Jejak Raja Siam di Bandung
Jejak kedatangan Raja Siam dan keturunannya di Bandung masih bisa ditemui hingga hari ini. Selain di Curug Dago, ada juga peninggalan di Jalan Cipaganti.
Jejak kedatangan Raja Siam dan keturunannya di Bandung masih bisa ditemui hingga hari ini. Selain di Curug Dago, ada juga peninggalan di Jalan Cipaganti.
BandungBergerak.id - Air berwarna coklat meliuk di antara batuan lava beku berhiaskan sisa-sisa sampah di kanan kirinya. Mengalir tenang, lalu melesat cepat membentuk air terjun setinggi 15 meter di keheningan hutan aliran Sungai Cikapundung, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat, awal Desember 2021.
Kawasan ini dikenal dengan nama Curug Dago. Jaraknya hanya 10 menit berjalan kaki dari Terminal Dago di Jalan Ir. H. Djuanda yang selalu macet dan supersibuk itu. Lokasinya dicapai dengan menyusuri sebuah gang sempit, hanya muat dua unit sepeda motor saat saling berpapasan. Kebun di sisi kanan kiri gang sudah dibenteng tembok dengan kawat berduri di atasnya.
Sekitar 200 meter dari mulut gang, jalan berbelok ke kanan menuruni ruas sempit curam langsung menuju area parkir. Ada warung kecil dan taman bermain. Sepi dan kelihatan jarang sekali dikunjungi wisatawan. Beberapa plang berkarat memberi panduan jika kawasan ini termasuk dalam area Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda. Artinya, seluruh lahan adalah kawasan konservasi.
Satu plang penanda lain menjelaskan bahwa Curug Dago adalah situs budaya karena terdapat prasasti yang dibuat oleh Raja Siam (Thailand). Situs berada di bawah otoritas Balai Pengelolaan Kepurbakalaan Sejarah dan Nilai Tradisional Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Sebanyak 85 anak tangga mengantar langkah kaki menuruni lereng curam dengan vegetasi cukup rapat. Dua bangunan dengan desain khas Thailand berwarna merah berdiri di tepian sungai, di atas batuan lava beku yang cukup tebal dan solid yang membentuk formasi curug pada 125 ribu dan 48 ribu tahun yang lalu. Ada beberapa prasasti di dalam kedua bangunan tersebut.
Formasi batuan lava beku membentuk semacam daratan yang cukup luas, berada cukup tinggi di atas permukaan sungai, menghadap ke arah air terjun dan hutan di sisi hilir. Air Sungai Cikapundung yang tercemar limbah dan bakteri E-coli itu bergemuruh, menghantar kabut uap air ke sekelilingnya.
Prasasti berada di dalam bangunan pelindung dengan pintu terkunci. Dari balik kaca yang buram jelas terliihat tulisan pada batu andesit ukuran 122 x 46 x 56 sentimeter, ditulis oleh Raja Rama V atau Raja Chulalongkorn II pada tahun 1896 dan prasasti ke-2 dengan ukuran batu 202 X 96 x 67 sentimeter pada tahun 1901. Menurut buku Journeys to Java by Siamese King (2001) karya Imtip Pattajoti Suharto, Raja Rama V telah 3 kali mengunjungi Jawa, yaitu tahun 1871, 1896, dan 1901.
Rama VII atau Prajadiphok Sakdidejana adalah Raja Siam yang melakukan napak tilas mengunjungi Curug Dago tahun 1929 untuk melihat prasasti yang dibuat oleh ayahnya, yaitu Rama V. Rama VII juga membuat prasasti untuk menandai kunjungannya ke Curug Dago.
Selain di Curug Dago, ada peninggalan lain keturunan Rama V di Bandung. Kediaman Pangeran Paribatra Sukhumbandhu di Jalan Cipaganti saat ini lebih dikenal sebagai rumah makan Dapur Dahapati. Paribatra adalah pimpinan militer dan Menteri Dalam Negeri di masa kepemimpinan kakaknya, yaitu Rama VI dan Rama VII. Paribatra tiba di Bandung pada tahun 1932. Ada dua rumah peninggalan Paribatra di Cipaganti yang masih utuh dengan tulisan Dahapati dan Preseban di fasad bangunan karya arsitek C. H. Lungten.
Paribatra adalah salah seorang putra Rama V. Saat terjadi kudeta militer di Thailand yang menghilangkan sistem pemerintahan monarki absolut, Paribatra memilih untuk pindah, menetap, dan jadi warga kehormatan di Kota Bandung hingga akhir hayatnya di tahun 1944. Ia dimakamkan di Bandung, sebelum akhirnya dibawa pulang ke tanah airnya Thailand.
Jejak para Raja Siam di Bandung masih terekam sangat jelas dengan peninggalan-peninggalannya di kawasan Bandung Utara. Kondisi bangunan pelindung dan batu prasasti Curug Dago saat ini dalam kondisi cukup baik. Sayangnya, lingkungan sekitar sungai kian tercemar oleh sampah dan limbah. Fasilitas penunjang lain di sekitar area situs juga kurang menunjang jika ingin disebut destinasi wisata.
Peninggalan Pangeran Paribatra di Jalan Cipaganti pun masih berdiri kokoh, bahkan terkenal sebagai salah satu rumah makan legendaris dengan menu sop buntutnya yang sangat terkenal. Lokasinya persis di seberang SPBU Cipaganti. Di gerbang depan rumahnya, menempel arca kepala Buddha yang konon dibawa sang pangeran dari Negeri Siam hampir satu abad yang lalu.
Foto dan teks: Prima Mulia
COMMENTS