GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #39: Gunung Singa Soreang, Pesona Bentang Alam dan Fosil Gunung Api Purba
Gunung Singa menyajikan pemandangan memikat dari puncaknya. Kawasan ini juga menyimpan potensi besar bagi pengembangan wisata berkelanjutan dan sekolah alam.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
2 Oktober 2022
BandungBergerak.id - Nama hewan dijadikan nama sebuah gunung adalah hal yang lumrah. Beberapa contohnya: Gunung Lembu di Purwakarta, Gunung Kancil di Boyolali, Gunung Kuda di Cirebon, Gunung Kucing di Lampung Gunung Ucing di Tasikmalaya, dan masih banyak lagi.
Demikian juga yang ditemui di kawasan Bandung Raya. Ada beberapa gunung dengan nama hewan. Bahkan ada beberapa gunung di tempat berbeda yang memiliki nama hewan sama, yaitu Gunung Tikukur. Gunung Tikukur ada di Ciwidey, Baleendah, Malabar, Cililin, Rajamandala, dan yang lain.
Gunung lainnya dengan nama hewan di Bandung Raya yaitu Gunung Singa. Pesona gunung ini tidak terbantahkan. Selain sajian pemandangan menawan dari puncaknya, terdapat juga batuan yang menjadi bukti aktivitas kegunungapian di daerah Soreang di masa lalu. Gunung Singa merupakan fosil dari sebuah gunung api purba, atau sebuah gunung api pada jutaan tahun lalu yang sekarang sudah tidak aktif lagi.
Akses dan Lokasi
Gunung Singa terdapat di Kampung Campaka, bagian dari wilayah administratif Desa Buninagara, Kecamatan Kutawaringin, Kabupaten Bandung.
Secara garis lurus, Gunung Singa berjarak 2,2 kilometer dari Alun-alun Soreang, dan 3 kilometer dari Kantor Pusat Pemerintahan Kabupaten Bandung. Sedangkan dari Alun-alun Kota Bandung, jaraknya sekitar 15,5 kilometer ke arah barat daya.
Gunung Singa terletak di daerah yang merupakan gugusan dari beberapa gunung dengan rata-rata ketinggian di kisaran 1.000 meter di atas permukaan laut (MDPL). Gunung-gunung ini terbentuk karena aktivitas kegunungapian yang sudah tua, diperkirakan sekitar 4 juta tahun yang lalu. Beberapa gunung yang berada di dekat Gunung Singa, di antaranya adalah Gunung Hawu, Gunung Aul, Gunung Cintalangu, dan Gunung Kutawaringin.
Puncak Gunung Singa memiliki ketinggian 1.033 MDPL. Data ini diambil dari peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), no lembar 1208-544, edisi I:2000, judul peta : Pasirjambu, skala 1:25.000. Ada pun ketinggian yang tertulis di papan puncaknya adalah 1.089 MDPL.
Dengan menggunakan sepeda motor, perjalanan dari pusat Kota Bandung menuju kaki Gunung Singa dapat ditempuh dalam waktu satu jam. Jalurnya bisa melalui Jalan Kopo, atau melewati Jalan Raya Cipatik. Menggunakan kendaraan roda empat, waktu tempuh bisa lebih pendek karena tersedia alternatif menggunakan jalan Tol Soroja dengan akses pintu keluar di Gerbang Tol Soreang.
Perjalanan menuju ke kaki Gunung Singa diteruskan dengan menggunakan patokan arah Stadion Jalak Harupat atau Gedung Pemda Kabupaten Bandung. Dari sana, kita menyusuri jalan menuju Desa Buninagara.
Untuk memudahkan perjalanan, kita bisa memanfaatkan bantuan petunjuk arah secara daring. Ketikkan kata “Gunung Singa Buninagara” dalam kolom mesin pencarian semacam Google, maka rute dan peta akan tersaji.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #38: Gunung Bohong Cimahi, Wisata Alam Tak Jauh dari Pusat Kota
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #37: Gunung Pangradinan Cikancung dengan Sabana nan Memukau di Bandung Timur
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #36: Gunung Serewen dan Kekayaan Mata Air Cekungan Nagreg
Dua Jalur Pendakian Menuju Puncak
Ada dua jalur pendakian menuju Puncak Gunung Singa yang bisa dipilih, yakni jalur melalui Kampung Campaka dan jalur Caringin Kupa melewati Kampung Gunung Hawu. Kedua jalur ini sama-sama berada di Desa Buninagara.
Memilih melalui jalur Campaka, kita akan mendapati basecamp dengan fasilitas lebih lengkap. Harga tiket masuk untuk pendakian pulang-pergi, atau dikenal pula dengan pendakian tektok, sebesar 2 ribu rupiah, ditambah tiket berkemah 10 ribu rupiah. Sementara itu, di jalur Gunung Hawu belum ada pengelola. Namun tidak usah khawatir, kendaraan bisa kita titipkan di halaman rumah warga.
Jalur Gunung Hawu memiliki jarak tempuh yang lebih dekat dengan kondisi jalan yang lebih landai. Tanjakan yang ditemui tidak terlalu panjang. Berjalan selama 30-40 menit, kita akan sampai di puncak.
Jalur Kampung Campaka memiliki jarak tempuh yang lebih jauh, dengan tingkat kecuraman dan panjang tanjakan melebihi jalur Gunung Hawu. Lama perjalanan untuk mencapai puncaknya antara 40 sampai 60 menit.
Di puncak Gunung Singa, kita akan disuguhi pemandangan menawan. Cekungan Bandung dengan bentang pegunungan yang membentenginya terlihat jelas. Permukiman di daerah Soreang, Cimahi, Dago, Cibaduyut, Gedebage, dan Ujungberung bisa dilihat secara leluasa.
Sebuah plang dan sebuah tugu berada di tengah area terbuka. Sekelompok pendaki tampak berfoto. Mereka beberapa kali berganti gaya dan posisi, menciptakan ragam kombinasi hasil pemotretan dengan latar belakang pemandangan bernuansa langit biru. Kebetulan saat itu cuaca memang sedang bagus. Sesekali angin berembus, membuat dedaunan bergerak ke kanan dan ke kiri, menambah segarnya suasana puncak Gunung Singa.
Di area puncak Gunung Singa terdapat lahan untuk berkemah. Tidak tepat di puncaknya, tetapi agak di bawah. Tempatnya cukup teduh walaupun tidak terlalu luas. Terdapat sebuah sumber mata air di sana. Meski tidak melimpah, sumber mata air itu cukup membantu kebutuhan para pendaki.
Terdapat juga makam petilasan yang dilindungi oleh pagar. Menurut Abah Asep Cahyo, yang sudah mengenal betul seluk-beluk Gunung Singa, makam tersebut adalah petilasan Eyang Kalangsingah, seorang tokoh dari Kerajaan Padjajaran pada masa sebelum berkembangnya agama Islam di Tatar Sunda.
Masih di sekitar kawasan puncak, terdapat sebuah taman batu mini, mengingatkan pada taman batu Stone Garden di Padalarang. Taman batu mini ini terdiri dari beberapa batu yang menonjol keluar dari permukaan tanah. Batu yang paling besar dinamai Batu Kenal.
Selain Batu Kenal, di Gunung Singa terdapat juga Batu Kasur. Pemandangan di area yang berada di lereng bagian timur laut ini membuat kita betah berlama-lama. Dari Batu Kasur, bisa terlihat dinding batuan yang merupakan bukti bahwa pernah ada aktfitas kegunungapian di kawasan ini di masa lampau.
Kabar gembiranya, di ranah puncakan terdapat beberapa warung. Warung Ema Ani dan Warung Kang Anton, di antaranya. Selain menyajikan makanan dan minuman yang cukup lengkap dengan harga terjangkau, warung pun menyediakan pula oleh-oleh, seperti gantungan kunci seharga 8 ribu rupiah per buah. Kang Anton juga dengan senang hati mengantar jika ada pendaki yang ingin berkeliling menikmati beberapa lokasi yang jarang dikunjungi, seperti Batu Kasur.
Gunung Singa dan Fosil Pegunungan Purba di Soreang
Gunung Singa tertera dalam beberapa peta. Hal ini memberi penegasan bahwa nama resmi gunung di Soreang ini memang Gunung Singa.
Kalau pun ada nama-nama lain, kita bisa memasukkannya sebagai tambahan kekayaan kearifan lokal. Misalnya nama Gunung Singah atau Gunung Singgah, karena dahulunya merupakan tempat persinggahan bagi orang-orang yang melakukan perjalanan di wilayah Soreang dan sekitarnya.
Salah satu peta cukup lama yang bisa menjadi rujukan adalah peta JAVA. Res. Preanger Regentschappen, Blad K.XX (Herzien et jaar 1908) yang diterbitkan tahun 1909. Dalam peta itu sudah disebutkan nama Gunung Singa dan gunung lainnya di wilayah tersebut. Termasuk Gunung Hawu, sebuah gunung kecil yang berdekatan bahkan seperti menempel dengan Gunung Singa.
Penamaan Gunung Singa sepertinya bukan karena banyak hewan singa di sana, tapi karena bentuk gunungnya yang seperti kepala singa jika dilihat dari kejauhan. Namun, ada juga yang menyebut bahwa nama singa bersumber keberadaan sebuah batu yang mirip dengan kepala singa. Batu ini berada di dinding tebing sehingga cukup sulit dijangkau pendaki. Bahkan untuk sekadar difoto pun sama sulitnya.
Sepanjang perjalanan mendaki tidak ditemui kerapatan hutan belantara. Yang ada adalah hutan bambu, pohon kayu jati, ilalang, dan semak belukar. Kondisi ini mengundang risiko cukup tinggi terulangnya kebakaran lahan terbuka seperti yang terjadi pada Oktober 2019. Saat itu lebih dari 8 hektare lahan terbakar, diduga akbiat aktivitas pembakaran lahan untuk pertanian atau dari puntung rokok yang dibuang sembarangan.
Kerusakan lingkungan akibat kelalaian manusia seperti kebakaran dan longsor sangat merugikan karena sebuah gunung memiliki banyak manfaat bagi lingkungan sekitarnya. Gunung dan hutannya merupakan paru-paru yang menyuplai kebutuhan oksigen, selain sebagai kawasan serapan air hujan yang nantinya menjadi penyedia cadangan air tanah.. Gunung pun secara alami menjadi tempat terbaik untuk tumbuh dan berkembangbiaknya flora dan fauna yang berperan sebagai penyeimbang ekologi dan ekosistem yang baik.
Gunung Singa, selain memenuhi semua unsur kegunaan di atas, memiliki juga kegunaan lain yang tak kalah penting. Kawasan ini bisa dikembangkan sebagai destinasi suistanable tourism (pariwisata yang berkelanjutan) dengan manfaat yang bisa dirasakan langsung masyarakat sekitarnya dengan emempertimbangkan aspek peningkatan ekonomi dan kelestarian lingkungannya.
Nilai lebih lainnya yang sangat berharga adalah potensi Gunung Singa sebagai ecomuseum atau pun sekolah alam yang menyediakan sarana belajar luar biasa. Batuan yang tersebar di kawasan ini bisa dipelajari sebagai bukti bahwa pembentukan alam raya tidak begitu saja tersaji, tetapi melalui proses panjang yang menarik. Pembelajaran ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pelestarian alam sekaligus kesadaran akan potensi risiko yang terkandung di dalamnya.
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)