NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #2
Herman Willem Daendels memerintah Hindia Belanda dengan tangan besi. Inggris melancarkan serangan. Belanda jatuh.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
15 Desember 2023
BandungBergerak.id – Pada masa Verenigde Oost Indische Compagnie atawa VOC, penguasaan tanah di Hindia Belanda dibedakan antara tanah yang didapat lewat penaklukan dan tanah yang diterima sebagai penyerahan kedaulatan raja-raja penguasa pribumi (Bernard H. M. Vlekke, Nusantara Sejarah Indonesia, 2008). Vlekke juga menyebutkan, perusahaan dagang Belanda ini masih mengakui tanah-tanah milik petani lokal yang berada dalam kekuasaan raja-raja bumiputra yang menyerah pada Belanda. Namun pada zaman kekuasaan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels, tidak demikian.
Dengan tangan besi, Daendels mengabaikan pembedaan itu. Ia menganggap seluruh tanah yang ada di Jawa adalah tanah milik negara. Tanah milik negara tersebut yang kemudian ia jual kepada perusahaan-perusahaan swasta untuk mengisi kas negara. Ia misalnya menjual tanah yang luas di barat dan timur Batavia, melego seluruh tanah kabupaten Probolinggo di Jawa Timur pada seorang Cina bernama Han Ti Ko dengan harga 1 juta dollar. Untungnya kekuasaan Daendels tidak lama. Jika tidak, seluruh penduduk Jawa akan berubah menjadi hamba sahaya karena kehilangan tanah miliknya.
Vlekke mencatatkan aksi Daendels yang mengorganisir Jawa, termasuk kekuatan militernya di Hindia Belanda menjadi pemicu serangan langsung Inggris ke tanah Jawa. Lord Minto, Gubernur Jenderal India kala itu sebagai wakil Kerajaan Inggris di India Timur mengirim ekspedisi untuk menaklukkan Belanda di Jawa. Lord Minto mengumpulkan sejumlah orang yang betul-betul punya minat tentang sejarah Hindia Belanda dan adat istiadat orang-orangnya.
Salah satu yang menonjol adalah Thomas Stamford Raffles. Lord Minto menunjuk Raffles memimpin persiapan diplomatik penyerangan dengan menjalin politik dengan penduduk asli agar serangan yang dilakukan ke tanah Jawa dapat dilakukan dengan sesingkat dan semudah mungkin. Raffles menggunakan saudagar Indonesia sebagai perantara untuk menghubungi kerajaan-kerajaan di Jawa untuk menarik simpati mereka.
Janssens, gubernur jenderal Hindia Belanda pengganti Daendels yang ketiban pulung. Ia gagal menahan serangan Inggris di bawah pimpinan Lord Minto yang tiba di Batavia dengan seratus kapal dan 12 ribu serdadu yang berlayar dari Malaka. Pada 3 Agustus 1811 Batavia takluk. Janssens mundur dan membangun pertahanan di selatan Semarang. Pertahanan terakhir Belanda di Semarang langsung runtuh saat Inggris menyerang. Pada 18 September 1811, Belanda menyerah. Kemenangan tersebut membuat Inggris menguasai Jawa, Timor, Makasar, dan Palembang.
Lord Minto menyerahkan kedudukan Letnan Gubernur pada Raffles untuk menjalankan pengaturan pemerintahan wilayah taklukan baru Inggris tersebut dari Jawa. Raffles menjalankan perintah Lord Minto untuk mereorganisasi pemerintahan di Jawa. Raffles menjalankannya dengan mengatur kembali hubungan antara Batavia dan kerajaan-kerajaan di Jawa.
Raffles sesungguhnya tidak melakukan hal baru, ia hanya meneruskan saja kebijakan Daendels. Salah satunya dengan melanjutkan perombakan administrasi pemerintahan di Jawa dengan meniru gaya administrasi Eropa dan menggantikan sistem feodal dengan organisasi modern. Pemerintahan dijalankan oleh pejabat pemerintah yang digaji negara untuk menggantikan sepenuhnya peran kepala-kepala daerah.
Raffles juga dibebankan melaksanakan reformasi pajak yang sudah ditetapkan Lord Minto yang menginginkan penghapusan segala bentuk penyerahan paksa dan kuota serta mengubah sistem hak milik dan hak guna tanah di Jawa. Raffles kemudian mengadopsi sistem pajak yang dipergunakan Perusahaan India Timur Inggris di India. Ia menerbitkan dekrit tanggal 15 Oktober 1813 yang memaksakan kepemilikan tanah sebagai milik pemerintah. Tanah pemerintah tersebut disewakan pada kepala desa yang selanjutnya menyewakan ulang pada warganya dengan harga sewa yang tidak menindas. Harga sewa tanah yang ditetapkan itu seperempat hingga setengah hasil panen.
Tahun-tahun pertama praktik sewa tanah menghasilkan pemasukan yang lumayan. Raffles melangkah lebih jauh lagi dengan mengurangi peran kepala desa dan hanya menjadikannya sebagai pemegang buku kontrak. Sewa tanah dilakukan langsung antara penduduk dan pemerintah. Hasilnya, pemasukan negara langsung anjlok karena sistem administrasi yang masih amburadul. Dibutuhkan pengorganisasian selama bertahun-tahun sebelum sistem sewa tanah bisa diberlakukan sepenuhnya. Namun Raffles tidak bisa sepenuhnya melakukan sistem sewa tanah di Priangan sebagai lumbung kopi di Jawa. Sistem penarikan pajak dalam bentuk tenaga kerja terpaksa masih dipertahankan di Priangan seperti di masa Kompeni walaupun dengan kontrol administrasi yang lebih baik.
Kas yang tak kunjung pulih, memaksa Raffles meneruskan rencana penjualan tanah pemerintah yakni daerah-daerah yang sudah dibudidayakan berikut penduduknya pada pemodal Eropa atau Cina. Gara-gara ini, Raffles dituduh memanfaatkan kekuasaan untuk memperkaya dirinya. Setelah Lord Minto mundur dari kedudukannya sebagai Gubernur Jenderal di India, Raffles kehilangan pelindungnya dan membuat dirinya kemudian dicopot dari jabatannya. Posisi Raffles digantikan John Fendall. Raffles belakangan lebih dikenal luas lewat bukunya History of Java yang menggambarkan secara nyaris secara lengkap mengenai Jawa dan penduduknya.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #1
NGULIK BANDUNG: Perayaan Natal di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Teror Bom di Bandung pada Zaman Kolonial
Inggris Menyerahkan Kembali Jawa Kepada Belanda
Inggris kemudian menyerahkan kembali Jawa pada Belanda setelah negara tersebut memberontak terhadap dominasi Prancis. Belanda yang kembali menjadi negara berdaulat di bawah pimpinan Panegarn Oranje Willem VI, menerima kembali Jawa dari tangan Inggris pada 13 Agustus 1814. Inggris setuju menyerahkan kembali koloni Belanda kecuali Cape Coloy dan Demarara pada raja baru Belanda tersebut. Pada 19 Agustus 1816, bendera Belanda kembali berkibar di Batavia.
Raja Willem VI kemudian mengirim tiga komisariat jenderal untuk mengambil alih pemerintahan di Indonesia. Tiga orang itu adalah C. Th. Elaout selaku kepala komite, A. Buyskens seorang komandan angkatan laut, dan G. Baron van der Capellen yang ditunjuk sebagai gubernur jenderal yang akan tinggal di Hindia Belanda. Ketiganya langsung menemukan pemerintahan di tanah koloni itu dalam keadaan kacau akibat reformasi ala Raffles yang baru setengah jalan.
Namun tiga komisariat itu mengakui reformasi perpajakan ala Raffles yang menggantikan sistem penyerahan paksa ala VOC nyatanya lebih adil dan praktis. Sistem sewa tanah tersebut akhirnya dipertahankan.
Gubernur Jenderal Van der Capellen menolak liberalisasi tanah di Hindia Belanda. Sistem kapitalis yang dibawa dengan membebaskan penjualan tanah pada pengusaha akan membuat pemilik tanah kaya mendominasi penduduk asli di Jawa.
Tiga komisariat tersebut mencari cara untuk perbaikan pertanian di Jawa. Mereka kemudian mendirikan departemen pemerintahan baru yakni pertanian, seni, dan pendidikan. Ahli botanologi Profesor Caspar Reindwardt ditunjuk memimpin departemen baru tersebut. Tugasnya memperbaiki metode pertanian sekaligus dengan menyebarluaskan pendidikan di Hindia Belanda.
Sejarawan Belanda lainnya, Jan Bremen dalam bukunya Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870 (Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014) memiliki sudut pandang berbeda mengenai analisanya soal kepemilikan lahan di Jawa, terutama di Priangan. Ia mendapati seluruh kebijakan politik VOC berdasar pada anggapan bahwa VOC adalah pemilik lahan taklukan beserta penduduknya.
VOC mempraktikkan sistem kekuasaan feodal Eropa yang menjadikan tanah dan penduduknya ada dalam kekuasaan negara. Dengan dalih tersebut, VOC memaksa petani menanam tanaman tertentu, dan menyetornya dalam jumlah yang sudah ditentukan sebagai upeti. VOC menunjuk bupati sebagai kepanjangan tangan untuk menjalankan kekuasaannya dengan bayaran upah yang dihitung dari setoran budidaya tanaman yang diterima Kompeni. Petani boleh mengelola lahannya asal setoran sudah terpenuhi. Yang terjadi, tenaga dan waktu sudah dihabiskan untuk memenuhi setoran yang dituntut oleh Kompeni.
Yang jadi pangkal sebabnya adalah masih minimnya pengetahuan tentang struktur masyarakat khususnya di Priangan yang menjadi lumbung kopi Belanda. VOC telah lama menguasai Priangan tapi tanpa meningkatkan pengetahuan mereka tentang masyarakat setempat. Nyaris tidak ada yang paham mengenai struktur hubungan sosial dalam kehidupan masyarakat di Priangan gara-gara praktik pendelegasian pemungutan upeti pada bupati.
Dengan pengetahuan yang serba minim demi memaksa petani menggarap lahan untuk menanam kopi maka VOC memberlakukan larangan yang pada dasarnya mengikat penduduk agar mau menetap dan menanam kopi. Namun semua yang dilakukan Kompeni berpusat pada perantaraan pemimpin bumiputra karena kesulitan melakukan pengawasan di lapangan. Mulai dari faktor bahasa hingga wilayah pedalaman yang masih belum terjamah. VOC benar-benar hanya mengandalkan pemimpin-pemimpin bumiputra untuk melakukan pemaksaan penduduk menanam kopi dan tanaman budidaya lainnya yang menguntungkan.
Penduduk bukannya tidak melawan. Ada banyak cara melawan yang dilakukan yang memusingkan Kompeni. Misalnya melarikan diri dari kewajiban tanam paksa ke daerah pedalaman yang masih sulit dijangkau Kompeni. Bupati pun kadang-kadang sengaja melindunginya atau malah menerima pelarian tersebut demi mendapat tambahan tenaga kerja untuk menanam kopi. Bupati pun diam-diam sengaja melaporkan data kependudukan yang lebih sedikit agar penduduk yang ada di wilayahnya masih leluasa menanam padi, sekaligus menyimpan sedikit bagian untuk memasok pasar gelap.
Kompeni bukannya tidak tahu soal itu. Sejumlah perintah keras diterbitkan semata-mata untuk menekan penduduk agar tidak melarikan diri dari satu wilayah. Namun Kompeni tidak pernah mengakui hal itu sebagai dampak dari tanam paksa dengan menyimpulkannya sebagai kebiasaan warga yang suka mengembara. Kompeni misalnya memberlakukan larangan bagi penduduk untuk pindah majikan dengan memaksa mereka harus meninggalkan harta miliknya jika memang menginginkan pindah bekerja ke tempat majikan yang baru. Namun yang pasti yang dilakuan Kompeni adalah terus menaikkan target penanaman kopi jika target produksi kopi anjlok. Pemaksaan dilakukan dengan menekan bupati yang selanjutnya menekan penduduknya masing-masing.
Kompeni memberikan kompensasi upah yang besar untuk bupati untuk menjaga loyalitasnya. Namun Kompeni juga melakukan pengawasan melekat pada bupati dengan menugaskan Gecommitteerde tot de Saecken der Inlanderen (Komitir untuk Urusan Pribumi) yang selanjutnya dikenal dengan sebutan Commisaris (Komisaris) atau Landscommisaris (Komisaris Negeri). Pengawas Eropa yang kemudian dikenal dengan sebutan Sersan Kopi juga dikirim ke pedalaman untuk mengawasi langsung penyetoran upeti bupati. Belakangan Komitir pun bermain mata dengan bupati demi mengumpulkan kekayaan.
Tak hanya itu, VOC bahkan melakukan langkah radikal dengan menutup wilayah Priangan. Orang yang bukan penduduk Priangan dilarang memasuki wilayah itu. Dalihnya untuk melindungi penduduk Priangan dari pengaruh buruk dari luar. Larangan tersebut secara khusus ditujukan pada pedagang Cina yang sering bertindak menjadi agen kopi kulakan. Warga Priangan pun tidak bisa bebas meninggalkan tempatnya. Bepergian tanpa izin tertulis bisa diganjar hukuman pukulan rotan hingga dirantai selama setahun penuh. Tanam paksa menjadi masa-masa yang sulit bagi warga Priangan.
Namun tetap saja cara-cara yang dilakukan Kompeni tidak pernah berjalan efektif. Dampaknya lama-lama terasa karena kontrol yang dilakukan mengandalkan uang kemudian menggerus kas berikut hasil panen kebun yang tak pernah pasti. Pada akhirnya VOC pun dibubarkan karena krisis finansial yang berkepanjangan. (Bersambung)
*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Kolonial Belanda