NGULIK BANDUNG: Sejarah Bunga Bangkai di Tahura Ir. H. Djuanda, Berbeda dengan Rafflesia Arnoldii #2
Amorphopallus titanum, bunga bangkai nan langka ini, memiliki arti yang unik dalam bahasa Yunani Kuno. Pernah diekspor sebagai bahan industri makanan ke Jepang.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
4 Maret 2024
BandungBergerak.id – Setelah melalui banyak drama perpolitikan yang tak sehat, berita ditemukannya spesies tumbuhan unik dari Pulau Sumatera akhirnya diumumkan pada dunia. Sebuah koran berbahasa Belanda, Bredasche Courant, tanggal 3 Maret 1832 melaporkan, Inggris melakukan klaim terhadap penemuan bunga raksasa yang ukurannya jauh lebih besar dibandingkan bunga raksasa yang diakui oleh dunia saat itu, Aristolochia cordiflora, yang menyebabkan bunga tersebut kehilangan gelarnya sebagai bunga terbesar di dunia.
Robert Brown dalam pertemuan masyarakat Linnuse memberikan sebuah pernyataan pers, yang menyebutkan bahwa seorang dokter, naturalis, sekaligus penjelajah Inggris bernama Dr. Arnold sebagai orang yang pertama kali melihat tumbuhan unik tersebut. Menghormati akses yang luas oleh Sir Thomas Stamford Bingley Raffles untuk melakukan penelitian, Dr. Arnold memberi nama spesies unik tersebut Rafflesia arnoldii.
Sejarah Penamaan Amorphophallus titanum
Berbeda dengan sejarah penemuan serta penamaan Rafflesia arnoldii yang penuh dengan drama, kisah penamaan bunga bangkai yang kemarin (25 Januari 2024) mekar di Tahura Djuanda, Bandung, Amorphophallus titanum bisa dibilang lebih smooth. Bunga raksasa ini ditemukan pertama kali di sekitar air terjun Lembah Anai tahun 1878 oleh Dr. Odoardo Becar, seorang naturalis dan peneliti asal Italia.
Bunga endemik Sumatera dari keluarga besar Aracea atau talas-talasan ini memang unik. Orang-orang kini melihatnya sebagai bunga raksasa dengan kelopak berwarna magenta yang tongkol tengah menjulang berwarna kuning, menguarkan bau yang sangat aduhai di kala malam hari. Namun sebenarnya tumbuhan ini memiliki beberapa siklus hidup dalam masa tumbuh kembangnya yang mempengaruhi penampakannya secara kasat mata.
Siklus hidup pada tanaman yang disebut sebagai bunga suweg di Jawa atau Karabut, Karabi juga Kibut dalam Bahasa Minang, ini memiliki 3 siklus yang jelas. Yang pertama adalah siklus vegetatif, masyarakat pada umumnya tidak menyadari bahwa tanaman ini adalah Amorphophallus titanum, karena dalam fase ini ia dalam masa pertumbuhan umbi yang memiliki bobot hingga 100 kilogram. Dalam masa vegetatif, tumbuhan ini akan mengembangkan umbinya, dilanjutkan dengan tumbuhnya batang tunggal yang memiliki daun yang justru mirip dengan pohon pepaya.
Masa vegetatif ini bisa berlangsung hingga 12 bulan. Setelah masa vegetatif, batang tunggal yang mirip dengan pohon pepaya tadi akan “mati” dan tidak tampak apa pun di atas permukaan tanah selama 1 hingga 4 tahun. Inilah fase kedua yang disebut sebagai masa dorman atau “tidur” sebelum memasuki siklus yang ke-3 yaitu fase generatif atau pembungaan yang paling dikenal oleh masyarakat sebagai Amorphophallus titanum, atau kembang bangké yang tampak sebagai bunga raksasa dengan warna magenta yang indah. Siklus ini hanya berlangsung sekitar 3 hingga 5 hari sebelum layu.
Sangat menarik bagaimana Amorphophallus titanum digambarkan dalam fase generatifnya dalam media berbahasa Belanda, De T?d: godsdienstig-staatkundig dagblad, 18 Juni 1933, “Dan verschijnt niet de bladknop, doch de torpedovormige bloemknop. Hieruit schiet langzaam een kolf omhoog, ongeveer door een geplooide bloemscheede. Zóó vertoont de plant zich ook op 't eerste gezicht (dus uit de verte) aan 't oog van den bezoeker: men meent een vaas te zien, waaruit een witachtig voorwerp op steekt.”
“Maka yang muncul bukanlah kuncup daunnya, melainkan kuncup bunga yang berbentuk torpedo. Sebuah spadix perlahan-lahan muncul dari sini, kira-kira melalui kelopak bunga yang berlipat. Beginilah penampakan tumbuhan pada pandangan pertama (yaitu dari kejauhan) di mata pengunjung: seseorang mengira ia melihat sebuah vas yang di dalamnya terdapat benda berwarna keputihan menonjol.”
Begitulah Amorphophallus titanum, memukau hati orang-orang Eropa yang melihatnya pertama kali. Penggambaran terhadap spesies yang baru mereka lihat tersebut mengingatkan kepada Lingga yang merupakan simbol dari pria yang merupakan pasangan Yoni, yang merupakan lambang dari wanita dalam bahasa Sanskerta yang juga banyak ditemukan pada berbagai artefak dalam berbagai kebudayaan Indonesia yang melambangkan kesuburan.
Maka tak heran spesies yang dikenal sebagai kembang bangké tersebut dinamakan Amorphophallus titanum. Dalam bahasa latin, amorphous berarti tak memiliki bentuk yang jelas, dan phallos berarti penis, karena mengingatkan orang terhadap lingga di atas. Nama Amorphophallus kemudian ditambah titanum karena ukurannya yang raksasa. Begitulah “keajaiban” Amorphophallus titanum yang kemudian masuk dalam daftar bunga langka International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan keberadaannya dilindungi Peraturan Pemerintah No.7 tahun 1999.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Sejarah Bunga Bangkai di Tahura Ir. H. Djuanda, Berbeda dengan Rafflesia Arnoldii #1
NGULIK BANDUNG: Bioskop Majestic, dari Loetoeng Kasaroeng hingga Anugerah AFJB 2023
NGULIK BANDUNG: PGN Braga Building, Proof that Bandoeng Had an Intracity Gas Network in Colonial Times
Pernah Diekspor ke Jepang
Amorphophallus titanum adalah spesies tumbuhan yang dilindungi karena kelangkaannya. Namun terdapat fakta menarik yang justru sangat berbanding terbalik keadaannya di zaman Hindia Belanda. Fakta ini mengingatkan penulis pada pertanyaan pembaca yang berkomentar di postingan media sosial pribadi penulis, “Apakah tanaman ini edible (dapat dikonsumsi)?” yang saat itu penulis masih belum mendapat jawaban yang pasti.
Spesies tanaman unik ini berasal dari keluarga aracea atau talas-talasan yang berarti masuk ke dalam umbi-umbian yang merupakan sayuran. Namun apakah benar tanaman ini tidak berbahaya bila dikonsumsi?
Berita dari Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie?, 9 November 1936 menggambarkan dengan jelas; “De bloem heef n.l. de eigenaardigheid om tegen den avond open te gaan en dan haar walgelijke stank te verspreiden. De bloem zelf in volle bloei buitengewoon mooi. Vanwege de stank die deze plant verspreidt, werd door de bevolking weinig aandacht aan deze plant aanbesceed. In sommige streken eet men de knollen wel, doch niet dan bij een mislukking van de padioogst”.
“Bunga itu memiliki kekhasan saat mekar menjelang malam, ia menyebarkan bau busuknya yang menjijikkan. Bunganya sendiri yang mekar penuh sungguh luar biasa indahnya. Akibat bau busuk yang dikeluarkan tanaman ini, masyarakat kurang memperhatikan tanaman ini. Di beberapa daerah, umbinya dimakan, namun hanya jika panen padi gagal”.
Lebih lanjut artikel tersebut mengatakan, pihak berwenang saat itu kaget karena mendapat permintaan Kembang Bangké (bunga bangkai) di wilayah Semarang dan sekitar Jawa Tengah, “Wel staat vast, dat de knollen van deze plant naar het buitenland wordt uitgevoerd. Zeer waarschijnlijk zijn de knollen bestemd om in de Japansche industrie verwerkt te worden”. Kutipan tersebut mengatakan bahwa, umbi tanaman ini diekspor ke luar negeri dan kemungkinan besar ditujukan sebagai bahan produksi industri makanan di Jepang.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung karya Merrina Listiandari ini merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman