• Kolom
  • GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #35: Gunung Puncaksalam Cimahi dan Kearifan Lokal Kampung Adat Cireundeu Melestarikan Alam

GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #35: Gunung Puncaksalam Cimahi dan Kearifan Lokal Kampung Adat Cireundeu Melestarikan Alam

Gunung Puncaksalam menjadi bagian dari kearifkan lokal masyarakat Kampung Adat Cireundeu, Cimahi. dalam memelihara alam. Ada tradisi mendaki tanpa alas kaki.

Gan Gan Jatnika

Pegiat Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB), bisa dihubungi via Fb Gan-Gan Jatnika R dan instagram @Gan_gan_jatnika

Gunung Puncaksalam seperti pematang yang terbentang di tengah padatnya kawasan industri dan permukiman kota, dilihat dari Pasir Pogor, Bojongkoneng, Desember 2021. (Foto: Gan Gan Jatnika)

13 Agustus 2022


BandungBergerak.id - Pegunungan Pematang Tengah adalah sebutan bagi rangkaian gunung yang melintang dari utara ke selatan melintasi kawasan Cekungan Bandung . Pegunungan ini berada di garis perbatasan Kota Cimahi, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bandung Barat.

Ribuan tahun lalu, pegunungan ini seakan menjadi pematang yang berada di antara Danau Bandung Purba bagian timur dan barat. Besarnya tekanan air di antara kedua segmen danau ini mengakibatkan bobolnya bagian pematang, sehingga air mengalir melewatinya dari sebelah timur menuju ke barat dan membuat surut permukaan Danau Bandung Purba sebelah timur. Tempat bobolnya pematang tersebut sekarang dikenal dengan nama Curug Jompong.

Saat ini, setelah Danau Bandung Purba surut, Pegunungan Pematang Tengah masih ada dan dapat dilihat serta dikunjungi. Aliran Citarum membelahnya jadi dua.

Beberapa gunung di sebelah utara aliran Citarum yang termasuk ke dalam jajaran Pegunungan Pematang Tengah di antaranya Gunung Bohong (877 meter di atas permukaan laut/mdpl), Gunung Panganten 832 mdpl, Gunung Jatinunggal (802 mdpl), Gunung Padakasih (951 mdpl), Gunung Aseupan (823 mdpl), Gunung Pasir Panji (827 mdpl), Gunung Jambul (710 mdpl), Gunung Sanggar (752 mdpl), Gunung Leutik (815 mdpl), Gunung Gajahlangu (903 mdpl), Gunung Puncaksalam (904 mdpl), Gunung Lagadar (897 mdpl), Gunung Masoro (767 mdpl), Gunung Selacau (867 mdpl), dan Gunung Gadung (723 mdpl).

Sementara itu, beberapa gunung di sebelah selatan aliran Citarum yang termasuk ke dalam jajaran Pegunungan Pematang Tengah di antaranya Gunung Korehkotok (745 mdpl), Gunung Pasir Malang (794 mdpl), Gunung Mariuk (865 mdpl), Gunung Lalakon (973 mdpl), Gunung Pancir (782 mdpl), dan Gunung Badaraksa (810 mdpl).

Semua gunung di Pegunungan Pematang Tengah berada dalam lembar peta yang sama, yaitu peta RBI (Rupa Bumi Indonesia) yang diterbitkan oleh Bakosurtanal/BIG lembar peta 1209 – 311 , edisi  I-2001, judul peta : Bandung , skala 1 : 25.000.

Dari sekian banyak gunung itu, Gunung Puncaksalam menjadi salah satu yang paling menarik karena berada di dalam lingkungan sebuah kampung adat, yaitu Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi.

Akses dan Lokasi

Gunung Puncaksalam, dengan ketinggian 904 meter di atas permukaan laut, berada tepat di sebelah barat pusat Kota Bandung, Jika ditarik garis lurus akan diperoleh hasil pengukuran sekitar 9 kilometer jaraknya.

Untuk menuju ke sana dari pusat Kota Bandung, kita bisa membawa kendaraan ke arah barat menuju Cimindi, kemudian berbelok ke arah kiri menuju Leuwigajah tanpa harus naik ke jalan layang dahulu. Perjalanan berlanjut menyusuri arah Kerkof, lalu mengambil belokan ke arah kiri sampai ke Kampung Adat Cireundeu.

Nantinya kita akan bertemu dengan Tugu atau Monumen Meriam Sapujagat dengan tulisan “Selamat Datang di Kampung Cireundeu Rukun Warga 10”. Dari tugu ini, perjalanan akan membawa kita memasuki beberapa gang. Jika merasa kebingungan, jangan ragu bertanya ke warga tentang arah jalan menuju Kampung Adat Cireundeu. Tanda kita telah dekat tujuan adalah sebuah lapangan bulutangkis terbuka bertuliskan “Cireundeu” di salah satu temboknya.

Jika ingin menggunakan bantuan petunjuk daring, kita tinggal memasukan kata kunci “Kampung Adat Cireundeu” ke dalam kolom pencarian semisal Google. Nantinya jalur dan rute akan tersaji.

Secara administratif, Gunung Puncaksalam berada di perbatasan antara Kampung Adat Cireundeu, Kelurahan Leuwigajah, Kota Cimahi dan Desa Lagadar, Kecamatan Margaasih, Kabupaten Bandung, serta Desa Batujajar Timur, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat. Kaki gunung bagian barat daya gunung ini bahkan masuk ke wilayah berbeda, yakni Desa Selacau, Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat .

Bale Atikan atau imah panggung, salah satu bangunan menarik di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, Agustus 2022. (Foto: Gan Gan Jatnika)
Bale Atikan atau imah panggung, salah satu bangunan menarik di Kampung Adat Cireundeu, Kota Cimahi, Agustus 2022. (Foto: Gan Gan Jatnika)

Sekilas tentang Kampung Adat Cireundeu

Kampung Adat Cireundeu berada di kaki bagian utara Gunung Puncaksalam. Di dekatnya terdapat pula Gunung Jambul, Gunung Gajahlangu, dan Gunung Leutik.

Keberadaan kampung adat ini sangat menarik. Walaupun berdekatan dengan kawasan industri dan permukiman Leuwigajah, warga tetap dapat mempertahankan budaya dan tradisi yang sudah berlangsung turun-temurun. Kearifan lokal yang menjadi ciri khas Kampung Adat Cireundeu di antaranya adalah kebiasaan mengonsumsi  rasi atau beras singkong dan nyeker atau melepas alas kaki saat memasuki kawasan hutan, termasuk saat mendaki menuju puncak gunung.

Tradisi lain yang masih terpelihara adalah peringatan upacara 1 Sura, yang penentuan tanggalnya sesuai dengan kalender Saka Sunda.

Warga Kampung Adat Cireundeu memegang prinsip hidup ngaindung ka waktu, mibapa ka jaman, yang berarti memiliki cara dan ciri yang harus dipertahankan, serta mengikuti laju perkembangan zaman. Di kampung ini, tidak terdapat larangan menonton televisi, menggunakan kendaraan bermotor, atau menggunakan telepon genggam.

Beberapa bangunan adat di dalam area Kampung Adat Cireundeu terlihat sangat terawat dan membuat betah untuk tinggal. Bangunan-bangunan berbahan dasar kayu dan bambu memiliki daya tarik tersendiri, seperti Bale Saresehan, Bale Atikan (Imah Panggung), dan Balandongan.

Di halaman sebelah timur Imah Panggung terdapat batuan yang disusun seperti kursi dan meja. Yang menarik, batu yang berfungsi seperti meja itu akan mengeluarkan bunyi nyaring seperti logam jika dipukul. Batu ini disebut batu sada.

Nama Cireundeu sendiri berasal dari sejenis tumbuhan, yaitu reundeu (staurogyne elongata). Tumbuhan ini memiliki banyak khasiat, di antaranya sebagai obat diare dan sakit pinggang. Bisa juga dijadikan lalab atau lalapan. Tumbuhan reundeu masih bisa ditemukan di bagian belakang Kampung Adat Cireundeu, di dekat bangunan toilet.

Pendakian tanpa alas kaki alias nyeker menuju puncak Gunung Puncaksalam, bersama teman KPGB dan mahasiswa KKN dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dipandu oleh Kang Jajat, Agustus 2022.(Foto: Gan Gan Jatnika)
Pendakian tanpa alas kaki alias nyeker menuju puncak Gunung Puncaksalam, bersama teman KPGB dan mahasiswa KKN dari IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, dipandu oleh Kang Jajat, Agustus 2022.(Foto: Gan Gan Jatnika)

Mendaki Gunung Puncaksalam

Mendaki Gunung Puncaksalam merupakan bagian dari wisata Kampung Adat Cireundeu. Tradisi menarik yang membuat pendakian gunung ini unik adalah keharusan membuka alas kaki atau nyeker.

Selain itu ada pantangan lain yang harus diperhatikan, yaitu larangan menggunakan pakaian, tas, topi, atau hal lain berwarna merah. Bagi wanita yang sedang datang bulan, ada larangan mampir ke situs sumber air Nyi Mas Ende.

Larangan mendaki dengan berpakaian warna merah terkait dengan empat perlambangan warna yang diyakini warga Kampung Adat Cireundeu. Merah melambangkan api atau inti kehidupan, kuning melambangkan angin atau energi kehidupan, hitam melambangkan tanah atau keteguhan hati, dan putih melambangkan air dan kesuburan.

Saat memasuki hutan, warna merah yang melambangkan api dilarang masuk, sebagai siloka bahwa kita harus melepaskan unsur nafsu dan keinginan. Apalagi jalur pendakian bakal melewati sumber air Nyi Mas Ende yang memiliki makna warna putih, warna yang memiliki kekuatan berseberangan dengan warna merah.

Perjalanan mendaki Gunung Puncaksalam akan membawa kita memasuki hutan adat. Di sana terdapat tiga pembagian hutan. Bagian awal disebut dengan Leuweung Baladahan atau area hutan yang boleh dikelola sebagai lahan pertanian. Menyusul kemudian Leuweung Tutupan atau area hutan di mana kekayaan hutannya boleh diambil atau dimanfaatkan dengan memperhatikan kesinambungan penanaman (reboisasi). Di sini, ada pemilihan pohon yang diambil. Kalau hendak menebang, jangan lupa menanam kembali. Terakhir ada Leuweung larangan atau bagian hutan yang tidak boleh diambil kekayaan alamnya dan harus tetap lestari.

Perjalanan menuju puncak Gunung Puncaksalam memakan waktu sekitar satu jam. Durasi bisa jadi lebih lama jika kita banyak berhenti untuk mampir dan mendalami keunikan isi hutan adat. Contohnya, kekayaan hayati berupa tumbuhan langka seperti pohon ganyong, kopo, ki meong, ki cau, ki kopi, dan yang lain. Kita juga bisa memperhatikan beragam pohon bambu seperti jenis bambu atau awi gombong, tamiang, haur, apus, lengka, tali, temen, dan lainnya.

Di tengah perjalanan mendaki, kita bisa mampir ke sumber air yang disebut situs Nyi Mas Ende. Di tempat ini, air langsung keluar dari sumbernya. Umat Hindu di Cimahi meminta izin untuk melakukan upacara melasti atau penyucian diri di sini. Upacara ini biasa dilakukan menjelang Hari Raya Nyepi. Terdapat dua arca berupa patung berwarna hitam berbentuk Ganesha, dan satu lagi berbentuk seorang wanita atau dewi. Juga terdapat dua buah lingga batu berukuran sedang.

Bagi pendaki, pengalaman mendaki tanpa alas kaki merupakan sesuatu yang unik, bahkan bisa jadi semacam tantangan untuk mengasah kesabaran dan ketelatenan. Dari pengalaman yang penulis dapatkan, mendaki nyeker ternyata menyenangkan juga. Kekhawatiran akan kacugak atau tertusuk batuan tajam atau duri tidak terbukti. Malah semakin lama perjalanan menuju puncak semakin terasa nyaman.

Hal menarik lainnya, di beberapa tempat kita akan menemukan tanda barcode. Jika kita pindai menggunakan kamera telepon genggam, akan muncul informasi tentang lokasi atau sesuatu yang dipasangi tanda barcode tersebut. Misalnya, di mata air Nyi Mas Ende atau di beberapa jenis pohon tertentu .

Dalam pendakian Sabtu, 6 Agustus 2022, penulis bersama teman-teman dari KPGB (Komunitas Pendaki Gunung Bandung) disertai oleh mahasiswa IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta yang sedang melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Kampung Adat Cireundeu, diantar oleh Kang Jajat. Warga asli Cireundeu ini memandu pendakian dengan sangat menarik. Di sepanjang perjalanan, Kang Jajat menceritakan tentang apa yang dijumpai dengan penjelasan yang mudah dipahami.

Setibanya di puncak, akan tersaji pemandangan yang menarik. Hamparan Kota Cimahi dan Bandung terlihat cukup jelas, walaupun sedikit terhalang ilalang setinggi satu meter atau bahkan ada yang lebih tinggi.

DI puncak, terdapat bangunan dari bambu yang cukup nyaman untuk digunakan sebagai tempat beristirahat. Terlihat sebatang pohon perdu-perduan setinggi dua meteran, Namanya pohon Gamal (Gliricidia sepium) dengan bunganya berwarna ungu. Warga Kampung Adat Cireundeu menyebutnya dengan nama pohon cebreng. Ada juga pohon sadagori dan kembang orok-orokan berwarna kuning.

Jika cuaca cerah, berkemah di puncak sangat menyenangkan. Pagi harinya kita bisa melihat indahnya momen matahari terbit. Namun, jangan lupa membawa bekal air untuk minum dan keperluan lainnya karena di puncak sulit ditemukan sumber air. Kisah mengenai adanya sumber air yang disebut Sumur Bandung sampai sekarang masih misterius keberadaannya .

Turun dari puncak, kita bisa mengambil jalur yang berbeda, yaitu jalur yang melewati area Bumi Perkemahan Puncaksalam. Dalam perjalanan menuju Bumi Perkemahan, kita akan melewati sebuah tempat yang disebut Batu Kowak, yaitu sebuah batu dengan cowak atau cekungan yang selalu digenangi air. Bahkan saat musim kemarau pun genangan airnya selalu ada.

Lokasi Bumi Perkemahan Puncaksalam berada sekitar 500 meter dari puncak. Tempatnya terbuka dan cocok untuk melakukan pengamatan beberapa gunung di sekitarnya.

Baca Juga: GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #34: Gunung Tangkuban Parahu, Legenda Sangkuriang dan Sejarah Geologinya
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #33: Gunung Tambakruyung Ciwidey, Gumuk Gunung Api dengan Jalur Pendakian yang Menawan
GUNUNG-GUNUNG DI BANDUNG RAYA #32: Gunung Puntang Banjaran, dengan Bumi Perkemahan Alami di bawah Puncak Mega dan Curug Siliwangi

Toponimi dan Geomorfologi

Nama Gunung Puncaksalam berasal dari kata salam atau salamet yang berarti selamat. Maknanya, Gunung Puncaksalam memiliki nilai keselamatan sebagai pencapaian tertinggi kehidupan yang harus diperjuangkan dan harus dijaga agar nantinya membawa berkah perlindungan serta keselamatan bagi warga dan lingkungannya.

Usia Gunung Puncaksalam pun ternyata sudah cukup tua, melebihi pegunungan di Bandung Utara dan Bandung Selatan. Dalam buku Geologi Cekungan Bandung (2011) karya Budi Brahmantyo yang diterbitkan oleh Penerbit ITB, terdapat keterangan bahwa secara garis besar geomorfologi pegunungan dan perbukitan gunung api di Bandung Raya dapat dibedakan ke dalam:

  1. Kerucut-kerucut gunung api muda yang umumnya masih aktif dengan ekspresi permukaan relatif mulus. Contohnya, Gunung Tangkuban Parahu, Gunung Malabar, dan Gunung Patuha.
  2. Kerucut-kerucut gunung api tua, yang umumnya sudah memperlihatkan ekspresi permukaan bertekstur kasar, serta lembah-lembah gerus yang dalam. Contohnya adalah Gunung Sunda, Gunung Burangrang, Pegunungan Bukanagara, Gunung Bukittunggul, Gunung Palasari, Gunung Manglayang, Gunung Kareumbi, Gunung Buyung, Gunung Mandalawangi, dan Gunung
  3. Kubah dan kerucut sisa-sisa gunung api, yang umumnya merupakan gunung api paling tua yang sudah mati. Morfologi trlah tererosi dengan relief dan tekstur oermukaan kasar. Contohnya adalah kompleks Intrusi Leher Volkanik Selacau, termasuk Gunung Lagadar dan Curug Jompong di Nanjung, Leuwigajah, selatan Cimahi. Bentuk-bentuk kubah tererosi tersebar di bagian barat daya Cekungan Bandung, di daerah Cililin hingga Gunung Halu, barat Waduk Saguling.

Walau tidak disebutkan dalam penjelasannya, dan hanya menyebut Gunung Lagadar saja, tapi kiranya Gunung Puncaksalam dan Gunung Gajahlangu yang berada di dekat Gunung Lagadar, diperkirakan seumuran, dilihat dari bentuk serta batuannya.

Ada pun kata gajah dalam Kelurahan Leuwigajah dan Gunung Gajahlangu, erat kaitannya dengan seekor gajah pemberian Raja Palembang kepada Dalem Batulayang, yaitu Eyang Abdul Rohman. Hadiah ini merupakan sebentuk terima kasih karena Dalem Batulayang telah membantu berperang melawan VOC di Palembang tahun 1770. Gajah tersebut dirawat dan dimandikan di sebuah lubuk sungai atau leuwi, dan kemudian dibiarkan berjemur atau ngalangu di sebuah gunung. Kedua tempat tersebut kemudian masing-masing dikenal dengan nama Leuwigajah dan Gunung Gajahlangu.

Sungai yang melewati kawasan Gunung Gajahlangu dan Gunung Puncaksalam adalah Ci Mahi yang mengalir di kaki sebelah timur, dan Ci Tunjung yang mengalir di kaki sebelah barat.

Dewitapa Kampung Adat Cireundeu

Dewitapa atau Desa Wisata Ketahanan Pangan layak disematkan kepada Kampung Adat Cireundeu. Warganya tidak lagi tergantung kepada satu bahan makanan pokok, semisal beras atau nasi. Mereka mampu mengolah singkong sebagai bahan makanan dan kreasi lainnya.

Ada dua jenis singkong yang ditanam di Cireundeu, yaitu singkong atau sampeu jenis karikil dan jenis biasa.

Sampeu karikil adalah jenis singkong yang bagus untuk dijadikan tepung, sementara sisa perasannya diolah menjadi rasi (beras singkong).  Sedangkan singkong jenis biasa bisa diolah menjadi penganan seperti comro, getuk, atau singkong goreng.

Selain jadi rasi, singkong juga diolah juga menjadi kue eggroll dengan aneka cita rasa, Ada juga dengdeng dari singkong. Hasil olahan ini tersedia di warung yang menjual hasil olahan serbasingkong sebagai oleh-oleh khas Dewitapa Kampung Adat Cireundeu.

*Tulisan kolom Gunung-gunung di Bandung Raya merupakan bagian dari kolaborasi www.bandungbergerak.id dan Komunitas Pendaki Gunung Bandung (KPGB)

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//