NGULIK BANDUNG: Sejarah Bunga Bangkai di Tahura Ir. H. Djuanda, Berbeda dengan Rafflesia Arnoldii #1
Sering tertukar dengan Rafflesia arnoldii, bunga bangkai yang mekar tanggal 25 Januari 2024 di Tahura Ir.H. Djuanda, Bandung, masyhur dan punya sejarahnya sendiri.
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
24 Februari 2024
BandungBergerak.id – Publik menyambut gembira berita mekarnya bunga bangkai di Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda, Bandung, pada tanggal 25 Januari 2024 lalu. Pengunjung yang datang rata-rata penasaran ingin menyaksikan mekarnya bunga langka endemik asli Indonesia yang tumbuh hanya sekali dalam masa 3 hingga 4 tahun.
“Ini Rafflesia arnoldii, ya?” tanya Silvi, salah seorang pengunjung Tahura Ir. H. Djuanda, 28 Januari 2024.
“Ini Amorphophallus titanum, bu. Beda dengan Rafflesia arnorldii, tapi sama-sama bunga bangkai,” ujar Dicky, Pengendali Ekosistem Hutan di Tahura Djuanda, saat ditemui di lokasi bunga bangkai tersebut di Tahura Ir. H. Djuanda, Minggu, 28 Januari 2024.
Pertanyaan Silvi tersebut mewakili pertanyaan kebanyakan masyarakat yang memang awam hingga nama keduanya sering tertukar. Bahkan banyak yang tidak tahu bila bunga bangkai ternyata memiliki dua jenis yang sama sekali berbeda.
Kedua bunga bangkai tersebut merupakan kekayaan keragaman hayati yang dapat dijumpai di hutan tropis Indonesia. Walaupun sama-sama bunga bangkai namun keduanya sejatinya berasal dari familia yang berbeda. Rafflesia arnoldii disebut juga sebagai padma raksasa, sedangkan Amorphophallus titanum memiliki nama lain bunga suweg raksasa. Lebih dari itu, keduanya memiliki sejarah yang menarik untuk disimak.
Perbedaan Rafflesia arnoldii dan Amorphophallus titanum
Padma raksasa yang diberi nama Rafflesia arnoldii sebenarnya kurang tepat disebut sebagai bunga. Tanaman unik ini tidak memiliki batang, daun, dan akar, seperti bunga pada umumnya. Rafflesia mekar begitu saja berupa bunga dengan lima helai kelopak pada mahkotanya, yang dilengkapi haustorium, jaringan yang memiliki fungsi serupa akar yang menghisap sari makanan hasil fotosintesa dari tumbuhan inang. Bila sedang mekar tumbuhan ini bisa mencapai 110 sentimeter dengan berat sekitar 80 kilogram.
Tumbuhan ini masuk ke dalam kelompok Holoparasit atau serupa benalu yang tumbuh dengan benalu yang menggantungkan diri pada tumbuhan inangnya. Tidak semua jenis tumbuhan atau pohon dapat menjadi inang dari Rafflesia arnoldii. Hanya tumbuhan dari jenis Tetrastigma, yaitu sejenis tumbuhan rambat atau pemanjat dari keluarga anggur-angguran, yang ternyata hanya dapat ditemukan di dalam hutan hujan di Asia Tenggara, dan di Bengkulu adalah yang paling terkenal.
Berbeda dengan Rafflesia arnoldii, bunga bangkai Amorphophallus titanum yang mekar di Tahura Djuanda justru tumbuh secara mandiri dengan memiliki batang dan akar, tanpa tergantung pada tumbuhan lain sebagai inang. Bunga endemik Pulau Sumatera ini disebut juga sebagai bunga suweg atau bunga karabut dalam bahasa Minang. Bunga ini bisa tumbuh mencapai tinggi 3 mete, dengan lebar kelopak 1,5 meter.
Amorphophallus titanum masuk ke dalam familia Araceae atau keluarga talas-talasan yang juga termasuk Arum Lily. Contoh dari keluarga Araceae yang banyak dijumpai di Pulau Jawa adalah talas, kuping gajah, dan kembang bangké itu sendiri yang banyak dijumpai di Sumatera. Namanya didapat karena baunya yang tidak sedap (De T?d: godsdienstig-staatkundig dagblad, 18 Juni 1933).
Rafflesia arnoldii, Bukan Ditemukan oleh Stamford Raffles
Rafflesia arnoldii hanya dapat dijumpai di wilayah tertentu di Nusantara, dan bukanlah tanaman yang mudah berkembang biak atau dikembangbiakkan. Karena Rafflesia termasuk sebagai tumbuhan yang sangat langka, maka ketika ditemukan pertama kali tanaman ini cukup membuat heboh dan penasaran para ahli botani.
Selama ini ada anggapa bahwa Sir Thomas Stamford Bingley Raffles atau Stamford Raffles adalah orang yang pertama kali melihat keberadaan padma raksasa tersebut. Tak heran nama Rafflesia arnoldii selalu dikaitkan dengan nama Gubernur Jenderal Hindia yang pernah menjabat sebagai Letnan Gubernur Jenderal Bengkulu (1814-1824) tersebut.
Adalah Dr. Joseph Arnold, seorang dokter dan naturalis menemukan bunga ini pada abad ke-19 dalam penjelajahannya di pedalaman Manna, Bengkulu selatan pada tahun 1818. Dia sangat terkagum-kagum, sehingga dalam sebuah surat kepada rekannya, ia menggambarkan penemuannya tersebut sebagai the greatest prodigy of the vegetable world, atau keajaiban terbesar dalam dunia botani (Agus susatya, 2011; dalam Mabberley, 1985; Beaman dkk.,1988).
Karena penemuannya itulah nama Joseph Arnold diabadikan sebagai nama bunga yang sangat menakjubkan ini. Sayang, Joseph Arnold meninggal dalam perjalanan ekspedisi tersebut karena malaria. Lokasi pertama kali Joseph Arnold menemukan tumbuhan unik tersebut adalah Pulo Lebbar, yang di zaman tersebut baru dapat dicapai selama dua hari dengan menyusuri Sungai Manna. Tempat itu kini berupa desa dengan nama yang sama di Kecamatan Pino Raya, 30 kilometer dari Kota Manna, Bengkulu.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Bioskop Majestic, dari Loetoeng Kasaroeng hingga Anugerah AFJB 2023
NGULIK BANDUNG: Riwayat Situ Aksan, Danau yang Hilang di Bandung
NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur Ke Bandung #5
Drama Politik Demi Validasi Penemu Pertama Rafflesia Arnoldii
Sejak huruf ditemukan dan manusia mulai mencatat perjalanan hidupnya, drama perpolitikan selalu menjadi bumbu dalam sejarah peradaban manusia. Begitu pun dengan sejarah penemuan bunga padma raksasa yang sempat menggegerkan dunia botani, tak luput dari trik dan intrik.
Jauh sebelum Dr. Joseph Arnold menemukan bunga padma raksasa, pada abad ke-18 seseorang telah menemukannya lebih dahulu dalam sebuah ekspedisi ke Pulau Jawa. Louise Auguste Deschamp, seorang dokter, naturalis, dan penjelajah asal Perancis, berlayar ke Jawa pada akhir abad ke-18. Dalam pelayaran ini ia ditangkap oleh Belanda dan diinterogasi mengenai tujuan pelayarannya tersebut.
Setelah mengetahui tujuan pelayaran Louise Auguste Deschamp, Gubernur Jenderal Hindia Belanda saat itu, Van Overstraten, justru memintanya untuk melanjutkan ekspedisinya selama tiga tahun mulai dari 1791 hingga 1794. Merasa mendapat izin menjelajah, Deschamp secara aktif mengumpulkan banyak spesimen tumbuhan di pedalaman Pulau Jawa dan mulai menulis draf “Material Towards a For a of Java” (Agus Susatya, 2011; dalam Nais, 2001; Meijer, 1997).
Dalam jurnalnya tersebut, Deschamp menulis tentang Padma Raksasa yang ia temukan di Nusakambangan sekitar tahun 1797, atau 20 tahun sebelum Dr. Joseph Arnold. Setahun setelahnya, Louise Auguste Deschamp pulang ke Perancis. Di saat ia mendekati selat Inggris, Deschamp ditangkap dan seluruh spesimen yang telah ia kumpulkan berikut jurnalnya dirampas oleh Inggris.
Para ahli botani Inggris meneliti hasil rampasan mereka dan segera mereka menyadari bahwa Deschamp telah menemukan sesuatu yang sangat berharga. Silang pendapat terjadi, Inggris yang saat itu memiliki hubungan politik yang sangat buruk dengan Perancis, seakan tidak rela bila penemuan yang sangat fantastis tersebut diumumkan bukan sebagai temuan orang Inggris alih-alih Perancis atau Belanda. Mereka menyembunyikan temuan itu.
Stamford Raffles yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris di Bengkulu menemukan siasat licik dengan memerintahkan William Jack untuk segera mendeskripsikan temuan tahun 1818 di Bengkulu Selatan itu yang kemudian dikenal dengan nama Rafflesia Arnoldii (Susatya, 2011; Nais, 2001; Meijer, 1997).
*Tulisan kolom Ngulik Bandung karya Merrina Listiandari ini merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman