GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #37: Gunung Pangradinan Cikancung dengan Sabana nan Memukau di Bandung Timur
Mendaki Gunung Pangradinan Cikancung, kita akan disuguhi sabana atau padang rumput luas yang memikat. Dari sana, tersaji Cekungan Bandung berikut gunung-gunungnya.
Gan Gan Jatnika
Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika
4 September 2022
BandungBergerak.id - Ada sebuah cerita ringan tentang daerah Cinangka yang ada di timur Bandung Raya. Konon nama Cinangka diambil dari banyak pohon nangka yang tumbuh di dekat aliran sungainya. Ada juga yang menceritakan bahwa Cinangka merupakan gabungan nama tiga tempat di zaman dahulu, yaitu Tjikantjoeng (Cikancung), Nagreg, dan Tjitjalengka (Cicalengka). Saat ini Cinangka menjadi nama sebuah desa di Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung.
Dibanding dua kecamatan lainnya, yaitu Nagreg dan Cicalengka, nama Kecamatan Cikancung relatif masih kurang dikenal orang. Padahal ada banyak potensi menarik yang bisa mengangkat nama Kecamatan Cikancung. Salah satunya potensi keindahan alam yang dimiliki sebuah gunung mungil nan memukau bernama Gunung Pangradinan.
Akses dan Lokasi
Gunung Pangradinan berada di perbatasan Kampung Gorowek, Desa Mekarlaksana dengan Kampung Cikancung Girang, Desa Cikancung, Kecamatan Cikancung, Kabupaten Bandung. Jika ditarik garis lurus, kawasan ini berjarak sekitar 29 kilometer ke arah tenggara dari pusat Kota Bandung.
Untuk menuju Gunung Pangradinan dari pusat Kota Bandung, tersedia beberapa jalur. Ada pilihan jalur mengarah ke timur terlebih dahulu, yaitu ke Cileunyi, kemudian menuju Jalan Raya Rancaekek sebelum berbelok ke arah Majalaya. Ada juga pilihan jalur mengarah ke Gedebage dan Derwati-Ciwastra dari Jalan Terusan Kiaracondong, selanjutnya masuk ke arah Sapan. Atau kita juga bisa memilih melalui Jalan Laswi Baleendah, selanjutnya menuju Majalaya.
Ketiga pilihan jalur di atas akan bermuara di daerah Ciluluk. Dari sini, perjalanan dilanjutkan menuju ke kaki Gunung Pangradinan di Kampung Gorowek, Desa Mekarlaksana. Patokan arah masuknya dari lapang sepakbola Padaringan.
Jika dirasa sulit mengikuti petunjuk di atas, kita bisa menggunakan bantuan internet. Cukup dengan memasukkan kata kunci “Gunung Pangradinan” di kolom mesin pencarian seperti Google, rute dan jalur akan tersaji.
Ketinggian Gunung Pangradinan adalah 1.236 meter di atas permukaan laut (MDPL) berdasar peta RBI (Rupa Bumi Indonesia), lembar peta 1208-643, edisi I-2001, judul peta : Majalaya, skala 1:25.000. Namun ada juga para pendaki yang lebih suka menyebut ketinggiannya 1.234 MDPL.
Beberapa sumber air yang berasal dari Gunung Pangradinan menjadi pasokan bagi sungai-sungai di sekitarnya, seperti Ci Kalage, Ci Kopo , Ci Wirama.
Dalam peta lama tahun 1919 yang dicetak ulang oleh AMS tahun 1943, terdapat banyak nama sungai di sekitar kaki Gunung Pangradinan, di antaranya Ci Kancung, Ci Nangka, Ci Hanyir, Ci Lebaksaat, Ci Gandarusa , Ci Bingkur, Ci Gentur,Ci Lingkerkasur, Ci Heuleut, dan Ci Jengkol.
Mendaki Gunung Pangradinan
Pendakian menuju Gunung Pangradinan, selain dari Kampung Gorowek, juga bisa juga ditempuh dari Kampung Cisagatan, atau dari Cidegdeg dan Cihanyir, serta beberapa jalur lainnya. Namun jalur Kampung Gorowek lebih direkomendasikan karena relatif paling aman.
Sampai tulisan ini dibuat, Agustus 2022, belum ada pos pendakian resmi maupun pos tiket masuk. Hanya ada sebuah gapura berornamen bambu bertuliskan “Welcome to Pangradinan” dengan tulisan lain beraksara Sunda di bagian bawahnya.
Untuk parkir kendaraan, baik roda dua atau pun roda empat, kita dapat menitipkannya di sebuah rumah tidak jauh dari gapura tersebut. Sebuah rumah panggung dengan dominasi warna hijau yang menyejukkan. Di rumah tersebut tinggal seorang lelaki sepuh yang akrab disapa Mas Sriyono, seorang yang ramah dan baik hati. Sudah hampir lima tahun Mas Sriyono tinggal di Kampung Gorowek. Sesekali saja dia pulang ke kampung halamannya di Salatiga.
Perjalanan dari gapura sampai ke puncak Gunung Pangradinan membutuhkan waktu sekitar 30-45 menit. Jalannya sudah sangat terbuka, selebar hampir 5 meter dengan lapisan batuan kerikil dan bongkah kerakal. Jalan ini bisa dilalui oleh beragam kendaraan. Tentu saja kendaraan dengan kondisi prima yang dianjurkan melewatinya, terutama kondisi ban dan rem yang baik.
Bagi para goweser atau penggemar olahraga bersepeda, jalur pendakian ke puncak Gunung Pangradinan sangatlah menarik. Di awal perjalanan selepas gapura, kita sudah disuguhi tanjakan yang cukup terjal. Untungnya tanjakan itu tidak terlalu panjang. Para goweser menyebutnya sebagai tanjakan usus karena sering dijadikan bahan canda bahwa tanjakan tersebut bisa membuat usus terasa mual saat melewatinya.
Akibat pembuatan jalan yang cukup lebar, di samping kanan dan kiri jalur pendakian tersingkap lapisan tanah dan batuan. Singkapannya memperlihatkan banyak hal yang menarik untuk dipelajari, seperti lapisan tanah berwarna merah dan lapisan tanah berwarna abu muda serta abu tua yang merupakan lapisan piroklastik akibat aktifitas gunung api. Selain itu muncul pula lapisan batuan intrusi andesit di beberapa titik.
Semakin mendekati puncak, semakin menarik pemandangan yang bisa kita nikmati. Di sebelah selatan tampak Gunung Mandalawangi seakan menemani langkah perjalanan, sedangkan di barat dan utara tampak Pegunungan Baleendah, seperti Gunung Bukitcula, Gunung Nini, dan Gunung Geulis. Tampak pula Cekungan Bandung dengan hamparan sawah yang menghijau. Tidak ada pembagian pos istirahat di jalurnya, namun beberapa titik bisa dipilih untuk berhenti sejenak, sekaligus berfoto dengan latar belakang pemandangan yang memikat
Setibanya di puncak, kita akan disambut dengan hamparan rumput yang membentang. Bagi sebagian pendaki, hamparan rumput ini mengingatkan pada sabana di Gunung Merbabu, Bahkan sampai ada yang menyebut kalau Gunung Pangradinan adalah Merbabu versi Bandung. Yang lain menjuluki hamparan rumput itu Savana van Bandung atau padang rumput savana dari Bandung. Sabana adalah hamparan rumput yang luas dan diselingi beberapa pohon lain.
Terdapat beberapa puncakan di Gunung Pangradinan. Ada tiga puncakan yang menonjol keberadaannya. Puncak pertama di sebelah utara, atau berada di kiri pada saat tiba. Terlihat tanda-tanda bekas pemasangan tenda di puncakan ini. Puncakan kedua ada di sebelah kanan atau sebelah selatan. Puncakan ini lebih tinggi dari puncak yang lainnya dan memiliki hamparan rumput lebih luas. Dari puncak ini terlihat jelas Gunung Mandalawangi di samping selatannya. Terdapat pula sebuah makam atau petilasan berbentuk makam yang dipagari dengan kayu di antara hamparan rumputnya.
Puncakan ke tiga berada di sisi timur. Puncakan ini rimbun dan di tengahnya terdapat susunan batuan yang dibuat melingkari sebuah pohon. Di dekatnya terdapat sebuah bongkah batu berukuran besar. Tidak begitu jauh ke arah timur dari puncakan ketiga terdapat beberapa pohon peneduh lain.
Keadaan di area puncak Gunung Pangradinan memang didominasi hamparan rumput. Hampir tidak ada tempat untuk berteduh. Salah satu tempat berteduh adalah dua buah pohon pinus di bagian sisi timur puncak. Kerimbunan daunnya bisa digunakan untuk berteduh sambil beristirahat.
Dari keteduhan pohon pinus ini, pendaki bisa menikmati pemandangan Cekungan Bandung, Cicalengka, dan Nagreg. Tampak pula Pegunungan Kareumbi, Gunung Kerenceng, Gunung Buyung, Gunung Serewen, Gunung Calancang, Gunung Kéndan, dan yang lain. Pemandangan yang menawan dan membuat betah.
Sebagai catatan, sebelum mendak, sebaiknya kita mempersiapkan bekal air yang cukup untuk keperluan minum, memasak, atau lainnya. Pilih juga waktu pendakian pagi atau sore hari agar bisa menikmati suasana puncak dalam keadaan tidak terlalu terik sinar matahari.
Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #36: Gunung Serewen dan Kekayaan Mata Air Cekungan Nagreg
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #35: Gunung Puncaksalam Cimahi dan Kearifan Lokal Kampung Adat Cireundeu Melestarikan Alam
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #34: Gunung Tangkuban Parahu, Legenda Sangkuriang dan Sejarah Geologinya
Toponimi dan Hal Menarik Terkaitnya
Nama Gunung Pangradinan memang menarik untuk ditelusuri, apa arti pangradinan?
Ddi halaman 556 kamus Bahasa Sunda susunan R. A. Danadibrata, termuat arti kata pangradinan yang berasal dari kata dasar radin yang artinya alus, geulis (bagus, cantik). Kemudian dilanjutkan pangradinan artinya: wadah panyimpenan kapereluan ngageulis (tempat menyimpan keperluan bersolek).
Dalam versi lain, kata pangradinan ditemukan dalam adat budaya Sunda: pangradinan, parukuyan (parupuyan), dan parawanten. Pangradinan adalah tempat menyimpan sesajen, biasanya berupa nyiru atau nampan dari anyaman bambu, bisa juga berupa baskom atau lainnya. Parukuyan atau parupuyan adalah tempat membakar atau menaburkan kemenyan, biasanya terbuat dari tanah. Ada pun parawanten adalah benda sesajennya yang beraneka rupa. Dalam upacara adat siraman, terdapat parawanten yang berisi hahampangan seperti ranginang, opak, kejora, wajit, serta beubeutian seperti kacang, talas, singkong, dan ubi yang diolah menjadi makanan dengan cara dikukus.
Menurut salah seorang sesepuh warga Kampung Gorowek, kata pangradinan yang dimaksud untuk Gunung Pangradinan adalah yang kedua, atau yang berarti tempat menyimpan sesajen. Adapun arti nama Kampung Gorowek disebutkan oleh Kiki, pemuda setempat yang ditemui di puncak gunung, berasal dari kata poek atau gelap gulita karena dahulu keadaannya masih belum tersentuh aliran listrik.
Dalam tulisan Suwardi Alamsyah P. (2013) tentang Seni Beluk di Desa Ciapus, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, terdapat muara dari kedua pengertian pangradinan. Disebutkan bahwa pangradinan adalah wadah tempat menaruh alat kecantikan bagian dari sesajen. Semisal sisir, eunteung (cermin), minyak keletik, minyak wangi, bedak pupur , sipat maskara, dan pulas lambe (pewarna bibir). Sesaji ini disilokakan agar Nyi Pohaci atau Dewi Padi mau turun ke dunia menghadiri upacara adat yang dilakukan.
Kecamatan Cikancung juga menarik ditelusuri toponiminya. Kata cikancung bisa dipecah menjadi dua bagian, yaitu cai yg berarti air dan kancung yang berarti tempat minum dari bambu atau bisa juga tempat mengambil air yang terbuat dari bambu. Hal ini masih harus ditelusuri lagi, namun memang di daerah Cikancung banyak tumbuh aneka pohon bambu atau dalam Bahasa Sunda disebut pohon awi atau tangkal awi.
Keberadaan pohon bambu ternyata menginspirasi beberapa warga di Cikancung untuk membentuk komunitas pencinta dan pembuat buah karya berbahan bambu. Karya mereka, berupa tas piknik, tutup lampu hias, botol minum, alat makan, dan beragam karya lainnya, seringkali diikutkan dalam pameran. Komunitas ini menamakan dirinya Koaci (Komunitas Awi Cikancung).
*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)