• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #40: Gunung Masigit dan Pasir Malang, Dua Keindahan Tersembunyi di Kawasan Tahura Djuanda

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #40: Gunung Masigit dan Pasir Malang, Dua Keindahan Tersembunyi di Kawasan Tahura Djuanda

Di Tahura Djuanda, kita bisa menikmati area persemaian bibit di lereng Gunung Masigit dan Batu Selendang Dayang Sumbi di Pasir Malang. Pelesir sembari belajar.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Pemandangan Puncak Pasir Malang (kiri) dan Tebing Keraton yang merupakan bagian dari kawasan konservasi Tahura Djuanda, Oktober 2022. Selain menikmati pemandangan indah dan udara segar, di kawasan ini pengunjung bisa belajar banyak pengetahuan baru. (Foto: Gan Gan Jatnika).

23 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Di bagian belakang lembar tiket masuk Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda atau Tahura Djuanda, kita bisa menemukan gambar peta wisata kawasan tersebut. Ada informasi yang menarik tetapi sering luput dari perhatian pengunjung, yaitu keberadaan sebuah gunung bernama Gunung Masigit.

Benarkah ada sebuah gunung di kawasan konservasi di utara Kota Bandung ini?

Gunung Masigit di Mana-mana

Masigit menjadi nama gunung yang paling banyak ditemukan di kawasan Bandung Raya. Jumlahnya kurang lebih selusin. Nama Gunung Masigit kita temukan di perbatasan Ciwidey dengan Sindangkerta, Cipongkor, Nagreg, Cijapati, Cipatat, Lembang, Cihanjuang, dan masih banyak lagi.

Daftar panjang nama Gunung Masigit ini di antaranya mencakup (1) Gunung Masigit di Cibodas, Lembang, (2) Gunung Masigit di Cihanjuang, Parongpong, (3) Gunung Masigit di Bojongsalam, Rongga, (4) Gunung Masigit di Margaluyu, Cipeundeuy, (5) Gunung Masigit di Margaluyu, Sindangkerta, (6) Gunung Masigit di Cipatat, (7) Gunung Masigit di Cipongkor, (8) Gunung Masigit di Mandalasari, (9) Gunung Masigit di Lembang, Leles, (10) Pasir Masigit di Cisarua, (11), Pasir Masigit di Nagreg, dan (12) Pasir Masigit di Girimulya, Cibeber.

Penentuan lokasi gunung-gunung Masigit ini berdasarkan pada lokasi titik puncaknya. Bukan berdasarkan pada alur pendakiannya. Kita, misalnya, memilih menyebut Gunung Masigit di Margaluyu, Kecamatan Sindangkerta, Kabupaten Bandung Barat, bukan Gunung Masigit Ciwidey hanya karena jalur pendakiannya bermula di Kampung Buninagara, Desa Indragiri, Kecamatan Rancabali kawasan Ciwidey Kabupaten Bandung.

Kata Masigit berasal dari kata Masjid yang artinya tempat beribadah. Kekuatan nilai religi sebagai kesadaran moral dan keyakinan serta ketaatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa membuat nama Masigit banyak digunakan untuk menamai sebuah gunung. Selain itu ada harapan bahwa penamaan gunung ini akan membawa keberkahan dan keamanan bagi masyarakat yang tinggal di kaki dan lerengnya.

Tempat Persemaian dan Kebun Bibit Tahura

Menjadi bagian dari kawasan konservasi Taman Hutan Raya (Tahura) Djuanda, Gunung Masigit terletak di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, berdekatan dengan Air Terjun Maribaya. Titik puncak ketinggiannya 1.170 meter di atas permukaan laut.

Di kaki gunung ini, mengalir beberapa sungai, seperti Ci Kawari dan Ci Gulung yang bermuara menuju Ci Kapundung. Aliran Ci Kawari dan Ci Gulung membentuk beberapa air terjun di kawasan wisata Maribaya dan Tahura. Air terjun yang cukup terkenal adalah Curug Omas dengan sebuah jembatan besi melintang di atasnya.

Di lereng Gunung Masigit, yang berada di bagian utara Tahura, terdapat ruas jalan Lembang-Cibodas yang memotong gunung menjadi dua bagian. Melintasi jalan raya ini, kita merasa seperti diapit dua bukit berbeda, padahal keduanya masih bagian gunung yang sama.

Sisi bagian selatan jalan Lembang-Cibodas merupakan kawasan Gunung Masigit yang menghadap ke Tahura Djuanda. Kondisi hutannya masih baik. Sementara itu sisi bagian utara jalan merupakan kawasan Gunung Masigit yang sudah difungsikan sebagai lahan perkebunan. TInggal sedikit kawasan hutan yang tersisa.

Di kaki Gunung Masigit terdapat lokasi penyemaian bibit pohon yang dikelola oleh Tahura, dinamai Area persemaian Tonjong. Aneka pohon langka disemaikan di tempat ini dengan harapan nantinya bisa ditanam di banyak wilayah yang membutuhkan.

Di kawasan Tonjong selain pusat persemaian, terdapat juga kawasan kemah (campground) dan kolam penampungan air. Airnya sangat jernih dan pengunjung yang datang diperbolehkan bermain air atau pun berenang.

Fasilitas lain di kawasan kemah ini adalah Saung Hawu. Di sini kita bisa memasak nasi liwet dengan perapian dari hawu atau tungku berbahan bakar kayu. Untuk keperluan ganti baju dan lainnya, tersedia ruang toilet yang cukup memadai.

Sebagai lokasi memasang tendanya, selain di beberapa area lapang, kita bisa juga memilih area di atas panggung bambu yang menjorok ke aliran Ci Kawari.

Lava Pahoehoe, yang secara populer dikenal juga sebagai Batu Selendang Dayang Sumbi, bisa ditemukan di lembah Pasir Malang yang jadi bagian kawasan konservasi Tahura Djuanda, Oktober 2022. (Foto: Gan Gan Jatnika)
Lava Pahoehoe, yang secara populer dikenal juga sebagai Batu Selendang Dayang Sumbi, bisa ditemukan di lembah Pasir Malang yang jadi bagian kawasan konservasi Tahura Djuanda, Oktober 2022. (Foto: Gan Gan Jatnika)

Pasir Malang, dengan Selendang Dayang Sumbi di Lembahnya

Kawasan wisata Tahura Djuanda memiliki banyak lokasi menarik untuk dikunjungi. Selain kerimbunan pohon yang dijadikan sarana edukasi hutan, terdapat juga wisata dan edukasi tentang geologi dan sejarah perjuangan bangsa.

Primadona wisata kawasan Tahura Djuanda adalah Gua Belanda dan Gua Jepang. Juga wisata jalan santai (hiking) menuju Curug Omas di Maribaya. Belakangan, bertambah objek wisata yang tak kalah menarik, yaitu Tebing Karaton.

Di Tahura, pengunjung juga dapat menikmati penangkaran rusa serta beberapa air terjun, seperti Curug Omas, Curug Lalay, Curug Koleang, dan Curug Dago. Semua terbentuk di aliran Cikapundung, sungai yang mengalir dari hulu di Cibodas Lembang, berbelok ke arah Kota Bandung, sebelum akhirnya bermuara di Citarum, Dayeuhkolot.

Di dalam kawasan Tahura, aliran Cikapundung meliuk di lembahan antara Patahan Lembang dan sebuah gunung yang disebut Pasir Malang. Lembahan yang sangat indah dan menyejukkan mata, ditambah udara segar berlimpah yang dipasok oleh pohon-pohon beraneka ragam jenis dan ukuran.

Lembahan antara Patahan Lembang dan Pasir Malang inilah yang dilewati saat kita melakukan hiking dari Gua Belanda menuju Curug Omas, Maribaya. Jalan setapaknya sudah disediakan dan terawat dengan cukup baik. Tidak perlu takut tersesat karena petunjuk jalan berupa papan penunjuk arah banyak terpasang. Beberapa warung dan toilet siap melayani pengunjung di sepanjang jalur.

Bagi para penggemar geowisata dan hal-hal yang terkait sejarah alam, rute hiking ini tentulah menarik. Di beberapa bagian samping jalan, kita bisa melihat lava yang sudah menjadi batu hasil letusan Gunung Tangkuban Parahu dan gunung sebelumnya, yaitu Gunung Sunda.

Jika mau turun sedikit dari lembahan ke arah dasar Cikapundung, kita akan mendapati bonus luar biasa, yaitu Lava Pahoehoe. Lava ini adalah aliran lava dari Gunung Tangkuban Parahu yang mengalir dan membeku dalam keadaan terlipat-lipat. Lipatannya membentuk motif seperti kain batik.

Lava Pahoehoe (dilafalkan “pahoyhoy atau pahoehoe, bukan pahuhu) mulai banyak dikunjungi orang setelah pada tahun 2010 warga, yang sudah mengetahui keberadaannya sejak lama, melaporkan informasi itu ke pengelola Tahura. Sebagai penghargaan, warga yang melapor diangkat sebagai karyawan dan sampai sekarang masih bekerja di bagian penangkaran rusa.

Lava Pahoehoe diperkirakan terbentuk  48.000 tahun yang lalu. Bentuknya yang unik seperti kain menjadikannya diberi nama batu batik atau batu selendang, dan dikaitkan dengan legenda Sangkuriang. Sebutan populernya Batu Selendang Dayang Sumbi. Kebetulan, di tempat yang sama terdapat pula lubang pada batu yang menyerupai jejak alas kaki yang kemudian disebut sebagai alas kaki Sangkuriang. Tersusunlah cerita bahwa batu pahoehoe adalah selendang Dayang Sumbi yang terjatuh saat ia dikejar oleh Sangkuriang.

Pasir Malang memiliki titik ketinggian puncak 1.306 meter di atas permukaan laut, sesuai keterangan yang ditemui di peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), lembar peta 1209-314, edisi I-2001, judul peta : Lembang, skala 1:25.000.

Di puncak Pasir Malang, terdapat sebuah benteng pertahanan Belanda berumur seratus tahun. Didirikan pada tahun 1922, benteng ini diresmikan oleh Dalem Sawidak dan Dalem Kartalegawa, dengan disaksikan oleh pihak Belanda. Pada masa awal kemerdekaan, benteng yang dikenal dengan nama Benteng Pasir Malang ini pernah dijadikan sebagai pusat pertahanan oleh TKR (Tentara Keamanan Rakyat). Saat ini benteng dirawat  oleh SECAPA AD, sehingga dikenal pula sebagai Benteng atau Tugu SECAPA.

Tak jauh dari lokasi benteng terdapat makam leluhur yang dikenal oleh warga sebagai makam Eyang Dipatisirna (Rangga Malang) dan Eyang Sepuh.

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #39: Gunung Singa Soreang, Pesona Bentang Alam dan Fosil Gunung Api Purba
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #38: Gunung Bohong Cimahi, Wisata Alam Tak Jauh dari Pusat Kota
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #37: Gunung Pangradinan Cikancung dengan Sabana nan Memukau di Bandung Timur

Sekilas tentang Tahura Djuanda

Taman Hutan Rakyat (Tahura) Djuanda diresmikan pada tanggal 14 Januari 1985, bertepatan dengan hari kelahiran Ir. H. Djuanda, menjadikannya taman hutan rakyat pertama di Indonesia sesuai dengan Kepres Nomor 3 Tahun 1985.

Rintisan pembangunan kawasan konservasi di utara Kota Bandung ini sebenarnya sudah dimulai sejak tahun 1912. Pemerintah kolonial Hindia Belanda menetapkannya sebagai kawasan hutan lindung, bagian dari kawasan hutan Gunung Pulosari. Pada tahun 1960-an, Mashudi, Gubernur Jawa Barat saat itu, kemudian menggagas penetapan kawasan kebun raya dengan konsep berupa Taman Hutan Wisata Alam. Pada 23 Agustus 1965, diresmikanlah Kebun Raya Rekreasi Ir. H. Djuanda.

Tahura Djuanda sebagai salah satu tujuan wisata alami paling dekat dari pusat Kota Bandung sudah selayaknya dijadikan pilihan destinasi wisata, baik perorangan, keluarga atau pun instansi atau sekolah. Sembari berwisata, pengunjung akan mendapatkan banyak tambahan pengetahuan.

Salah satu ikon wisatanya adalah Gua Belanda. Banyak yang belum mengetahui bahwa batuan atau tebing yang dilubangi untuk membuat gua ini adalah ignimbrit atau endapan dari piroklastik (material) letusan gunung api yang kemudian membeku dan menjadi batuan yang kuat. Gua Belanda awalnya dibuat untuk saluran air bagi keperluan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), sebelum dimanfaatkan sebagai benteng bagi pasukan Belanda.

Tiket masuk yang berlaku saat ini adalah 12 ribu per orang. Dikabarkan, akan ada penyesuaian menjadi 17 ribu per orang mulai 1 November 2022. Satu tiket masuk tersebut berlaku terusan untuk semua loaksi wisata di dalam kawasan, mulai dari Gua Belanda, Curug Omas, Penangkaran Rusa, Curug Dago, hingga Tebing Karaton.

Kapan terakhir kawan-kawan mengunjungi Tahura Djuanda? Ayo, sudah saatnya kembali berkunjung! Berwisata, healing, sekaligus menangguk banyak pengetahuan baru

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//