NGULIK BANDUNG: Dr Tjipto di Balik Kisah Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #12
Tjipto Mangoenkoesoemo dibuang ke Banda Neira diam-diam, di saat gerakan pemuda di Bandung sedang membutuhkan keberadaannya.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
16 Oktober 2023
BandungBergerak.id – Tajuk harian De Indische courant tanggal 22 Desember 1927 terhitung yang pertama menyiarkan berita Tjipto Mangoenkoesoemo dihukum dengan mengirimnya sebagai interniran ke Banda Neira. Tajuk yang berjudul “Tjipto’s Interneering (Tjipto diinternir)” menyebutkan, dia terbukti bersalah karena mengetahui dan ikut mendorong percobaan peledakan gudang mesiu di Bandung. Uang 10 gulden yang diberikan Tjipto kepada dua prajurit Manado yang menjadi pelaku percobaan peledakan gudang mesiu itu sebagai bukti yang terang.
Tjipto sedianya tinggal di Bandung sebagai orang buangan, menjadi alasan penguat. Keberadaan Tjipto disebut sebagai ancaman yang serius bagi ketenteraman umum. Menghukumnya kembali sebagai interniran ke tempat yang lebih jauh menjadi keputusan terakhir mengikuti undang-undang yang berlaku kala itu, yakni pasal 37 Konstitusi Hindia Belanda (Indische Staatsregeling).
Soegeng Resodihardjo dalam bukunya berjudul "Dr. Cipto Mangunkusumo" (Proyek Inventarisasi dan Dokumentasi Sejarah Nasional, 1992) menuliskan bahwa pemerintah Hindia Belanda menjatuhkan keputusan membuang Tjitpo ke Banda Neira pada 16 Desember 1927. Selang beberapa hari kemudian, Tjipto menuliskan surat bertanggal 19 Desember 1927 untuk mengabarkan hukuman yang dijatuhkan sekaligus berpamitan pada kawan-kawan seperjuangannya.
"Kepada kaum sefaham. Poetoesan telah djatoeh: akoe mendapat Banda," demikian petikan surat Tjipto tersebut (Soegeng, 1992).
Surat perpisahan yang ditulis Tjipto terhitung pendek. Namun ia menumpahkan perasaannya di sana. Ia tidak ambil pusing dengan hukuman yang dijatuhkan padanya, yang dikhawatirkannya adalah kawan-kawan seperjuangannya yang tak boleh patah. Tjipto seperti merasakan waktunya untuk berjuang memang sudah harus digantikan oleh generasi selanjutnya. Perlawanan harus diteruskan.
"Hari kemoedian dari pada Tanah kita dan Ra'jat kita adalah terletak dalam hari sekarang. Hari sekarang itoe adalah kamoe. Karenanya, ta'bolehlah kamoe meloepakan ichtiar, walau bagaimanapoen djoega ketjilnja, oentoek membikin indahnya hari kemudian itoe mendjadi seindah-indahnja," pesan Tjipto dalam suratnya (Soegeng, 1992).
Tjipto meminta kawan-kawannya memahami keputusannya untuk menjalani pergi menjemput hukumannya tersebut dengan diam-diam. Tjipto sengaja tidak ingin "membikin gadoeh".
Tampaknya Tjipto sengaja tidak ingin menarik perhatian untuk kali ini. Ia seperti tidak ingin mengganggu persiapan kongres yang tengah digalang kawan-kawan mudanya di Bandung. Pada akhir Desember 1927, Jong Indonesia sudah jauh-jauh hari berencana menggelar kongres pertama di Bandung. Dan Tjipto tidak ingin kongres tersebut terganggu gara-gara urusannya itu.
“Akoe dengan ini maoe mengoetjap selamat tinggal padamoe. Sebab tak lajaklah adanja, kalaoe akoe pergi dengan diam-diam. Kemaoeankoe, meninggalkan medanmoe dengan tjara jang sesoenji-soenjinja, hendaklah diartikan, jang akoe sendiri ta 'boleh membikin gadoeh, dan akoe meminta padamoe, djanganlah difikirkan lebih djaoeh djatoehnja dirikoe ini,” tulis Tjipto (Soegeng, 1992).
Petikan surat perpisahan Tjipto yang diterjemahkan dalam bahasa Belanda sempat diterbitkan harian De Indische courant tanggal 23 Desember 1927 dalam artikel berjudul “Het afscheid van Tjipto (Perpisahan Tjipto). “Ik roep u geen „Au revoir", maar „Adieu" toe (Aku tidak mengucapkan sampai bertemu lagi, tapi selamat berpisah)”.
Sumpah Pemuda
Situs Museum Sumpah Pemuda mencatatkan Jong Indonesia sebagai salah satu organisasi yang kemudian ikut menggagas Sumpah Pemuda, organisasi politik yang didirikan anak-anak muda Bandung pada 20 Februari 1927. Anggota Jong Indonesia adalah pelajar-pelajar Bandung yang rutin berdiskusi dengan para anggota Algemene Studie Club. Trio pendirinya yakni Sartono, Soenario, dan Boediono adalah mantan pengurus Perhimpunan Indonesia (PI) saat menempuh pendidikan ilmu hukum di Leiden, negeri Belanda. Ketiganya juga mantan pengurus Perhimpunan Indonesia yang ikut mengagas Manifesto Perhimpunan Indonesia pada tahun 1925. Pada akhir Desember 1927, organisasi tersebut menggelar kongres pertamanya di Bandung (museumsumpahpemuda.kemdikbud.go.id).
Koran De locomotief tanggal 28 Desember 1927 memberitakan jalannya kongres pertama “Jong-Indonesië”. Kongres tersebut merupakan vergadeering (rapat umum) pertamanya, berlangsung selama dua hari. Pada terbitannya tanggal 28 Desember 1927, koran De locomotief menerbitkan laporan berjudul “Jong-Indonesië” yang menceritakan tentang jalannya kongres hari pertama organisasi politik pemuda Bandung tersebut yang diselenggarakan tanggal 26 Desember 1927 di aula gedung Ons Genoegen, sekarang gedung Yayasan Pusat Kebudayaan di Jalan Naripan, Bandung.
De locomotief menceritakan, kongres berlangsung di aula besar gedung On Genoegen dengan dihadiri banyak orang. Gobée, seorang penasehat Inlandsche Zaken (Departemen Urusan Dalam Negeri) serta petugas kepolisian juga turut menghadiri kongres. Yang memimpin sesi rapat pertama adalah Soegiono, salah satu mahasiswa Technische Hogeschool.
Soegiono memberi sambutan pembukaan. Ia menjelaskan mengenai Jong Indonesia yang saat itu telah memiliki 650 orang anggota yang bertujuan untuk membuang perbedaan yang memisahkan satu suku dengan yang lainnya karena semua suku yang ada di nusantara ini bersaudara. Jong Indonesia memiliki tujuan untuk menyatukan seluruh perkumpulan yang ada yang berbasiskan suku, menggabungkan Jong Jawa, Jong Sumatera, Jong Minahasa, dan lain-lainnya.
Selanjutnya giliran Sukarno, pemimpin PNI sekaligus pendiri Algemene Studie Club yang memberikan pidato politiknya. Koran De locomotief menyebut Sukarno sebagai tokoh nasionalis sayap kiri. Kongres Jong Indonesia pertama itu memberikan panggung utamanya pada Sukarno.
Tepuk tangan meriah mengiringi Sukarno saat naik ke podium. Dalam pidatonya, Sukarno mengatakan, dirinya berbicara dalam kongres sebagai anggota Jong Indonesia.
Sukarno berbicara tentang pemuda sebagai masa depan bangsa. Jong Indonesia sebagai perkumpulan kaum muda tidak perlu terlibat dalam politik, tugas perkumpulan untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air dan bangsa bukan tugas yang mudah. Tugas Jong Indonesia adalah melahirkan pemuda Indonesia yang bersedia mengorbankan dirinya untuk negara dan rakyat, seperti Tjipto, Semaoen, dan lain-lain.
Giliran Natakoesoema dari Jong Islamieten Bond yang berpidato. Senada dengan ceramah Sukarno, Natakoesoema meminta para pemuda agar fokus berjuang mempersatukan bangsa Indonesia.
Koran De locomotief pada terbitannya tanggal 29 Desember 1927 menceritakan hari kedua jalannya kongres Jong Indonesia di Bandung. Dalam artikel yang masih berjudul sama, “Jong-Indonesië”, koran itu menceritakan tentang isu utama yang dibahas di sana. Mulai dari usulan unifikasi dengan perkumpulan pemuda lainnya, soal bahasa Melayu, serta pembicaraan alot hingga berujung pemungutan suara untuk menyepakati perubahan nama Jong Indonesia menjadi “Pemoeda Indonesia”.
Namun ada satu momen khusus dalam kongres saat Soegiono yang memimpin jalannya kongres di hari kedua menutup pertemuan. Ia menyinggung soal Tjipto yang akan menjalani hukumannya sebagai interniran ke Banda Neira.
“Het publiek werd verzocht van zijn zitplaats op te staan en een oogenblik stil te zijn, aan welk verzoek werd voldaan. Met het gezang van „Leve Pemoeda Indonesia” en „Lang leve dr. Tjipto .....”, verliet het publiek de zaal. (Peserta kongres diminta bangkit berdiri dari tempat duduknya dan diam sejenak, permintaan itu dikabulkan. Dengan yel-yel “Hidup Pemoeda Indonesia” dan “Hidup Dr. Tjipto.....”, hadirin meninggalkan ruangan.)”
Dibuang ke Banda Neira
Beberapa hari kemudian, hanya sehari sebelum tutup tahun, Tjipto dan keluarganya diberangkatkan dengan kereta dari Bandung menuju Surabaya untuk memulai perjalanannya menjadi interniran di Banda. Koran De koerier tanggal 30 Desember 1927 menceritakannya dalam artikelnya berjudul “Het Vertrek van Tjipto Mangoenkoesoemo (Keberangkatan Tjipto Mangoenkoesoemo)”.
Koran tersebut menceritakan, Tjipto yang sementara memilih tinggal di Oejdoengbroeng pada pukul empat pagi pada 30 Desember 1927 dijemput Komisaris Stein dan polisi pengawas Sleeking, keduanya dari dinas intelijen polisi setempat. “.. dat voor dezen politieken banneling de tijd van zijn verblijf op Java verstreken was (.. adalah tanda bahwa masa pengasingan politik telah tiba, masa tinggalnya di Jawa telah habis),” tulis De koerier, 30 Desember 1927.
Tjipto yang masih mengenakan pakaian dalam, membukakan pintu untuk aparat yang hendak menjemputnya. Ia belum bersiap kendati tahu hari itu ia dan keluarganya akan dijemput menuju tanah pengasingan. Semua buku, perlatan rumah, dan barang-barang sudah dikirim jauh-jauh hari oleh aparat polisi, dan hari itu ia hanya tinggal masuk gerbong kereta untuk memulai perjalanan melintasi Jawa menuju Surabaya. Tjipto bersama istri, anak angkat, dan dua ponakannya dibawa diam-diam menuju Stasiun Bandung. Kereta ekspres menuju Surabaya sudah menunggu. Tjipto dan keluarganya tadinya akan menumpang gerbong kereta kelas dua, tapi sudah terisi penuh. Polisi yang membawanya kemudian mencarikan kursi di kompartemen kelas satu yang masih tersisa.
Beberapa kawan seperjuangannya sudah menunggu di Stasiun Bandung. Termasuk Sukarno, yang disebut koran De koerier sebagai murid sekaligus penerus perjuangan Tjipto. Perpisahan yang berlangsung sederhana terasa berat bagi Tjipto. Pagi-pagi buta kereta ekspres pun perlahan melaju menuju Surabaya.
“Bandoeng en Java zijn beide oevrijd van een uiterst gevaarlijken onruststoker, die alles aan eigen handelingen te wijten heeft (Bandung dan Jawa sama-sama terbebas dari pembuat onar yang sangat berbahaya, yang harus disalahkan atas perbuatannya sendiri),” tulis De koerier, 30 Desember 1927.
Tjipto dan keluarganya tiba di Surabaya hari itu juga. Ia menginap semalam di Surabaya. Harian De Indische courant tanggal 31 Desember 1927 menceritakannya. Kedatangan Tjipto dari kereta disambut sejumlah kerabat dan kenalan yang langsung membawa rombongan itu ke Hotel Victoria. Pagi harinya, menjelang pukul sembilan. Tjipto dan keluarganya diantar ke pelabuhan Tandjong-Perak. Di sana sudah berlabuh kapal Van den Bosch yang akan membawanya menyeberangi lautan menuju Banda Neira. Koran tersebut mencatat, Dr. Soetomo yang belum lama diangkat menjadi Ketua Permufakatan Perkumpulan-perkumpulan Politik Kebangsaan Indonesia (PPKI) terlihat mengantar Tjipto dan keluarganya. Suasananya lenggang, tak ada kerumunan orang yang mengantar Tjipto, bahkan petugas polisi juga hampir tidak terlihat.
Tjipto sempat berbincang dengan kawan, kenalan, dan kerabatnya sambil menunggu kapal mengangkat sauh. Harian De Indische courant merekam suasana perpisahan yang hangat di sana. Koran itu menuliskan percakapan dengan Tjipto di pelabuhan itu.
“Wrok tegen de regeering zei hij niet te koesteren; zij moest doen wat zij deed. ‘Ik machtig u hierbij’, zoo zei hij ons ‘om namens mij te verklaren, dat het gouvernement zich jegens mij gentlemanlike gedragen heeft. Ik hoop, dat het beteekenis zal hebben, dat ik dit hierbij verklaar’. (Dia mengatakan dia tidak punya dendam terhadap pemerintah; dia harus melakukan apa yang dia lakukan. ‘Dengan ini saya memberi wewenang kepada Anda,’ katanya kepada kami, ‘untuk menyatakan atas nama saya bahwa pemerintah telah bersikap sopan terhadap saya. Saya harap akan menjadi penting jika saya menyatakan hal ini.’)”, tulis De Indische courant , 31 Desember 1927.
Pagi itu Tjipto dan keluarganya meninggalkan Surabaya. Ia menuju Banda sebagai orang buangan.
Epilog
Dibuangnya Tjitpo tidak lantas membuat semangat pergerakan runtuh. Di Bandung setidaknya, gelora itu justru makin mengeras. Sukarno, yang disebut-sebut sebagai murid sekaligus penerus Tjipto berkiprah makin kencang.
Sukarno, dalam biografinya yang ditulis oleh Cindy Adams (Bung Karno: penyambung lidah rakyat Indonesia/Cindy Adams, alih bahasa, Syamsu Hadi, 2018) menyebut tahun 1928 sebagai tahun propaganda dan pidato. Sukarno membagi Bandung dalam beberapa daerah politik mengikuti arah penjuru mata angin. Ia berpidato di setiap daerah yang dibagi-baginya itu sekali dalam seminggu. Ia berpidato dari satu tempat pertemuan ke tempat pertemuan yang lain. Suaranya lantang, memekik. Safari pidatonya yang menyemangati massa itu yang membuat Sukarno mendapat julukan Singa Podium.
Sukarno menuliskan kata perpisahan dengan Tjipto, dalam satu tulisan di Suluh Indonesia Merdeka tahun 1928 dengan judul "Sampai Ketemu Lagi!" (Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1). Ia membuka tulisannya dengan sajak dalam bahasa Belanda tentang fajar yang menyingsing dan kokok ayam yang menjadi penanda hari baru telah tiba. Kepergian Tjipto menuju pembuangan dilepas dengan kepala tegak, seakan untuk meyakinkannya bahwa perjuangan tidak akan berhenti.
"Dan kita, kawan-kawannya yang ia tinggalkan, kita kaum nasionalis Indonesia, kaum nasionalis Sumatera, kaum nasionalis Sunda, kaum nasionalis Jawa, kaum nasionalis lain-lain, - kita mengucap selamat jalan padanya, dengan kepala yang tegak dan hati yang besar juga. Sebab fajar sudah mulai menyingsing; ayam jantan karenanya sudah mulai berkokok. Tjipto dibuang, atau Tjipto tidak dibuang, … pergerakan maju, ke arah yang ditujunya, matahari tak urung akan terbit."
Sukarno menutup tulisannya dengan menjawab salam perpisahan Tjipto.
"Dengan kepercayaan yang sepenuh-penuhnya akan jayanya hari - kemudian; dengan yakin, bahwa satu kali saatnya pasti datang, yang matahari itu terbit, maka kita, kawan-kawannya sefaham, menyambut salamnya Tjipto Mangunkusumo itu dengan kata-kata: bukan ‘selamat berpisah’, tetapi ‘sampai ketemu lagi’!"
Sementara itu di negeri Belanda, Mohammad Hatta sedang menjalani tahanan pemerintah sejak 23 September 1927. Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi (2021) menceritakan kisah penahanannya kala itu. Di negeri Belanda, ia ditahan di penjara di Casiusstraat bersama Nazir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojodiningrat. Seharusnya ada 7 yang akan ditangkap, tapi Ahmad Soebardjo, Gatot Tanumihardjo, dan Arnold Mononutu sedang berada dil luar Belanda saat itu.
Seorang advokat dan anggota Tweede Kamer, Mr. Duys mendatanginya di penjara dan menawarkan diri menjadi pembelanya di pengadilan. Hatta setuju. Dari Duys ia mengetahui bahwa penahanannya dilakukan dengan tuduhan. Yakni menjadi anggota perhimpunan terlarang, terlibat pemberontakan, dan menghasut untuk menentang Kerajaan Belanda. Tiap siang ia menjalani pemeriksaan pendahuluan oleh rechter commisaris. Salah satu yang ditanyakan padanya adalah dokumen Konvensi yang ditandatanganinya bersama Semaun.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Dr Tjipto di Balik Kisah Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #9
NGULIK BANDUNG: Dr Tjipto di Balik Kisah Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #10
NGULIK BANDUNG: Dr Tjipto di Balik Kisah Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #11
Belakangan Hatta mengetahui bahwa isi Kovensi yang hanya dirinya dan Semaun yang mengetahui telah bocor. Gara-gara dokumen Konvensi tersebut, Semaun dimarahi habis-habisan oleh Stalin di Moskwa bahkan dipecat dari Partai Komunis dan Komunis Internasional. Semaun diperintahkan membatalkan Konvensi tersebut.
Stalin beralasan, Konvensi tersebut telah menempatkan pergerakan komunis di bawah pergerakan nasionalis. Semaun kemudian dibuang ke Semenanjung Krim.
Hatta menjadikan dokumen Konvensi tersebut sebagai bukti bahwa Perhimpunan Indonesia tidak dipengaruhi oleh gerakan komunis. Lima bulan berada di penjara, Hatta sekaligus menyusun pembelaannya yang kemudian akan dibacakan di depan pengadilan Belanda. Pidato pembelaannya yang terkenal berjudul Indonesia Vrij atau Indonesia Merdeka hanya dibacakan versi ringkasnya saja di persidangan.
Hatta dan sekondannya di Perhimpunan Indonesia dibawa ke pengadilan Belanda pada 8 Maret 1928. Dari tiga tuduhan, hanya satu yang dibawa ke pengadilan yakni tuduhan menghasut dengan bukti-bukti yang di ajukan berupa sejumlah tulisan mereka yang diterbitkan di Indonesia Merdeka. Hatta dan kawan-kawannya ditemani tiga pengacara yakni Mr. Duys, Mr. Mobach, dan Nona Weber. Hatta sejak dari penjara sudah menulis pidato pembelaannya yang diberi judul “Indonesia Vrij (Indonesia Merdeka)” yang jika dibacakan bisa menghabiskan waktu tiga jam setengah. Hakim pada sidang meminta Hatta menyerahkan salinan pidato pembelaannya dan Hatta kemudian hanya membacakan bagian penutup pidato pembelaannya itu. Pada 22 Maret 1928, mahkamah hakim membacakan putusannya dengan membebaskan Hatta dan kawan-kawannya dari segala tuduhan.
Selepas menuntaskan masa belajarnya di negeri Belanda, Hatta kembali ke Indonesia. Ia meneruskan perjuangannya dalam pergerakan yang membawanya berselisih dengan pemerintah Hindia Belanda. Berkali-kali Hatta merasakan penjara dan pembuangan. Hingga di tahun 1935 selepas dipindahkan dari tanah pembuangan Digul, Hatta dikirimkan ke Banda Neira. Di sana ia akhirnya bertemu dengan Tjipto Mangoengkoesoema dan menjalin persahabatan dengan keluarganya.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Tjipto Mangoenkoesoemo