NGULIK BANDUNG: Dr Tjipto di Balik Kisah Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #6
Tjipto Mangoenkoesoemo dituding sebagai otak gerakan radikal di Bandung. Media asing berharap ia dibuang ke Boven Digul. Dibela Partai Buruh Belanda.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
28 Juli 2023
BandungBergerak.id – Artikel De koerier tanggal 20 Agustus 1927 yang memelintir bantahan Tjipto Mangoenkoesoemo, sekaligus menempatkannya sebagai otak intelektual di balik percobaan peledakan gudang mesiu di Bandung. Protes yang dilayangkan Tijpto pada artikel tersebut tidak membantunya sama sekali. Koran De koerier memang mencabut artikel itu, namun posisi Tjipto sudah semakin terhimpit.
Media berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda langsung menghakiminya. Koran De Sumatra post 23 Agustus 1927, misalnya, yang pertama menerbitkan artikel pendek dengan judul provokatif “Dr. Tjipto, Naar Digoel? (Dr. Tjipto, ke Digoel?)”. Isinya menggiring opini agar pemerintah Hindia Belanda menghukum Tjipto sebagai interniran ke Boven Digoel. Berita-berita dengan isi dan nada desakan yang sama pun bermunculan.
De Sumatra post menggiring opininya dengan dalih “detail yang tidak pantas untuk diterbitkan” diklaimnya sudah lebih dari cukup untuk menjadi alasan bagi pemerintah Hindia Belanda menghukum Tjipto dengan membuangnya ke Boven Digoel. Sesungguhnya tidak ada hal baru yang terungkap dalam pemberitaan selanjutnya mengenai spekulasi seputar percobaan peledakan gudang mesiu di Bandung.
Berita De koerier (20/8/1927) seperti mesiu bagi mereka yang memang gerah dengan sosok Tjipto, bumiputra terpelajar yang menyerap semua yang terbaik dari Belanda tapi berbalik melawan dengan pikiran-pikiran dan argumen yang terang. Sosok Tjipto di benak orang-orang Belanda adalah figur yang punya tempat khusus karena perilaku dan nilai moralnya yang nyaris tanpa cacat, ia melawan dengan cara-cara yang mulia.
Berita De koerier yang memelintir pernyataan Tjipto memang mengejutkan. Tak pernah terbayang di benak orang-orang Belanda, sosok seperti Tjipto akan mengorganisir perlawanan dengan mengangkat senjata. Tak pernah terpikirkan sosok seperti Tjipto akan memanipulasi tentara-tentara Manado yang setia untuk berbalik melawan Belanda dengan mengorganisir aksi teror. Tjipto yang dikenal dengan moralitasnya yang terpuji, “nyatanya” tak ada bedanya dengan kelompok komunis yang mengobarkan perlawanan dengan cara-cara yang kotor. Dengan menyabot kereta yang mengangkut perempuan dan anak-anak di Sawahlunto, atau menebar teror dengan membakar rumah dan serangan bersenjata di banyak tempat di Jawa. Hukuman yang paling pantas untuk Tjipto yang bermoral palsu adalah Digoel.
Dan Digoel saat itu adalah kengerian yang khusus diciptakan Belanda untuk menekan perlawanan yang tumbuh sejak dalam pikiran. Pengasingan di tanah antah berantah yang dijauhkan dari peradaban menjadi penderitaan yang jauh lebih berat dari hukuman mati dengan cara digantung atau ditembak mati.
Takashi Shiraishi dalam bukunya “Zaman Bergerak (Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-1926)” (1997) menyebutkan Boven Digul di Irian Barat menjadi tanah pengasingan yang dengan kengeriannya berhasil menekan bibit-bibit perlawanan pada Belanda. Tempat pengasingan yang dibangun di pinggir Sungai Digul di Irian Barat tersebut memang khusus dibangun untuk menahan pentolan-pentolan kelompok komunis yang divonis bersalah terlibat pemberontakan komunis 1926-1927. Sedikitnya 1.300 orang komunis diasingkan di sana.
“Boven Digul yang nun jauh di lrian Barat telah menghantui setiap orang yang punya harapan akan datangnya pembebasan. Akibat dari semua itu, gerakan rakyat baru tumbuh lagi di Indonesia sesudah Perang Dunia II (Shiraishi,1997:469)”.
Tjipto Mangoenkoesoemo sesungguhnya tidak sendirian tanpa pembelaan. Selain Sukarno yang sering menemaninya, termasuk saat menemani Tjipto melayani pertanyaan wartawan De koerier, ada juga Daniel Marcellus George Koch yang menulis opini terbuka di media untuk membela Tjipto. DMG Koch seorang jurnalis mantan pemimpin redaksi Indische Courant, seteru Snevleet , aktivis sosial demokrat Belanda, anggota ISDP (Partai Sosialis Demokrat Hindia), juga teman diskusi Tjipto di Algemenee Studieklub Bandung (KOCH, Daniel Marcellus George; socialhistory.org).
Pembelaan Koch tersebut dibalas sindiran dalam opini redaksi De koerier terbitan 24 Agustus 1927 berjudul En Die Het Wet (Satu yang Tahu). De koerier menyoroti kecaman Koch pada pemberitaan media yang berspekulasi bahwa penahan Tjipto tinggal menunggu hari. Koch meyakini Tjipto tidak tersangkut sama sekali dengan rencana peledakan gudang mesiu di Bandung. De koerier menyindir Koch seperit menolak bangun dari mimpi.
“En nu D.M.G. zijn politiek zomerslaapje toch onderbroken schijnt te hebben, zoudeft we hem de lezing van het laatste. Zaterdagnummer van de Koerier van harte willen aanbevelen. (Dan sekarang D.M.G. tampaknya telah menghentikan tidur siang musim panas politiknya, kami ingin memberinya bacaan yang terakhir. Ingin merekomendasikan edisi Sabtu dari Courier dengan sepenuh hati.)” (De koerir, 24-8-1927).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah di Balik Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #3
NGULIK BANDUNG: Kisah di Balik Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #4
NGULIK BANDUNG: Kisah di Balik Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #5
Geger di Belanda
Di belahan dunia yang lain, di negeri Belanda. Berita mengenai rencana pemberontakan kelompok komunis dengan percobaan peledakan gudang mesiu di Bandung tiba-tiba menjadi perhatian koran-koran Belanda. Bukan karena keterlibatan prajurit Manado yang terkenal setia yang terlibat dalam aksi tersebut, namun karena ada nama Tjipto Mangoenkoesoemo yang dituduh terlibat di sana.
Koran Belanda Het huisgezin salah satu yang menyoroti peristiwa tersebut. Dalam artikel berjudul “De Communistitsche Actie in Indie (Aksi Komunis di Hindia)” yang terbit tanggal 29 Agustus 1927, koran ini menurunkan berita tentang rencana peledakan gudang mesiu di Bandung pada Juli 1927. Selain mengulas tentang peristiwanya, Tjipto menjadi sorotan: “Tjipto wordt geïnterneerd (Tjipto yang akan diinternirkan lagi)”. Het huisgezin mengutip kawat kantor berita Aneta bahwa pemerintah Hindia Belanda tengah menimbang untuk menghukum Tjipto dengan diasingkan lagi, tapi bukan ke Boven Digul.
Selanjutnya Nieuwe Rotterdamsche Courant pada 29 Agustus 1927 menerbitkan artikel berisi senada berjudul “Tjipto's derde verbanning (Pengasingan ketiga Tjipto)”. Koran ini mendapat informasi dari Batavia bahwa Tjipto akan diasingkan lagi. Jika benar, ini akan menjadi kali ketiga Tjipto diinternirkan.
Harian Nieuwe Rotterdamsche Courant menyebut Tjipto dalam berbagai sebutan. “Javaanschen nationalist (Nasionalis Jawa)”; “Een merkwaardig man (pria yang luar biasa)”; “Een moedig, een intelligent en beschaafd strijder (pejuang yang berani, cerdas dan berbudaya)”; sekaligus “Een geboren opstandige (Seorang yang lahir sebagai pemberontak)”.
Koran tersebut menukil sekelumit kisah hidup Tjipto selama tokoh yang telah 20 tahun mengukir namanya dalam pergerakan bumiputra di Hindia Belanda. Tjipto seorang dokter Jawa lulusan STOVIA. Saat menjadi mahasiswa di STOVIA pada tahun 1908 ia ikut mendirikan Boedi Oetomo, organisasi nasionalis pertama di Hindia Belanda. Sebagai dokter ia mendapat penghargaan Oranje-Nassau karena kegigihannya merawat korban wabah pes. Tjipto juga sempat menjadi jurnalis di koran Expres yang terbit di Bandung. Nieuwe Rotterdamsche Courant memuji Tjipto yang bisa menulis menggunakan bahasa Belanda dengan sangat baik.
Tjipto bersama-sama dengan Douwes Dekker dan Soewardi Soeryaningrat juga dikenal luas sebagai tiga serangkai Indische Partij. Ia dijatuhi hukuman pengasingan pertama bersama dua sekondannya tersebut gara-gara penerbitan artikel-artikel provokatif yang mengritik pendudukan Belanda di Hindia Belanda. Artikel yang diterbitkan dalam bentuk brosur dengan judul Als ik eens Nederlander was (Seandainya Saya Orang Belanda) pada tahun 1913 yang menjadi pemicunya. Namun pemerintah Belanda menunda penjatuhan hukuman pengasingan tersebut selama mereka masih tetap berada di luar Hindia Belanda. Ketiganya kemudian lama menetap di Belanda menjalani hukuman pengasingannya.
Ketiganya kemudian bisa kembali ke Hindia Belanda setelah Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum mencabut hukuman mereka. Di Hindia Belanda, Tjipto melibatkan diri dalam pekerjaan jurnalistik di harian De Indischer yang terbit di Semarang – koran yang menjadi organ Insulinde (kemudian berubah menjadi Nationaal Indische Partij setelah Douwes Dekker kembali). Tahun 1918 ia diangkat oleh Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum menjadi salah satu wakil bumiputra pertama yang menjadi anggota Volksraad saat didirikan pertama kali tahun 1918. Menjadi anggota Volksraad, Tjipto makin bebas mengekspresikan isi pikiran dan sikapnya.
Nieuwe Rotterdamsche Courant menyimpulkan aktivitas Tjipto yang terseret agitasi Douwes Dekker yang mengorganisasikan perlawanan petani di Solo menjadi pemicu pemerintah Hindia Belanda kembali menjatuhkan hukuman. Pemerintah Hindia Belanda menilai perlawanan petani mulai mengambil bentuk revolusioner serius, dan Tjipto sebagai otak penggeraknya mesti dihukum. Tjipto dijatuhi hukuman pengasingan yang kedua dengan melarangnya tinggal daerah-daerah yang masyarakatnya berbahasa Jawa. Tahun 1911, ia dibuang ke Bandung.
“En nu heeft dan de Indische regeering aanleiding gevonden ten derden male tegen Tjipto op te treden (Dan kini pemerintah India telah menemukan alasan untuk menindak Tjipto untuk ketiga kalinya” (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 29/8/1927).
Koran Belanda yang terbit di Rotterdam tersebut mendapat kabar terbaru. Tjipto akan mendapat hukuman di internirkan lagi. Belum diputuskan tempatnya, tapi bukan Boven Digoel.
De tribune, majalah mingguan yang menjadi organ Partai Buruh Belanda (Sociaal-Democratische Arbeiderspartij/SDAP) malah menerbitkan artikel yang terang-terangan membela Tjipto dalam artikelnya berjudul “Dr. Tjipto” pada 2 September 1927. Dalam artikel itu, koran tersebut menuduh hukuman pengasingan hanya alasan yang dicari-cari saja bagi Gubernur Jenderal Andries Cornelis Dirk de Graeff sebagai wajah kerajaan Belanda di Hindia Belanda. Tujuan akhirnya sama saja: menekan kebangkitan nasionalisme di kalangan bumiputra. Tjipto adalah contoh yang paling tepat untuk menakut-nakuti bumiputra karena ia adalah simbol kebangkitan nasionalisme di Hindia Belanda.
“Dr. Tjipto's politieke loopbaan is de weerspiegeling van de ontwikkelingsgang der nationalistische beweging in Indonesië (Karier politik Dr Tjipto merupakan cerminan perkembangan gerakan nasionalis di Indonesia)
Het streven van de regeering is er steeds op gericht, de nationalistische beweging in Indonesië te corrumpeeren. Wee den intellectueelen, die daarvoor niet vatbaar zijn, wier hart met iederen vezel hangt aan de massa! (Tujuan pemerintah selalu untuk merusak gerakan nasionalis di Indonesia. Celakalah para intelektual, yang tidak rentan terhadap ini, yang hatinya melekat pada massa dengan setiap serat keberadaannya!)
In Tjipto is de bevinding van het gave deel de Indonesische intellectueelen gesymboliseerd. Geen wonder, dat de overheerschers deze nationalisten evenzeer vreezen, als dat ze de communisten vreezen (Tjipto merupakan lambang kebangkitan intelektual Indonesia. Tidak heran para penguasa takut pada kaum nasionalis ini sama seperti mereka takut pada komunis)” (De tribune, 2 September 1927).
Partai Buruh Belanda kala itu marah besar dengan de Graff yang menghukum kelompok komunis di Hindia Belanda dengan kejam. Suara Partai Buruh ini terbaca gamblang dalam pemberitaan-pemberitaan De tribune sebagai corong partai tersebut. Hukuman yang akan dijatuhkan pada Tjipto menjadi kesempatan bagi Partai Buruh untuk mengkritik kebijakan de Graff di Hindia Belanda.
De tribune sengaja menerbitkan artikel berjudul De doodvonnissen in Indonesië (Hukuman mati di Indonesia) berdampingan dengan artikel “Dr. Tjipto”. De doodvonnissen in Indonesië, berisi kecaman pada vonis mati pengadilan Hindia Belanda (yang direstui oleh De Graff) pada tiga orang komunis yang dijatuhkan pengadilan Landraad di Tjiamis atas tuduhan keterlibatannya dengan aksi pemberontakan komunis pada Desember 1926. De Tribune menilai “sifat jahat” yang muncul pada tindakan kalangan bumiputra dalam pemberontakan komunis 1926-1927 hanyalah akibat dari keputusasaan dan kesengsaraan.
Pembelaan De tribune memang politis. Ibarat sekali merengkuh dayung, Partai Buruh Belanda yang berhaluan komunis ingin menarik dukungan kaum nasionalis di Hindia Belanda yang mendapat simpati pendukung kelompok etis yang mengusai parlemen Belanda.
Sementara itu di Hindia Belanda, kabar penjatuhan hukuman pengasingan untuk Tjipto semakin kencang tersiar. (Bersambung)
*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Tjipto Mangoenkoesoemo