NGULIK BANDUNG: Sejarah Bunga Bangkai di Tahura Ir. H. Djuanda, Berbeda dengan Rafflesia Arnoldii #3
Bunga bangkai raksasa endemik Sumatera ini selain pernah di ekspor ke Jepang sebagai bahan makanan, juga dicoba dikembangkan di Eropa. Mekar di San Francisco.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
7 Maret 2024
BandungBergerak.id – Amorphophallus titanum, spesies tanaman endemik asli Sumatera, Indonesia, telah masuk daftar International Union for Conservation of Nature (IUCN) sebagai spesies langka yang harus dilindungi. Namun siapa sangka, tanaman langka yang dikenal sebagai bunga bangkai ini ternyata edible dan pernah menjadi makanan substitusi kala gagal panen di zaman Hindia Belanda.
Bukan sekadar bisa dikonsumsi, Amorphophallus titanum yang tanggal 28 Februari 2024 kemarin mekar di San Francisco, Amerika Serikat ini bahkan pernah diekspor ke Jepang sebagai bahan baku produksi industri makanan. Menjadi pertanyaan kemudian, apabila spesies unik ini langka, lantas bagaimana bisa menjadi komoditas ekspor ke Jepang di zaman Hindia Belanda? Penulis akan membahasnya kali ini.
Umbi Amorphopallus Titanum Menjadi Bahan Makanan
Sempat membuat heran dan dianggap sebagai fenomena aneh, bagaimana kembang bangké dengan bau yang sangat menjijikkan itu dicari orang di mana-mana. Bahkan desa-desa kecil didatangi orang yang ingin mencari dan membeli bunga tersebut. Bunga ini memang endemik Sumatera, namun dalam beberapa tempat dapat ditemukan di pulau Jawa (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie?, 9 November 1936).
Karena baunya yang sangat menyengat, bahkan masyarakat tidak tertarik untuk membiakkannya. Bahkan sebelum bunganya muncul, masyarakat akan terlebih dahulu memangkasnya karena khawatir akan baunya yang menyebar di malam hari. Mereka akan lebih senang untuk membiakkan tanaman talas biasa yang jelas dapat memberi manfaat karena dapat mereka konsumsi. Karenanya, bunga bangkai ini dibiarkan liar begitu saja.
Ketika permintaan mendadak akan umbi tanaman ini muncul, masyarakat segera berupaya mencari peruntungan mereka dengan mendatangi hutan-hutan belantara karena mereka tahu, umbi ini memiliki harga. Untuk umbi kering, pembeli membayar per pikul yang berisi lima sampai enam umbi, basah harganya berkisar antara NLG 1,50 dan per pikul umbi kering dihargai NLG 2,50. Namun seberapa keras mencari, tanaman ini sangat sulit di temukan di Jawa Tengah (Bataviaasch nieuwsblad, 13 November 1936).
Dilansir oleh surat kabar, Soerabaijasch handelsblad, 17 November 1936 yang mengutip laporan dari kantor berita Aneta, diketahui dalam sebuah pameran industri di Malang, bahwa Jepang membutuhkan umbi iles-iles alias kembang bangké, sebagai bahan utama pembuat semacam spaghetti. Industri jepang mengolah umbi tersebut menjadi tepung yang kemudian diolah sebagai mi.
Karena umbi Amorphophallus titanum sangat sulit didapatkan, pemerintah Jepang sempat membicarakan tentang pembelian Amorphophellus variabilis, jenis umbi talas yang lain. Namun ternyata varietas tersebut juga banyak tumbuh di Jepang, dan dalam industri tidak sebaik Amorphophallus titanum. Industri makanan Jepang menemukan sebuah proses mengeringkan umbi kembang bangké yang dikemas dan diawetkan dalam kaleng berukuran 500 gram dan dinamakan Konnyaku (De koerier, 4 Februari 1939).
Rupanya permintaan umbi Amorphophallus titanum dari Jepang telah dimulai sejak tahun 1933, dan Indonesia (Hindia Belanda) mampu mengirim sebanyak 212 ton umbi dan meningkat 2 kali lipat pada tahun berikutnya. Karena umbi ini dipanen begitu saja dari habitat asalnya, maka ekspor kembang bangké ini pun otomatis menurun.
Penurunan ekspor ini bukan karena permintaan dari Jepang yang menurun, namun karena umbi ini sangat sulit untuk ditemukan dan sulit pula untuk mengembangbiakkannya sehingga menjadikan tanaman ini menjadi langka. Situasi tersebut membuat pemerintah saat itu merasa perlu mengeluarkan pengumuman; “... hingga saat ini tidak ada tanaman yang sengaja ditanam. Kami masih berusaha untuk mengembangkannya, sehingga tentu saja mempengaruhi permintaan,” (De Koerier, 4 Februari 1939), dan seluruh dunia tahu, hingga kini hal tersebut sangat sulit terjadi.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Sejarah Bunga Bangkai di Tahura Ir. H. Djuanda, Berbeda dengan Rafflesia Arnoldii #1
NGULIK BANDUNG: Sejarah Bunga Bangkai di Tahura Ir. H. Djuanda, Berbeda dengan Rafflesia Arnoldii #2
NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #1
Spesimen Amorphophallus Titanum Dibawa dan Ditumbuhkan di Eropa
Beberapa media dalam dan luar negeri memberitakan sebuah kehebohan kecil terjadi di California academi of Science, sebuah lembaga penelitian dan museum di Kota San Francisco, 28 Februari 2024 lalu. Mengutip berita yang dilansir oleh VoA Indonesia, terjadi antrean panjang masyarakat San Fransisco yang ingin melihat dan mencium aroma bunga tropis yang langka serta terancam punah ini. Sebelumnya, 25 Januari 2024 lalu ) mekar di Tahura Ir. H. Djuanda, Bandung, Amorphophallus titanum juga mekar di Tahura Ir. H. Djuanda, Bandung.
Mekarnya Amorphophallus Titanum di San Francisco, jauh di luar Pulau Sumatera atau Indonesia, sebenarnya bukanlah yang pertama kali. Sejak pertama kali bunga ini ditemukan oleh Dr. Beccari, spesies unik berbau busuk ini memang mencuri perhatian para ahli botani. Mereka dengan sengaja meminta kepada A. de Kock dari perusahaan Ampoe Gadang di distrik Ophir untuk mengirimkan spesimen tumbuhan unik tersebut ke Inggris.
Seperti yang diberitakan oleh De Indische courant, 25 September 1926, maka untuk pertama kalinya spesies Amorphophallus titanum dapat tumbuh di dalam rumah kaca di Kebun Raya Kew, dekat London pada tahun 1889. Kejadian itu membuat banyak sekali masyarakat dari berbagai kalangan merasa berkepentingan untuk melihat bunga yang dianggap sebagai keajaiban tersebut.
Para ahli botani di Inggris telah berhasil meneliti dan berusaha mempertahankan agar spesies tanaman tersebut dapat tinggal dan tumbuh sesuai siklusnya di negara dengan iklim yang berbeda dari habitat asalnya, Sumatera, Indonesia. Sejak tahun 1889 itulah, hingga kini Amorphophallus titanum mekar secara berkala di Kebun Raya Kew, Inggris.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung karya Merrina Listiandari ini merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman