sepakat bahwa kemerdekaan harus diberikan pada Indonesia dalam waktu beberapa bulan (M. C. Ricklefs, 2007). Jepang saat itu sudah merasa di ujung tanduk. Pada bulan Maret 1945, Amerika sudah berhasil merebut Iwojima dan menggunakannya sebagai pangkalan pesawat pengebom untuk melancarkan serangan-serangan terhadap Jepang.
Okinawa jatuh pada bulan Juni 1945 dan pengeboman besar-besaran mulai dilancarkan di wilayah-wilayah Jepang. Pada akhir bulan Juli, para pemimpin sekutu di Postdam menuntut Jepang menyerah tanpa syarat. Jepang tidak lagi memikirkan kemenangan dan mempertahankan wilayah-wilayah pendudukannya. Tujuannya kini di Indonesia adalah membentuk sebuah negara merdeka untuk mencegah kedatangan Belanda, musuh mereka.
Mereka mengadakan pertemuan di Singapura untuk merencanakan pengalihan perekonomian secara utuh terhadap Indonesia. Mereka memutuskan bahwa Jawa akan diberikan kemerdekaan pada bulan September dan wilayah-wilayah lain menyusul (M. C. Ricklefs, 2007, hal.425). Namun sebelum tujuan mereka terlaksana, Amerika kepalang melancarkan serangan-serangannya dan pada puncaknya bom atom diledakkan Hiroshima dan Nagasaki.
Peristiwa pemboman di Hiroshima dan Nagasaki menyebabkan kekacauan luar biasa. Hal ini tak luput membingungkan bagi pihak Indonesia. Melihat situasi yang mengerikan, sudah tampak jelas bahwa Jepang akan segera menyerah, maka Sukarno, Hatta, dan Radjiman pergi ke Saigon untuk menemui panglima tertinggi Jepang Terauchi Hisaichi tanggal 11 Agustus 1945. Ketiga tokoh pergerakan ini bermaksud merundingkan penyerahan kemerdekaan yang telah Jepang janjikan pada Indonesia. Mereka kembali ke Jakarta tanggal 14 Agustus 1945.
Sehari setelah kepulangan Sukarno, Hatta, dan Radjiman ke Indonesia, pada tanggal 15 Agustus 1945 Jepang menyerah tanpa syarat pada sekutu. Situasi tersebut mengakibatkan kekosongan kekuasaan di Indonesia, yang kemudian dimanfaatkan oleh para pemuda pergerakan Indonesia. Mereka merencanakan untuk merumuskan naskah proklamasi kemerdekaan Indonesia. Langkah para pemuda kemudian terkenal sebagai peristiwa “penculikan” Sukarno-Hatta ke Garnisun PETA di Rengasdengklok tanggal 16 Agustus 1945.
Mereka sengaja “mengamankan” Sukarno-Hatta karena khawatir Sukarno lebih memilih untuk terus mengadakan perundingan dengan pihak Jepang dan menuruti persyaratan yang mereka tawarkan. Hingga akhirnya rencana mereka berhasil dan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dibacakan keesokan harinya di kediaman Laksamana Tadashi Maeda, Jalan Pegangsaan Timur no.56 Jakarta.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #6
NGULIK BANDUNG: Pahatan Harimau di Gua Jepang Tahura Bandung dan Kisah Mengharukan di Baliknya
NGULIK BANDUNG: Sejarah Bunga Bangkai di Tahura Ir. H. Djuanda, Berbeda dengan Rafflesia Arnoldii #3
Situasi Bandung Pascaproklamasi Kemerdekaan
Berita mengenai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak hanya menimbulkan euforia kebahagiaan dan kegembiraan di kalangan masyarakat, namun berita ini sekaligus memberikan keresahan dan kegamangan di kalangan masyarakat. Bagaimana tidak, kemerdekaan telah diumumkan, Jepang telah menyerah pada sekutu, tetapi mengapa mereka masih tetap bertahan di Indonesia.
Rupanya, pihak Jepang masih merasa bahwa kemerdekaan Indonesia akan terjadi dengan “endorsement” Jepang. Hanya karena kekacauan yang terjadi, rencana memberikan kekuasaan kepada pihak Indonesia otomatis terhenti. Maka sehari setelah menyerahnya Jepang pada sekutu, pada tanggal 15 Agustus 1954, Gunseikan (kepala pemerintahan militer Jepang di Indonesia) mendapat perintah khusus untuk tetap mempertahankan status quo-nya, hingga sekutu datang untuk merebut Indonesia Kembali (M.C.Ricklefs, 2007, hal.426).
Setelah pengumuman pernyataan kemerdekaan Indonesia disiarkan, informasi ini belum sampai secara menyeluruh kepada masyarakat Indonesia. Saat itu media massa memang belum seperti sekarang. Hanya orang-orang tertentu yang memiliki fasilitas elektronik seperti radio yang mendapat berita tersebut secara langsung, dan biasanya berita akan tersebar dari mulut ke mulut kepada masyarakat dan ini memerlukan waktu yang tidak instan.
A.H. Nasution mengatakan, “Seperti halnya di berbagai tempat, di sini (Bandung) pun, telah ada berbagai macam kelompok-kelompok lokal yang sulit dikoordinasikan berhubung rapinya pengawasan Jepang” (Nasution, Jilid 1, 1978). Sehingga informasi yang sampai ke masyarakat, termasuk di Bandung pun simpang siur dan menimbulkan kebingungan.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung karya Merrina Listiandari ini merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman