NGULIK BANDUNG: Dr Tjipto di Balik Kisah Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #8
Tjipto Mangunkusumo turut mempengaruhi pemikiran Sukarno. Mereka sama-sama bergerak di Bandung untuk melawan kolonial Belanda.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
23 Agustus 2023
BandungBergerak.id – Sukarno dalam bukunya Di Bawah Bendera Revolusi Jilid 1 secara khusus menyebutkan tiga nama yang merepresentasikan tiga ideologi yang menjadi perhatiannya kala itu, yaitu Oemar Said Tjokroaminoto, Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Semaun. Buku ini merupakan kumpulan tulisan Sukarno yang terdiri dari beberapa bagian. Bagian pertama berjudul Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme yang sebelumnya terbit di Suluh Indonesia Muda tahun 1926.
Namun Sukarno dalam biografi yang ditulis oleh Cindy Adams berjudul Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (Syamsu Hadi, 2019) tidak pernah menyebutkan nama Tjipto Mangoenkoesoemo. Akan tetapi sejumlah literatur lain menyebutkan kedekatan Sukarno dengan Tjipto terutama pada rentang tahun 1926-1927 di Bandung. Di pemberitaan koran-koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda pada rentang waktu tersebut misalnya mencatat kebersamaan Tjipto dan Sukarno.
Harian De Indische courant (26/01/1927) dalam artikelnya berjudul Ten Afscheid, Onze communistische leiders (Selamat Tinggal, Pemimpin Komunis Kita) menyebutkan Tjipto dan Sukarno hadir bersama dengan sejumlah tokoh intelektual bumiputra di lapangan Tjigereleng mengantar 10 pimpinan kelompok komunis dengan 14 kerabatnya yang akan dikirimkan dengan mobil dari Tjimahi menuju Batavia untuk selanjutnya menjalani hukuman pengasingan di Boven Digul. Pekan itu 200 orang yang dituduh sebagai orang komunis akan dikirimkan menggunakan kapal menuju Ambon sebelum melanjutkan perjalanan menuju Papua.
Pamflet Tjipto yakni “Het communisme in Indonesië (Komunisme di Indonesia)” diterbitkan (Suluh) Indonesia Moeda di Bandung, media propaganda kelompok Algemenee Studieclub – kelompok studi mahasiswa Bandung yang didirikan oleh Sukarno. Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? (1/2/1927) dalam artikelnya berjudul “Het communisme in Indonesië - Een fraaie brochure ven Tjip (Komunisme di Indonesia - Brosur yang bagus dari Tjip)” mengulas pamflet tersebut.
Tjipto lewat pamflet yang dicetak 500 eksemplar (sempat disita oleh polisi) mengkritik perlakuan pemerintah Hindia Belanda pada kelompok komunis. Di pamflet tersebut Tjipto menyatakan simpatinya. Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? (1/2/1927) menukilnya.
“Nationalist en communist zijn revolutiounair georiënteerd. En het is op dit platform, dat nationalist en communist elkander vinden. Men kan wellicht verschillen in de keuze van middelen, om de souvereiniteit van het volk te veroveren, maar daarom verkettert men elkander nog niet, kan men sympathiek staan tegenover elkaar (Nasionalis dan komunis memiliki orientasi revolusioner. Dan di platform inilah nasionalis dan komunis saling bertemu. Seseorang boleh saja berbeda dalam memilih cara untuk menaklukkan kedaulatan rakyat, tetapi bukan berarti saling mencela, bisa saling bersimpati)”.
Tak hanya itu, hampir setiap kegiatan aktivitas pergerakan di Bandung menyebutkan kehadiran Tjipto dan Sukarno. Tjipto misalnya, hampir terlihat selalu hadir dalam aksi politik Algemeene Studieclub.
Soegeng Reksodihardjo dalam biografi Tjipto pada buku Dr. Cipto Mangukusumo (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1992) menyebutkan, Bandung yang mempertemukan Tjipto dan Sukarno. Rumah Tjipto di Bandung tidak pernah sepi. Orang-orang dari beragam latar belakang datang, baik untuk berobat ataupun berdiskusi untuk menambah pengetahuan dalam lapangan politik. Rumahnya seolah-olah sebuah markas besar tempat segala macam orang dari bermacam golongan berdatangan (Reksodihardjo, 1992).
Soegeng menerangkan di buku tersebut saat Sukarno mengubah Algemeene Studieclub pada tahun 1927 menjadi Partai Nasional Indonesia (PNI), Tjipto disebut sebagai salah satu pemimpinnya. Tjipto berusaha memasukkan ide kebangsaan dalam PNI, seperti meminta agar partai tersebut bisa terbuka menerima kelompok Indo-Eropa, tidak melulu bumiputra. Ide yang ditolak Sukarno yang menggariskan sikap politik nonkooperasi pada PNI.
Sukarno juga yang menemani Tjipto saat berbicara pada media untuk membela diri atas tuduhan keterlibatannya pada percobaan peledakan gudang mesiu di Bandung (De koerier, 2 September 1927). Tjipto juga intens mengikuti sejumlah pertemuan politik yang diselenggarakan Perserikatan Nasional Indonesia (nama lain yang disematkan sejumlah koran berbahasa Belanda pada Partai Nasiona Indonesia/PNI).
Di tengah sorotan miring pada dirinya, Tjipto misalnya sengaja menarik perhatian aparat dan intel polisi pada pertemuan politik PNI di Minggu (25/9/1927) pagi di Bandung, di gedung Ons Genoegen, sekarang gedung Yayasan Pusat Kebudayaan (Galeri Pusta Kebudayaan, Jalan Naripan). Di tengah pertemuan tersebut, Tjipto sengaja duduk di tempat yang mencolok seperti memasang badan agar perhatian aparat dan intel polisi tertuju pada dirinya, bukan pada kawan-kawan mudanya di sana (Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? ,September 1927).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah di Balik Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #5
NGULIK BANDUNG: Kisah di Balik Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #6
NGULIK BANDUNG: Kisah di Balik Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #7
Nasionalisme Sukarno
Pada Cindy Adams (Hadi, 2019), Sukarno menceritakan bahwa Algemeene Studieclub didirikannya bersama lima kawannya pada tahun 1926. Di tahun itu Sukarno pun mulai membicarakan secara luas ide-idenya tentang nasionalisme Indonesia. Di tahun itu pula, pada Mei 1926, Sukarno lulus dan meraih belar "Ingenieur" dalam jurusan teknik sipil dengan spesialisasi pekerjaan jalan raya dan pengairan.
Setelah lulus, Sukarno sempat mengajar sejarah dan ilmu pasti di sekolah milik Dr. Setiabudi walau hanya sebulan saja. Ia dipecat oleh penilik sekolah dari Departemen Pengajaran Hindia Belanda gara-gara melihat langsung Sukarno yang saking semangatnya mengajar sejarah tentang imperialisme lalu menyebut negeri Belanda sebagai "kolonialis terkutuk". Berhenti mengajar, Sukarno lalu membuka biro teknik bersama teman sekampusnya Ir. Anwari. Biro ini kemudian tutup akibat kesibukan Sukarno berpolitik.
Pada Cindy Adams (Hadi, 2019) Sukarno menyebut tahun 1927 adalah waktu yang paling tepat untuk mendirikan partai politik. Eropa kala itu digulung perubahan akibat revolusi Bolsjevik yang meruntuhkan Tsar Rusia yang melahirkan Uni Sovyet.
Negeri Belanda juga sedang dipaksa mengambil sikap yang lunak dengan tumbuhnya nasionalis di kalangan bumiputra, yang pelan-pelan diyakininya akan menggerogoti kekuasaan Belanda di Hindia Belanda. Namun perubahan garis politik yang berlangsung dengan pergantian Gubernur Jenderal Van Listrum, menuju Dirk Fock , dan dilanjutkan oleh De Graeff malah semakin kejam dan menjadi peringatan bahwa sikap pemerintah Belanda bisa berubah dengan cepat.
Angin perubahan yang dihembuskan lewat janji otonomi penuh Hindia Belanda di zaman Gubernur Jenderal Van Listrum bisa tiba-tiba berbalik begitu saja dan seakan terlupakan. Sukarno menyaksikan langsung nasib yang mengombang-ambingkan pergerakan Sarekat Islam yang dipimpin mertuanya, Tjokroamintoto.
Sukarno melihat sendiri Sarekat Islam yang berdiri kokoh kemudian pecah jadi dua. Pecahan yang satunya, yakni Sarekat Rak’jat (Sarekat Rakyat) kemudian melibatkan diri dalam gerakan sporadis pemberontakan komunisme di Hindia Belanda pada November 1926. Pemberontakan yang berujung penangkapan besar-besaran dan pembuangan sebagian besar dari tokoh-tokoh tersebut ke Boven Digul.
Takashi Shiraishi dalam buku Zaman Bergerak Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926 (Hilmar Farid, 1997) menceritakan Marco Kartodikromo salah satu pemimpin Sarekat Ra'jat dan PKI yang menonjol kala itu menjadi salah satu yang dibuang pemerintah Hindia Belanda ke Boven Digul.
Ada satu masa saat Tjipto, Marco, dan Hadji Mohammad Misbach saling bahu-membahu membela petani di Surakarta. Dengan kelompok dan caranya masing-masing mereka menggalang aksi protes dan boikot atas aturan pajak setoran untuk pabrik gula.
Tjipto dan Hadji Misbach yang pertama kali disingkirkan pemerintah Hindia Belanda dari Surakarta. Marco yang tersisa meneruskan aksi mendampingi buruh dan petani. Marco meneruskan aksi protes dan boikot di Surakarta dengan aksi-aksi yang makin lama makin keras dan frontal.
Marco yang sudah berkali-kali ditahan pemerintah Hindia Belanda karena artikelnya yang keras dan tajam, kembali ditangkap polisi Hindia Belanda pada 6 September 1926 bersama pemimpin PKI di Surakarta. Marco dihukum dengan dibuang ke Boven Digul. Pemerintah Hindia Belanda tidak pernah melepaskannya, hingga Marco meninggal di Digul tahun 1932 karena malaria.
PNI Bukan Komunis
Koran Bataviaasch nieuwsblad 5 Agustus 1927 sempat memberitakan pergulatan pemikiran di balik lahirnya PNI. Dalam artikel koran tersebut berjudul “Nieuwe Orientatie (Orientasi Baru)” diceritakan Perserikatan Nasional Indonesia tengah mengajukan pendaftaran anggaran dasar pada pemerintah Hindia Blanda sehingga organisasi tersebut menjadi organisasi resmi yang diakui. Sukarno menggariskan PNI dalam gerakan politik nonkooperasi. Organisasi tersebut sengaja hanya membuka diri bagi orang bumiputra di Hindia Belanda, sementara selainnya adalah anggota luar. Koran tersebut sempat mencurigai adanya tangan-tangan Moskow (negara prokomunis) di balik pendirian PNI yang disebutnya berhaluan ultranasionalis yang bertujuan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Sukarno, anak muda yang terpaut umurnya dua puluh tahunan dengan Tjipto yang kala itu berusia 40 tahun. Tjipto yang dituakan di kelompok Algemeene Studieclub sempat membujuk Sukarno agar janganlah dulu memilih jalan politik yang radikal, yang menentang frontal pemerintah Hindia Belanda dalam sikap politiknya. Tjipto menyarankan sebagai taktik semata. Tapi Sukarno berkeras menolak ide tersebut.
Soal peringatan Tjipto tersebut, sempat disampaikan Sukarno dalam Pledoi Indonesia Menggugat saat ia ditahan bersama para pentolan Partai Nasional Indonesia di depan pengadilan Landraad di Bandung pada tahun 1930.
“PNI memang didirikan di dalam tahun 1927, memang anti-imperialisme, memang suatu partai massa, memang suatu partai yang kromoistis dan marhaenistis, memang dikhawatirkan oleh dr. Cipito akan lekas dituduh dan ditindas sebagai gantinya PKI, tetapi bukan “Gombinis”, PNI bukan “heimelijke opvolgster” dari Partai Komunis Indonesia!“ (Indonesia Menggugat, Departemen Penerangan RI, Hal. 129). (Bersambung)
*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Tjipto Mangoenkoesoemo