• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Balapan Kuda di Tegallega

NGULIK BANDUNG: Balapan Kuda di Tegallega

Lapangan Tegallega Bandung di zaman kolonial menjadi tempat berlangsungnya balapan kuda. Warga Eropa dan penduduk lokal tumpah-ruah di sana.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Area balapan di Bandung. Foto karya G. Kolff, diambil antara abad abad ke-19 dan ke-20. (Koleks KITLV 1400285, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

9 Oktober 2022


BandungBergerak.id - Lapangan Tegallega di zaman kolonial Belanda menjadi tempat penyelenggaraan balapan kuda yang berlangsung tiga hari. Even olahraga tahunan yang terhitung terbesar di Hindia Belanda kala itu.

Koran Soerabaijasch handelsblad tanggal 18 Juli 1881 menjadi catatan tertua di koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda yang memberitakan perhelatan balapan kuda di Lapangan Tegallega, Bandung. Koran itu menyebutkan tempat perhelatan berada di Tegallega, yang berasal dari kata “tegal” yang berarti padang rumput, serta “lega” berarti luas.

Warga Eropa dan penduduk sekitar tumpah ruah menonton balap kuda di Lapangan Tegallega kala itu. Mereka tak hanya datang dari Bandung, juga dari Cianjur, Sumedang, Garut, Bogor, dan Batavia. Warga pribumi yang datang dari luar Bandung umumnya mengikuti tuannya yang ingin menyaksikan balapan tersebut, tapi ada juga yang menyengaja datang ingin melihat keramaian.

Warga Eropa yang menonton tidak hanya dari Bandung. Ada yang datang jauh-jauh dari Bogor. Mereka harus melewati perjalanan melelahkan karena harus melewati jalan darat, melintasi jalan pedati menembus puncak Gunung Megamendoeng yang menjadi perbatasan Preanger dan Batavia.

Pemandangan pegunungan yang mengelilingi Bandung terihat jelas dari Lapangan Tegallega. Di utara berjajar Gunung Tangkubanparahu, Burangrang, serta Bukitunggul. Di selatan terihat jajaran pegunungan Malabar dan Patuha.

Koran Soerabaijasch handelsblad (1881) menceritakan di Lapangan Tegallega sudah dilengkapi istal kuda, trek, dan tribun. Bangunannya semi permanen dari kayu jati. Tribun dihiasi lukisan dekotarif, dan layar dipasang untuk melindungi penonton dari silaunya sinar matahari pagi, sekaligus untuk memudahkan penonton mengikuti kuda yang berpacu.

Pacuan kuda di Bandung saat kunjungan Gubernur Jenderal J.P. van Limburg Stirum sekitar tahun 1917. (Koleksi KITLV 50647, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pacuan kuda di Bandung saat kunjungan Gubernur Jenderal J.P. van Limburg Stirum sekitar tahun 1917. (Koleksi KITLV 50647, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Preanger Wedloop Society

Penyelenggara balapan kuda tahunan di Lapangan Tegallega tersebut adalah Preanger Wedloop Society (PWS). Majalah Mooi Bandoeng Volume 1 Nomor 7, Januari 1934, media cetak bulanan yang diterbitkan oleh Vereeniging “Bandoeng Vooruit” (Perkumpulan Bandung Maju), menyebutkan PWS adalah perkumpulan olahraga tertua di Hindia Belanda.

Mooi Bandoeng menyebutkan Preanger Wedloop Society berdiri tahun 1853 di Cianjur. Perkumpulan tersebut rutin menggelar balapan kuda. Biasanya diselenggarakan di tempat lapangan terbuka biasa. Penyelenggaraanya berlangsung bergantian antara di Cianjur atau Bandung.

Pada tahun-tahun pertama penyelenggaraannya, hanya kuda lokal yang mengikuti balapan tersebut. Saat itu partisipasi warga pribumi sangat besar. Tapi situasi berubah saat kuda dengan postur yang jauh lebih besar dari kuda lokal didatangkan dari Australia ke Hindia Belanda. Kuda-kuda impor tersebut segera merajai balapan, pelan-pelan kuda lokal pun berhenti mengikuti balapan.

Seiring dengan makin ramainya perhelatan tahunan balap kuda di Lapangan Tegallega, tribun penonton yang awalnya hanya dibangun dadakan menjelang perhelatan kemudian digantikan oleh bangunan permanen. Mooi Bandoeng mencatat tribun permanen dan bangunan lainnya mulai didirikan di Lapangan Tegallega sekitar tahun 1909.

Balapan di Tegallega Bandung. Foto karya K.H.Verschoor, sekitar tahun 1911. (KoleksiKITLV 155147, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Balapan di Tegallega Bandung. Foto karya K.H.Verschoor, sekitar tahun 1911. (KoleksiKITLV 155147, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Besar Bersama Bandung

Balapan kuda di Pereanger tak lepas dari pengaruh kehadiran warga Eropa. MAJ Kelling, anggota Bandoeng Vooruit dalam artikelnya berujudul Geshchieenis van Bandoeng (Sejarah Bandung), menceritakan bahwa warga Eropa baru diperbolehkan tinggal di sebagian wilayah Preanger mulai tahun 1853 (Mooi Bandoeng Volume 7 Nomor 10, October 1939).

Kelling menceritakan dengan terbitnya Staatsblad nomor 34 tahun 1853 maka warga Eropa baru mendapat izin tinggal di Preanger, itu pun terbatas hanya di Cianjur, Bandung, dan Sumedang. Sebelum terbit aturan itu, jangankan untuk tinggal, warga Eropa yang hendak melintas Groote Postweg (Jalan Raya Pos) harus mendapat izin Residen setempat.

Bandung mendapat momentumnya untuk tumbuh dan berkembang setelah pemerintah Hindia Belanda memutuskan untuk memindahkan pusat pemerintahan Residen Prenger dari Cianjur menuju Bandung pada tahun 1856. Kendati Van der Moore, Resident Preanger kala itu, baru pindah dengan stafnya menuju Bandung pada tahun 1864.

Pertumbuhan Bandung makin pesat saat jalur kereta tersambung menuju Bandung. Jalur kereta Cianjur-Bandung diresmikan tanggal 17 Mei 1884 dengan perayaan yang meriah. Sejak saat itu orang Eropa di Batavia yang hendak mengunjungi Bandung bisa dengan gampangnya menggunakan kereta. Koneksi kereta dari Bandung menuju Cilacap rampung 1894, disusul rute Padalarang-Karawang tahun 1906.

Perhelatan balapan kuda di Lapangan Tegallega pun makin sohor. Tiga hari perhelatan balapan kuda yang biasanya digelar di bulan Juli membuat Bandung seperti sedang berpesta.

Panggung pacuan kuda Tegallega di Bandung. Foto dari album yang diserahkan kepada Wali Kota Bandoeng, B. Coops, pada saat keberangkatannya ke Eropa, Agustus 1920. (Koleksi KITLV 11913, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Panggung pacuan kuda Tegallega di Bandung. Foto dari album yang diserahkan kepada Wali Kota Bandoeng, B. Coops, pada saat keberangkatannya ke Eropa, Agustus 1920. (Koleksi KITLV 11913, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Ribuan Orang yang Menonton

Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 19 Mei 1885 menceritakan gambaran lokasi balapan kuda di Lapangan Tegallega. Tribun penonton adalah bangun panggung setinggi 12 kaki, untuk memandang seluruh lapangan. Lintasan pacuan kuda mengelilingi lapangan dengan jarak 1 ½ tiang (1 tiang kira-kira setera 1,5 kilometer). 

Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 5 Agustus 188 menceritakan tentang keramaian di Bandung, bersamaan dengan penyelenggaraan balapan kuda di Tegallega. Jawatan kereta terpaksa mengoperasikan kereta tambahan untuk mengangkut kerumunan warga memasuki Bandung.

Balapan kuda hari pertama dimulai hari Minggu, pukul setegah delapan pagi. Tapi keramaian sudah dimulai sejak malam hari, saat pengundian kuda di Societeit Concordia yang biasanya baru tuntas menjelang tengah malam.  

Pagi hari sejak fajar pecah, ribuan orang berduyun-duyun menuju Lapangan Tegallega. Semua menggunakan pakaian yang meriah, suasananya mirip Lebaran. Yang berbeda, warga yang berkerumun di sekitaran lapangan membawa payung untuk melindungi dari terik matahari. Bukan hanya laki-laki yang datang, juga perempuan.

Perempuan lokal menggenakan kebaya dan sandal bersulam emas. Perempuan Eropa mengenakan gaun model terbaru, topi, serta sepatu boot bertumit tinggi. Salah satu tropi yang diperebutkan adalah Piala Putri, sebagai penghormatan pada kaum wanita

Ada banyak piala, juga hadiah uang yang diperebutkan dalam balapan kuda di Lapangan Tegallega. Ada Piala Bupati Bandung, piala yang disumbangkan tuan tanah perkebunan-perkebnan di Preanger, dan masih banyak lagi. Satu kelas khusus dipertandingkan dengan peserta warga lokal, menggunakan kuda lokal yang dipacu oleh joki tanpa menggunakan pelana.  

Kuda yang bertanding pun dibagi kelasya. Ada kuda ras yang sengaja diimpor dari berbagai negara, kuda poni, serta kuda lokal yang dibiakkan di Jawa. Kuda-kuda yang berlaga milik sejumlah bupati, tuan tanah, dan pejabat pemerintah.

Kebanyakan kuda yang bertanding adalah kuda hasil persilangan antara kuda lokal, cendana, Arab, Persia, serta Australia. Joki yang memacu kuda balap tersebut seluruhnya adalah warga lokal. Satu-satunya pengecualian terjadi pada tahun 1889 saat joki Inggris ikut serta memacu kuda yang dibawa langsung dari negaranya (Mooi Bandoeng, 1938).

Selama tiga hari balapan kuda, keramaian hanya berpusat di dua tempat. Siang hari di Lapangan Tegallega, malam hari berpindah ke kawasan Braga. Di malam hari, suasana tak kalah meriah dengan menonton pertunjukkan serta menari dengan iringan sajian musik dari gedung pertunjukan di Braga yang dihiasi bunga-bunga. Puncak pesta ada di malam hari setelah balapan kuda  berakhir di hari ketiga. Pertunjukan istimewa biasanya gelar untuk mengiringin tamu-tamu yang akan kembali ke tempatnya masing-masing esok hari.

Baca Juga: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)
NGULIK BANDUNG: Situ-Situ di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Menangkap Ikan di Situ Ciburuy

Pria Eropa bersulang di arena pacuan kuda Tegallega di Bandung. Foto diambil sekitar tahun 1911. (Koleksi KITLV 117696, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pria Eropa bersulang di arena pacuan kuda Tegallega di Bandung. Foto diambil sekitar tahun 1911. (Koleksi KITLV 117696, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Malam Hari Berpesta di Braga

Semakin Bandung berkembang, perhelatan balap kuda di Lapangan Tegallega tambah besar. Koran De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 19 Juli 1887 memberitakan, pengunjung dari luar kota yang datang khusus untuk menonton balapan kuda di Lapangan Tegallega harus memesan kamar hotel jauh-jauh hari. Jika tidak beruntung, rumah-rumah warga banyak yang sengaja membua kamar-kamarnya untuk disewa para tamu yang menginap selama acara balapan kuda digelar.

Pengunjung dari luar kota umumnya datang menumpang kereta. Menjelang perhelatan balapan kuda, gerbong kereta akan makin sesak oleh penumpang yang sengaja bertandangan ke Bandung.

Menonton balapan kuda pun terpecah dalam kelas-kelas sosial. Yang miskin harus puas menonton di bawah tenda-tenda yang bertebaran di lapangan, yang kaya tentu saja bisa mendapat keleluasaan menonton dari tribun pentonon, bangunan panggung yang tinggi.  

Jalur lintasan pacuan kuda panjangnya 1 ½ tiang, tapi untuk perlombaan hanya perlu menempuh jarak 1 tiang saja. Kuda ras dengan nama SInagar milik E.J. Kerkhovern misalnya, memenangkan salah satu nomor lomba pacuan kuda dengan waktu tempuh 1 menit 39 detik.

Piala yang diperebutkan pun makin banyak. Piala bupati misalnya, disumbangkan oleh beberapa bupati di Preanger. Belum lagi pemilik perkebunan yang menyumbangkan piala di balapan kuda itu. Piala Parakansalak misalnya, disumbangkan oleh Tuan Mundt, pemilik perkebunan teh di Preanger. Pemenang bukan hanya mendapat piala, tapi juga uang tunai ratusan gulden. Piala utama misalnya mendapat hadiah uang tunai 300 gulden.

Yang tak berubah tentu saja keramaian di malam hari, selepas menyaksikan balapan kuda di Lapangan Tegallega. Braga menjadi pusat keramaian di malam hari dengan pertunjukan dan pesta.

Pengunjung di arena pacuan kuda Tegallega di Bandung. Foto diambil sekitar tahun 1911. (Koleksi KITLV 117687, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Pengunjung di arena pacuan kuda Tegallega di Bandung. Foto diambil sekitar tahun 1911. (Koleksi KITLV 117687, sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Kebiasaan Taruhan

M Buys, dalam bukunya “In Het Hart Der Preanger” (Di Jantung Preanger) terbitan S.C.van Doesburgh, Leiden, tahun 1900, menceritakan tentang kebiasaan taruhan yang dilakukan saat balapan kuda di Lapangan Tegallega. Bersamaan dengan bola kaca berisi bulu yang pecah setelah dilempar ke udara (untuk menggantikan pelepasan burung merpati), dimulailah balapan kuda sekaligus dimulainya taruhan.  

Suara gemuruh sorak-sorai selalu mengiringi kemenangan pada setiap nomor pertandingan balapan kuda. Mereka dengan spontan melemparkan benda-benda yang dipegangnya ke udara. Topi, botol, kotak, dan banyak lagi; sambil berjingkrak-jingkrak senang.

Ekspresi gembira yang terkadang berlebihan tersebut karena taruhan dan undian yang dimenangkan, bersamaan kuda yang dijagokannya yang menjadi juara. Kadang jumlahnya tidak seberapa, walau ada juga uang yang dipertaruhkan memang besar.

Pertaruhan yang berlangsung ada yang resmi atau cukup dilakukan antarsesama penonton dengan berjabat tangan.

Peserta taruhan tersebut tidak mengenal jenis kelamin. Pria dan wanita, semua tenggelam dalam ketegangan pertandingan dan uang yang bisa setiap saat hilang atau bertambah berkali lipat.

Majalah Mooi Bandoeng juga mencatat kebiasaan taruhan tersebut. Acara balapan kuda di Lapangan Tegallega menjadi percakapan sehari-hari warga setempat selama berhari-hari sebelum perhelatannya digelar.

“Penduduk asli menjadi sangat ceria ketika kuda-kuda memenangkan kepala mereka. Ada banyak kesempatan untuk bertaruh dan bermain di tribun besar dan di panggoeng pribumi” (Mooi Bandoeng Volume 6 Nomor 10, Oktober 1938).

*Tulisan kolom Ngulik Bandung yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//