• Cerita
  • BANDUNG HARI INI: Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Diresmikan, Rencana Perluasan Wilayah Tak Kunjung Kesampaian

BANDUNG HARI INI: Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda Diresmikan, Rencana Perluasan Wilayah Tak Kunjung Kesampaian

Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda memegang peran strategis menjaga kelestarian ekologis kawasan Bandung utara. Wacana memperluas wilayahnya tak kunjung terwujud.

Para pengunjung menikmati suasana Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda, Kamis (13/1/2022). Kawasan hijau yang diresmikan pada 14 Januari 1985 ini memiliki peran strategis dalam menjaga kelestarian ekologis kawasan Bandung utara. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Tri Joko Her Riadi14 Januari 2022


BandungBergerak.id - Pada 14 Januari 1985, tepat hari ini 37 tahun lalu, Taman Hutan Rakyat (Tahura) Ir. H. Djuanda, yang juga dikenal orang sebagai Tahura Bandung, diresmikan oleh Presiden Suharto. Luas wilayah konservasi di kawasan Bandung utara (KBU) ini ditambah dari sebelumnya 30 hektare menjadi 590 hektare, membentang dari Pakar hingga Maribaya.

Berita peresmian Tahura Ir. H. Djuanda itu menjadi laporan utama koran Pikiran Rakyat edisi Selasa, 15 Januari 1985. Ada dua foto yang tampil di sana. Yang pertama menampilkan rombongan Presiden dan Ibu Negara yang berjalan dengan latar belakang patung dada Ir. H. Djuanda. Yang kedua menampilkan Nyonya Djuanda Kartawidjaja sedang mencuci tangan setelah menanam pohon dalam acara tersebut.

Namun, yang menarik, judul berita utama di koran terbesar di Jawa Barat itu tidak terkait langsung dengan Tahura Ir. H. Djuanda atau dengan lingkungan Bandung. Omongan Presiden Suharto tentang kawasan Puncak yang ditampilkan. “Puncak Tak Ditertibkan, Bogor dan DKI Kurang Air”, begitu judulnya.

Kutipan lain dari Presiden yang disajikan di reportase itu berisi imbauan normatif tentang pentingnya pelestarian alam.

“Dengan rasa tanggung jawab yang besar, kita harus terus menerus menjaga agar sumber kekayaaan alam dan lingkungan terjaga dengan baik dan tetap dapat terus berfungsi dengan baik pula, demi kesinambungan pembangunan jangka panjang dan demi kesejahteraan generasi-generasi yang akan datang,” kata Presiden.

Laporan jurnalistik itu diakhiri dengan informasi kronologis pengembangan kawasan Tahura sejak era kolonial Hindia Belanda. Disebutkan bahwa cikal bakal kawasan hijau ini dimulai dari proyek strategis pemerintah Hindia Belanda melindungi PLTA Dago Bengkok dan DAS Cikapundung pada 1925. Per 2 Agustus 1934, kawasan seluas 15 ribu hektare tersebut ditetapkan sebagai hutan lindung.

Dari “Buku Kenangan Peresmian Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda”, diketahui bahwa Abeong Koesman, Wakil Gubernur Jawa Barat Bidang I, menjabat koordinator persiapan pelaksanaan pembangunan kawasan konservasi tersebut. Ia dan timnya memiliki waktu tak lebih dari 2,5 bulan.

Pentingnya Tahura, Pentingnya DAS Cipundung

Aboeng menyebut empat tujuan pembangunan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, yakni mengabadikan dan menanamkan jiwa kepahlawanan, menyediakan fasilitas bagi pendidikan dan penelitian ilmiah, mengendalikan lingkungan hidup, serta memberikan tempat berekreasi yang sehat. Ia membayangkan Tahura Ir. H. Djuanda kelak bisa dikagumi orang, tak kalah dari Kebun Raya Bogor seluas 87 hektare yang dibangun pemerintah Hindia Belanda pada 1817.

 “Insyaallah, 50-100 tahun yang akan datang bangsa Indonesia dan bangsa-bangsa yang lain akan mengagumi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda yang dibangun oleh bangsa Indonesia sendiri,” tulisnya.

Menteri Kehutanan Republik Indonesia Soedjarwo, dalam sambutannya, menyebut Tahura Ir. H. Djuanda sebagai “laboratorium alam” yang bakal menjadi “wahana penelitian dan pendidikan yang sekaligus sumber pelestarian plasma nutfah yang sangat penting dalam upaya pembudidayaan selanjutnya”.

Soedjarwo juga menyebut tiga alasan pemilihan Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung sebagai Taman Hutan Raya. Ketiganya adalah taman studi bagi Kota Bandung yang sudah sejak lama terkenal sebagai kota pelajar dan mahasiswa, pelestarian fungsi hidrologis DAS Cikapundung bagi keselamatan Kota Bandung, serta penyaluran para wisatawan yang mengunjungi Kota Bandung.

Jadi, sejak awal peresmiannya, Tahura Ir. H. Djuanda memikul tanggung jawab ganda. Selain sebagai benteng alam yang melindungi kelestarian lingkungan di kawasan Bandung Raya, termasuk warga, lahan konservasi ini juga diberi tugas menarik minat wisatawan.

Baca Juga: Bencana Mengintai di Balik Keindahan Kawasan Bandung Utara
Memahami Potensi Bencana dari Balik Keindahan Tebing Karaton
Jejak Raja Siam di Bandung

Sejarah Tahura

Ditetapkan sebagai hutan lindung di era kolonial, taman hutan raya di Bandung utara mulai disiapkan sebagai hutan wisata dan kebun raya pada tahun 1963. Langkah pertama yang dilakukan adalah menanami 60 hektare lahannya dengan pohon-pohon yang berasal dari dearah lain di Indonesia dan bahkan dari luar Indonesia.

 Pada 23 Agustus 1965, kawasan hutan lindung itu diresmikan sebagai sebuah kebun raya atau hutan rekreasi dengan nama Hutan Raya atau Hutan Rekreasi Ir. H. Juanda.

Pada 6 Agustus 1980, pengelolaan Kebun Raya atau Hutan Rekreasi Ir. H. Juanda dialihkan dari Perum Perhutani ke Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam Kementerian Kehutanan Republik Indonesia.

Saat ini pengelolaan Tahura Ir. H. Djuanda menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Per awal tahun 2022, lembaga pengelolanya berubah bentuk dari Unit Pelaksana Teknis (UPT) menjadi Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) di bawah Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat.

Kekayaan Tahura

Ketika diresmikan pada 1985 itu, tercatat secara rinci kondisi Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda. Salah satu permasalahan yang dihadapi adalah belum dibuatnya batas antara kawasan Tahura dengan kawasan hutan Perum Perhutani. Juga disebutkan adanya beberapa penguasaan oleh pihak lain di dalam kawasan Tahura. Termasuk  tanah enklaf milik penduduk berupa sawah di empat lokasi terpisah di pinggir Sungai Cikapundung.

“Buku Kenangan Peresmian Taman Hutan Rakyat Ir. H. Djuanda” juga menyajikan informasi tentang koleksi vegetasi yang terdiri dari sekitar 2.500 pohon yang termasuk pada 40 familia dan 108 spesies. Ke-108 spesies pohon itu ditulis secara lengkap dalam daftar, mulai dari “Yellow cotton tree” dari India hingga kaliandra dari Amerika.

Untuk fauna, disebutkan jumlah dan jenisnya masih sedikit. Salah satu sebabnya adalah “pengunjung yang cukup banyak terutama pada hari-hari Minggu dan libur”. Dalam daftar dalam buku kenangan itu, ditulis sebanyak 27 jenis burung dan dua jenis mamalia, yaitu musang dan tupai.

Patung dada IR. H. Djuanda Kartawidjaja di kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Kamis (13/1/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)
Patung dada IR. H. Djuanda Kartawidjaja di kawasan Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, Kamis (13/1/2022). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Dari Perluasan Kawasan ke Status BLUD  

Di sepanjang perjalanannya, Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda menghadapi ragam persoalan dan tantangan. Saat ini setidaknya ada dua tantangan utama yang dihadapi pengelola, yakni wacana perluasan kawasan dan penerapan status Badan Layanan Umum Daerah (BLUD).

Wacana perluasan kawasan Tahura Ir. H. Djuanda, dari 578 hektare menjadi 3.200 haktare, sudah bergulir sejak lama. Lahan tambahan itu diambil dari kawasan yang saat ini dikelola oleh Perum Perhutani. Sampai sekarang, tidak ada ketuntasan wacana yang sudah masuk rencana strategis kehutanan Gubernur Jawa Barat tersebut.

“Kewenangan (perluasan wilayah) ada di Gubernur dan Pemprov. Kami hanya memiliki kewenangan mengelola dan bertanggung jawab terhadap keberlangsungan konservasi di lingkungan Tahura,” kata Kepala BLUD Tahura Ir. H. Djuanda Lianda Lubis, dihubungi Kamis (13/1/2022) sore.  

Meski belum bisa mengeksekusi wacana perluasan kawasan, Lianda menyebut program perluasan koridor vegetasi terus berlangsung. Stratifikasi hujan tropis di Tahura dihubungkan dengan petak-petak hijau lain di kawasan Bandung utara.

Tentang status BLUD, Lianda menyebut tambahan beban yang harus dipikul pengelola mulai awal tahun 2022 ini. Biaya honor 68 orang pegawai non ASN (Aparatur Sipil Negera) yang nilainya mencapai lebih dari 200 juta rupiah tiap tahunnya harus dicukupi secara mandiri oleh pengelola.

“Ini aneh dan jadi berat,” kata Lianda. 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//