NGULIK BANDUNG: Menangkap Ikan di Situ Ciburuy
“Situ Ciburuy laukna hese dipancing”, sekarang. Dulu di sana menjadi ajang festival memancing yang digelar setahun sekali.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
29 September 2022
BandungBergerak.id - Satu bulan yang lalu, tepatnya pada 13 Agustus 2022, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil memperkenalkan wajah baru Situ Ciburuy di Padalarang, Bandung Barat. Danau tersebut kini lebih tertata, lebih rapi.
Warung-warung di pinggir danau yang dulu memberikan kesan semrawut, sekarang sudah menempati deretan bangunan dengan fasad muka berbentuk segitiga yang berdiri di sepanjang tepian danau. Ada juga jalur pedestrian di atas badan tanggul yang dibangun tinggi untuk menikmati pemandangan danau.
Proyek penataan Situ Ciburuy sekaligus revitalisasi danau yang menjadi sumber air baku serta irigasi tersebut sudah dimulai sejak 2019 lalu. Pemerintah Jawa Barat mengucurkan dana hingga 32 miliar rupiah untuk menata danau tersebut.
Pembangunannya sempat molor akibat anggaran pemerintah provinsi dialihkan dulu untuk menghadapi pandemi Covid-19. Butuh tiga tahun merampungkan penataan Situ Ciburuy. Dan kini sudah tuntas.
Situ Ciburuy memiliki luas 14 hektare dengan daya tampung air mencapai 1,2 juta meter kubik. Pemerintah Jawa Barat telah menyebarkan 77 ribu benih ikan saat meresmikan proyek revitalisasi Situ Ciburuy. Diharapkan masyarakat sekitar mudah memancing ikan di sana sekaligus menjawab salah satu lirik lagu Bubuy Bulan: “Situ Ciburuy laukna hese dipancing.”
Lagu Bubuy Bulan merupakan karya Benny Corda yang dipopulerkan oleh istrinya, penyanyi Nina Kirana. Lagu ini satu dari delapan lagu dalam piringan hitam dengan judul Bubuj Bulan oleh Orkes Sendja Meraju pimpinan Moh. Soetijoso. Piringan hitamnya dirilis Pabrik Piringan Hitam Lokananta Jawatan Radio Kementerian Penerangan Republik Indonesia (Lokananta) dengan kode ARI091 tanggal 6 Januari 1962.
Lagu berbahasa Sunda Bubuy Bulan bercerita tentang seorang gadis yang tengah jatuh cinta dan berharap bisa bertemu kekasihnya di setiap bulan. Dan lagu tersebut saking populernya akhirnya menjadi lagu rakyat yang lekat dengan Situ Ciburuy yang disebut “hese dipancing”.
Ikan dan Situ Ciburuy
Koran De Preanger-bode tanggal 17 Novmber 1909 mungkin yang pertama yang menyebutkan tentang danau Tjiboeroeij (Ciburuy) di dekat Padalarang. Koran tersebut bercerita tentang kondisi danau yang dulu dikenal indah dengan airnya yang jernih, pada saat itu tertutup tumbuhan air hampir di seluruh permukaannya. Danau ini hampir tidak terlihat.
Koran De Preanger-bode menyerukan agar danau tersebut segera dibersihkan sehingga keindahannya bisa kembali, juga mengembalikan fungsi irigasi bagi sawah penduduk. “Tanggul dan saluran batu, yang seharusnya menyediakan drainase yang baik, hanya akan berdiri, sebagai saksi pemborosan uang dan tenaga kerja yang hilang. Tidak adakah yang bisa atau lebih suka melakukan sesuatu tentang itu?” tulis De Preanger-bode.
Terlepas dari kondisinya, danau Tjiboeroej bertahun-tahun menjadi tempat rekreasi dan berpetualang. Orang Eropa biasa mengunjunginya sambil bersepeda atau berkuda (De Preanger-bode, 25 Februari 1912).
Hingga satu saat seorang Jerman, W.K.H. Groeneveld memberanikan diri menyewa danau Tjiboeroeij pada dewan desa setempat untuk mempraktikkan budi daya ikan air tawar. Koran De Preanger-bode tanggal 20 November 1921 menuliskannya dalam berita pendek.
Nama Groeneveld kemudian tenggelam. Namun bertahun-tahun kemudian muncul geliat keramaian dari Situ Tjiboeroej.
Harian Bataviaasch nieuwsblad tanggal 30 Januari 1929 menceritakan tentang keramaian di Situ Tjiboeroej yang selalu terjadi sekali dalam setahun. Masyarakat berbondong-bondong datang dari berbagai tempat menuju danau tersebut hanya untuk menangkap ikan.
Saat itu suasana danau menjadi ramai, mirip pasar. Warung, tenda, dan tempat makan tiba-tiba berdiri di mana-mana di pinggiran danau. Selalu ada gamelan dan tayuban yang ikut meramaikan suasana.
Harian Bataviaasch nieuwsblad menceritakan ada ribuan orang datang. Pria, wanita, juga anak laki-laki berbondong-bondong mendatangi danau membawa jaring besar dan kecil, berikut segala macam alat menangkap ikan.
Ada bermacam-macam ikan di danau Tjiboeroej. Ada Ikan mas, laweti, tambakan, gurame, gabus, betok, dan banyak lagi. Namun, untuk menangkap ikan di sana wajib membayar sejumlah uang. Ikan yang ditangkap pun bisa langsung dijual kepada pedagang ikan yang mendadak bermunculan di Situ Ciburuy; mereka khusus untuk membeli ikan-ikan yang diperoleh nelayan dadakan di sana.
Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? tanggal 1 Februari 1929 menceritakan keramaian di danau tersebut berawal dari ulah keluarga Eropa yang tinggal di sana. Keluarga tersebut menyewa danau untuk membibitkan berbagai jenis ikan. Setelah setahun, biasanya di penghujung tahun keluarga tersebut membebaskan warga untuk mengambil ikan-ikan yang dipeliharanya, tentu dengan membayar sejumlah uang.
Mereka yang telah membayar diperbolehkan mengambil ikan-ikan di Situ Ciburuy menggunakan alat apa saja, sebanyak-banyaknya. Banyak yang sengaja patungan menyewa rakit untuk menangkap ikan-ikan. Banyak juga yang datang hanya untuk menonton keramaian di sana.
Pembibitan Ikan
Nama Groeneveld ternyata ada di balik keramaian di Situ Tjiboeroej. Groeneveld dengan caranya berhasil membibitkan ikan air tawar yang saat itu tengah gencar-gencarnya dipromosikan oleh pemerintah Hindia Belanda sebagai lahan usaha baru yang menjanjikan.
Groeneveld sempat memenangkan hadiah kehormatan di pameran budi daya ikan di Sukabumi karena keberhasilannya mengembangbiakkan ikan mas cermin di Tjiboeroej Padalarang (Bataviaasch nieuwsblad, 05-08-1929).
Untuk peristiwa keramaian di danau Tjiboeroej, koran-koran berbahasa Belanda menyebutnya dengan banyak julukan. Koran De koerier (18-11-1929) menamainya sebagai Festival Memancing, koran Bataviaasch nieuwsblad (19-11-1929) menyebutnya sebagai Festival Nelayan.
Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 14 Oktober 1931 menceritakan dalam setahun saja usaha pembibitan ikan di danau yang dilakukan oleh Groeneveld bisa menghasilkan ikan setara 60 ribu kilogram. “Fesitval memancing” setahun sekali, biasanya diselenggarakan selama satu bulan penuh. Keriuhan menangkap ikan di danau tersebut baru berakhir saat ikan di danau tersebut benar-benar habis tandas.
Warga yang datang mendapat kesenangan menangkap ikan sekaligus mendapatkan penghasilan yang lumayan. Modal yang dikeluarkan untuk mendapat hak menangkap ikan di danau tersebut bisa kembali berlipat-lipat. Warga yang datang hanya memanfaatkan keramaian juga mendapat untung besar dengan berjualan apa saja.
“Dan penduduk yang dulunya sangat miskin di sekitar Chiburuy telah meningkat pesat dalam kekayaan dalam beberapa tahun terakhir,” tulis koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? (14 Oktober 1931).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Situ-Situ di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Penemuan Situ Lembang
NGULIK BANDUNG: Charlie Chaplin Mampir di Bandung #1
Jadi Incaran Pemerintah
Koran De locomotief tanggal 16 Juni 1930 menceritakan pundi-pundi yang dikumpulkan Groeneveld dari usahanya itu. Dengan bermodal 255 Gulden untuk membayar sewa danau selama setahun, dia bisa mengumpulkan uang dari pemancing dan keuntungan dari menjual ikan yang dibelinya dari nelayan dadakan di danau itu sampai 20 ribu Gulden.
Uang yang sangat besar. Bupati Preanger kemudian mendesak Groeneveld untuk merevisi kontrak sewa Situ Ciburuy. Namun pemerintah tidak melihat kerja keras yang dilakukan Groeneveld hingga mendapatkan kesuksesan itu.
Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 3 Juli 1930 menceritakan tentang kerja keras Groeneveld di danau Tjiboeroej. Berbekal dari pengetahuannya membiakkan ikan air tawar di negara asalnya, Groeneveld mencoba peruntungan untuk menggunakan keahliannya untuk memelihara ikan di danau Tjiboeroej.
Dewan Daerah di Padalarang saat itu juga sedang kebingungan mendapatkan uang untuk merenovasi saluran irigasi yang bersumber dari danau tersebut. Groeneveld memberikan tawaran untuk menyewa danau dengan jumlah uang yang jauh lebih besar dari dana perbaikan irigasi. Gayung bersambut.
Groeneveld yang kemudian mendapatkan hak mengelola danau Tjiboeroej kemudian membawa berbagai jenis bibit ikan untuk disebarkan di danau tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan pangan ikan peliharaannya dia melakukan berbagai macam cara yang tidak biasa. Mulai dari membujuk warga setempat untuk memarut singkong hasil panen di pinggir danau sehingga sampahnya menjadi makanan ikan-ikan di sana, hingga sengaja membeli kotoran kambing dan kuda peliharaan untuk disebarkan di dalam danau.
Untuk memanen ikan juga menggunakan cara yang sungguh tidak biasa. Groeneveld memanfaatkan kesenangan warga setempat yang sangat suka memancing. Dia memanfaatkan hobi tersebut dengan membuka danau seluas-luasnya pada warga setempat untuk memancing di danau Tjiboeroej dengan cukup membayar sejumlah uang. Mirip seperti membuka kolam pancing pada pemancing, tapi ini bukan kolam sepetak tapi danau itu sendiri kolamya.
Awalnya dia membeli sendiri hasil tangkapan pemancing. Seiring waktu, pedagang ikan ikut-ikutan datang menampung hasil para pemancing. Kedatangan para pedagang ikan turut meringankan modal yang harus dikeluarkan Groeneveld.
Di sisi lain, uang yang diperoleh Groeneveld dari warga yang membayar hak menangkap ikan besarnya saja sudah berkali-kali lipat dari modal yang dikeluarkan untuk memelihara ikan selama setahun di danau tersebut. Groeneveld pun tidak keberatan untuk membayar sewa danau lebih besar lagi.
Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? tanggal 15 Oktober 1930 menceritakan warga yang datang ikut menangkap ikan tidak hanya warga sekitar saja. Tapi ada yang sengaja datang dari Sukabumi, Cianjur, Karawang, Purwakarta, dan Garut. Banyak yang sengaja mendirikan gubuk-gubuk sederhana untuk menginap di pinggir danau selama pesta menangkap ikan digelar.
Pada koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? tanggal 3 Februari 1932, Groeneveld menceritakan pengalamannya memelihara ikan di danau Tjiboeroej. Semua berjalan tidak lancar-lancar amat.
Groeneveld menyewa danau Tjiboeroej yang memiliki luas 30 bouw (1 bouw setara1,75 hektare, sehingga luasnya sekitar 52,5 hektare) dengan harga 255 Gulden dengan kewajiban menjaga danau tersebut dari enceng gondok. Biaya yang dikeluarkan untuk memelihara danau dari tanaman gulma itu menembus 750 Gulden setahun. Dia juga harus menyewa penjaga keamanan untuk menjauhkan orang-orang dari danau itu.
Groeneveld sempat frustrasi menghadapi ikan jongjolang dan gabus yang menjadi predator alami ikan-ikan yang dibibitkan di danau Tjoboeroej. Saat awal-awal panen, ikan yang dibibitkannya dengan sengaja hanya ada 10 persen saja dari seluruh ikan yang didapat. Mayoritas malah ikan jongjolang dan gabus yang gemuk-gemuk. “Melanjutkan dengan cara ini akan sama dengan mempraktikkan pembiakan domba di wilayah yang kaya akan harimau,” kata dia (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie?, 3 Februari 1932).
Groeneveld akhirnya mendapatkan cara untuk menghabisi populasi ikan jongjolang di danau Tjiboeroej. Akhirnya panen ikan yang dibibitkannya berlipat-lipat. Produksi tahun 1922 tembus 2 ribu kilogram, bertahun-tahun kemudian melipat menajdi 80 ribu kilogram. Rahasianya dengan melepas beberapa spesies ikan sekaligus seperti ikan mas, ikan labirin, tawes, dan banyak lagi.
Bertahun-tahun festival ikan terus berlangsung di danau Tjiboeroej. Belum ditemukan catatan mengenai kelangsungan festival tahunan danau itu di zaman pendudukan Jepang. Namun, di era kemerdekaan Indonesia festival itu masih dilakukan.
Koran Algemeen Indisch dagblad : de Preangerbode tanggal 12 Juni 1957 menceritakan perhelatan pesta memancing di danau Tjiburuj. “Lebih dari 25.000 orang dari tempat-tempat yang jauh seperti Jakarta dan Tjiamis mengunjungi acara unik ini, yang diadakan hanya setahun sekali. Pada pembukaan musim penangkapan ini, 35 kg ikan dijual dengan harga Rp. 4759.50. Pesta-pesta tersebut diselenggarakan oleh Koperasi Rakyat Desa Tjiburuj,” tulis koran itu.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman