• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #1

NGULIK BANDUNG: Kisah Kepemilikan Tanah di Priangan di Masa Kolonial Belanda #1

Tanggal 5 Oktober 1705 ditandatangani perjanjian antara Pangeran Puger dan VOC. Penguasa tanah Jawa resmi jatuh ke perusahaan dagang Belanda.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Gambar kondisi pada zaman kolonial Belanda di Jakarta. De Nederlanders voor Jacatra, 1618. (KITLV 51B2, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

4 Desember 2023


BandungBergerak.id – Sejarawan Belanda Bernard H. M. Vlekke dalam bukunya Nusantara Sejarah Indonesia (2008) mencatat, 5 Oktober 1705 saat ditandatanganinya perjanjian antara Pangeran Puger dan perusahaan dagang Belanda Verenigde Oost Indische Compagnie atawa VOC menjadi tanggal penting yang menandai dimulainya penguasaan Belanda atas Jawa.

Perjanjian ini berawal dari permintaan Pangeran Puger untuk merebut takhta Mataram dari keponakannya, Sultan Amangkurat III. Pangeran Puger kelak menyandang takhta Mataram dengan gelar Pakubuwana, poros dunia.

VOC berhasil mengalahkan Sultan Amangkurat III dengan gugurnya Surapati pada tahun 1706. Amangkurat III kemudian menyerah pada pasukan Kompeni pada 1708 dan kemudian menjalani pengasingan hingga meninggal di Ceylon, Srilanka.

Menurut Vlekke, perjanjian 5 Oktober 1705 mencakup semua hal penting mengenai status Jawa bagian barat, termasuk Priangan di dalamnya. "Sejak saat itu Kompeni akan punya kekuasaan sebagai penguasa atasan yang penuh dan tak terbatas atas semua negeri di sebelah daerah Tegal dan Banyumas dan atas bagian timur Madura," tulis Vlekke.

Perjanjian tersebut juga mengakhiri hubungan Mataram dan Cirebon. Kelak Cirebon akan menjadi bagian dari kekuasaan VOC. Sisa wilayah Mataram kemudian berada dalam genggaman Kompeni sejauh mengenai perdagangan dan perniagaan. Kompeni kemudian menjadi tuan di tanah Jawa.

Penelitian Vlekke selanjutnya mendapati bahwa transformasi Jawa di bawah kekuasaan VOC kala itu bermula dari kecintaan orang Belanda abad ke-18 pada pertamanan. Kecintaan pada bunga-bunga dan tanaman-tanaman eksotik.

Tahun 1700, sekelompok kecil holtikulturalis Belanda di Batavia, salah satunya Johan van Hoorn bereksperimen dengan menanam beragam tanaman yang diperoleh Belanda dari mancanegara. Salah satunya adalah pohon kopi yang dikirimkan pada Van Hoorn dari pantai Barat India. Van Hoorn tidak pernah membayangkan eksperimennya akan mengguncangkan Jawa.

Pohon kopi Van Hoorn memang tidak tumbuh subur di Jawa. Tapi eksperimen ini memancing rasa ingin tahu Gubernur Jenderal Hindia Belanda Zwaardecroon dan penggantinya, Chastelein, untuk terus mencoba menanam kopi di Jawa. Eksperimen berbuah hasil di tangan Nicholas Witsen, seorang Direktur VOC, sekaligus kerabat Van Hoorn.

Keberhasilan membudidayakan kopi asal India itu membuat Kompeni memperluas skala eksperimennya. Tahun 1707, Kompeni membagi-bagikan bibit kopi pada kepala daerah di sekitar Batavia dan Cirebon. Tahun 1711, 50 kilogram panen kopi pertama diserahkan Bupati Cianjur Arya Wiratana pada Kompeni. Dua belas tahun kemudian produksi kopi melonjak pesat mencapai 5.500 ton. Eksperimen Van Hoorn dan Witsen justru malah membuat panik VOC.

Produksi kopi yang melimpah membuat VOC tidak lagi bisa mengatur harga kopi dengan harga tinggi. Melimpahnya produksi kopi mengancam sistem perdagangan monopoli Kompeni di Jawa.

Petinggi VOC kemudian memutuskan menggunakan tangan besi untuk mengatur harga. Produk mentah yang dibeli dari penduduk, secara sepihak dibeli dengan harga murah. Tak cukup ampuh untuk meredam harga maka sistem hitung pun di akali. Pejabat Batavia mengenalkan sistem pikul gunung dan pikul Batavia. Selisihnya separuhnya.

Penduduk Jawa dipaksa menyerahkan kopi dalam ukuran pikul gunung setara 102 kilogram, sementara Kompeni membelinya dengan ukuran pikul Batavia dengan berat 56 kilogram. Dampaknya, masyarakat di Jawa ramai-ramai menolak menanam kopi. Pasokan kopi untuk Kompeni pun anjlok.

VOC awalnya tidak peduli dengan daerah kekuasaannya yang diperoleh dari penaklukan demi penaklukan di nusantara. Namun melimpahnya panen kopi yang mengancam praktik dagang yang monopolistik membuatnya tiba-tiba teringat akan kuasanya atas tanah Jawa. VOC mulai serius menggunakan kekuasaannya demi memastikan kelanggengan usaha dagangnya.

Di Priangan, pembangkangan petani menanam kopi membuat VOC menggunakan tangan besi dengan menekan bupati. Kompeni mulai menggunakan kekuasaannya sebagai penguasa Priangan yang sudah diserahkan sepenuhnya oleh Mataram. Petinggi Kompeni mematok target produksi kopi, dan mendistribusikannya sebagai target upeti yang wajib dipenuhi bupati-bupati di Priangan. Seorang pejabat Belanda diangkat sebagai pengawas untuk membantu bupati mengatur produksi dan mengontrol perawatan kebun kopi. Para pengawas yang kemudian dikenal sebagai "sersan kopi" kelak menjadi cikal bakal pegawai negeri di negara kolonial Hindia Belanda.

VOC secara tidak langsung membangun daerah semiotonom di Priangan dengan mengangkat para bupati sebagai kepanjangan tangannya mengontrol wilayahnya masing-masing. Kekuasaan mereka dibatasi dengan kewajiban meminta persetujuan Batavia mengangkat patih atau letnan mereka. Sersan kopi menjadi pengawas sikap politik mereka.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Perayaan Natal di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Balapan Kuda di Tegallega
NGULIK BANDUNG: Teror Bom di Bandung pada Zaman Kolonial

Herman Willem Daendels

Praktik perdagangan yang kaku, monopolistik dan korup pada akhirnya membuat VOC bangkrut dan dibubarkan pada 31 Desember 1799. Negara mengambil alih semua hak milik dan utang VOC setara 134 juta Gulden. Nyaris berbarengan dengan itu terjadi perubahan politik di negeri Belanda yang ditandai penguasaan Prancis atas negeri Belanda.

Penguasa baru Belanda mulai serius menata koloninya. Sedikitnya, dua kondisi tersebut mendorong terjadinya perubahan sosial, budaya, dan politik di Hindia Belanda. Pemerintah Belanda kemudian mengirim Herman Willem Daendels menjadi gubernur jenderal di HIndia Belanda. Ia tiba di Batavia pada 1 Januari 1808.

Daendels memerintah dengan tangan besi. Ia memangkas korupsi, merombak administrasi warisan VOC, membangun jalan dan benteng, serta tentu saja memaksa petani menanam kopi. Ia berhasil tapi mendatangkan kebencian bagi semua kepentingan yang ia rusak. Ia mencabut status semiotonom yang dinikmati penguasa wilayah dengan mengangkat semua bupati Jawa menjadi pegawai negeri dengan status setara dengan warga Eropa di Hindia Belanda.

Daendels memisahkan peradilan dengan membentuk Pengadilan Prefektorat untuk mengadili kasus-kasus yang melibatkan bumiputra dan Dewan Peradilan yang khusus mengadili orang-orang asing yang menetap di Hindia Belanda. Peradilan pertama mengacu pada adat istiadat dan hukum di Jawa, sementara peradilan bagi orang-orang asing menggunakan undang-undang yang ada di Hindia Belanda. Ia menghancurkan sistem lama yang dibangun VOC dan membangun fondasi untuk sistem administrasi baru di Hindia Belanda.

Di bawah rezim pemerintahan tangan besi Daendels kopi menumpuk di gudang-gudang Batavia, tapi tak ada yang membelinya karena jalur perdagangan terputus di bawah blokade Inggris yang kala itu berperang dengan Amerika. Kas pemerintah Hindia Belanda pun kosong. Demi mengisi kas negara ia sempat mencoba menerbitkan uang kertas namun nilainya langsung terdepresiasi gara-gara ketidakpercayaan pada pemerintahannya.

Daendels kemudian memutuskan melakukan penjualan tanah milik pemerintah untuk mengisi kas pemerintah Hindia Belanda. Langkah tersebut yang kemudian memodernisasi struktur ekonomi masyarakat Jawa dengan diperkenalkannya secara resmi perusahaan swasta mengusahakan tanah-tanah pemerintah di Hindia Belanda. Bersambung...  

*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Kolonial Belanda

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//