NGULIK BANDUNG: Dr Tjipto di Balik Kisah Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #9
Penggerebekkan asrama Perhimpunan Indonesia dan penahanan Mohammad Hatta di Belanda memicu protes di Bandung. Hatta dituding terlibat pemberontakan PKI.
Ahmad Fikri
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman
1 September 2023
BandungBergerak.id - Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 26 September 1927 berjudul “Perserikatan National Indonesia” menceritakan mengenai pertemuan politik pada Minggu, 25 September 1927 pagi di gedung Ons Genoegen (sekarang gedung Yayasan Pusat Kebudayaan atau Galeri Pusat Kebudayaan, Jalan Naripan, Bandung). Penyelenggaranya adalah Perserikatan Nasional Indonesia, organisasi politik yang belum lama dideklarasikan Sukarno.
Pertemuan yang mengumpulkan 500an orang tersebut memprotes penggerebekkan asrama mahasiswa anggota Perhimpoenan Indonesia dan kabar penahanan Mohammad Hatta dan kawan-kawannya di Belanda. Sukarno memprotes pemerintahan kolonial yang melakukan penahanan mahasiswa Indonesia di Belanda. Sartono, utusan PNI untuk Djokja juga memprotes penahanan itu. Ia masih tidak percaya Mohammad Hatta dan kawan-kawannya ditangkap di Belanda.
Tjipto Mangoenkoesoemo juga hadir dalam pertemuan di Ons Genoegen. Ia sengaja mengambil tempat duduk yang mencolok perhatian. Ia sadar betul, kehadirannya di sana akan membuat perhatian petugas polisi yang berjaga tertuju pada dirinya, yang saat itu menjadi tertuduh sebagai otak intelektual rencana peledakan gudang mesiu Belanda di Bandung.
Tjipto sepertinya tidak ingin melibatkan kawan-kawan nasionalis muda di Bandung terkait kasus yang ditudingkan padanya. Ia malah sibuk membantu aksi-aksi politik memprotes tekanan pemerintah kolonial pada mahasiswa Indonesia di Belanda.
Pemberontakan PKI
Mohammad Hatta dalam otobiografinya Untuk Negeriku Bukittinggi-Rotterdam Lewat Betawi (2021) mengisahkan latar belakang peristiwa penggerebekkan asrama Perhimpoenan Indonesia di Belanda. Pada Desember 1926 Hatta dan kawan-kawan mendapat kabar mengejutkan dari tanah air, pemerintah kolonial menyapu pemberontakan PKI di Hindia Belanda hanya dalam waktu seminggu saja. Hatta dan kawan-kawannya di Perhimpunan Indonesia menjadikan berita itu sebagai bahan diskusi untuk menyatakan sikap.
“Pendapat kami tidak lain bahwa rencana pemberontakan itu adalah suatu politik yang bodoh karena tidak ada satu faktor yang obyektif yang dapat dipergunakan sebagai alasan. Tetapi, terhadap dunia luar, terhadap pers Belanda, kami katakan bahwa pemberontakan PKI adalah akibat daripada politik Pemerintah Hindia Belanda yang reaksioner” (Hatta, 2021:267).
Hatta juga bercerita soal pertemuannya dengan Semaun di Den Hag, Belanda pada Desember 1926. Semaun, bekas pimpinan PKI yang kala itu diinternirkan oleh Belanda. Semaun tiba dari Moskow. Ia baru saja diangkat menjadi anggota oleh Commintern, pimpinan komunis internasional, atas jasanya mendirikan PKI. Commintern memuji PKI sebagai partai komunis yang bisa berdiri mandiri tanpa sokongan Moskow.
Hatta dan Semaun membicarakan soal pemberontakan PKI di Hindia Belanda. Hatta awalnya menuduh Moskow yang bertanggung di balik pemberontakan yang menghancurkan PKI tersebut. Ia khawatir pemerintah Hindia Belanda selanjutnya akan menyasar seluruh pergerakan kebangsaan Indonesia. Semaun membantah tuduhan itu. Stalin bahkan tidak setuju PKI memberontak.
Pada Hatta, Semaun menceritakan pada awalnya pimpinan PKI yang berkumpul di Candi Prambanan di satu waktu tahun 1925 menyepakati untuk memulai pemberontakan di Hindia Belanda. Tidak bulat benar sebenarnya. Tan Malaka salah satu pimpinan PKI di pertemuan Candi Prambanan itu tidak setuju dengan rencana pemberontakan tersebut. Namun kesepakatan diambil dengan suara terbanyak. Hasilnya Alimin dan Muso diutus ke Moskow untuk meminta dukungan Stalin atas rencana pemberontakan itu.
Dengan susah payah dan memakan waktu berminggu-minggu lamanya, Alimin dan Muso akhirnya berhasil bertemu Stalin. Keduanya menceritakan rencana PKI untuk memulai pemberontakan dan meminta persetujuan Stalin atas rencana tersebut. Mendengar rencana tersebut, Stalin marah. Ia meminta Alimin dan Muso secepatnya kembali dan mencegah rencana pemberontakan PKI. Perjalanan keduanya kembali memakan waktu lama dan tak mudah. Di tengah perjalanan saat berada di Singapura, Alimin dan Muso mendengar berita bahwa PKI di Hindia Belanda sudah dihancurkan.
Di pertemuan dengan Hatta tersebut, Semaun meminta Perhimpunan Indonesia mengambil alih seluruh pimpinan pergerakan nasional. Sisa-sisa PKI dijanjikannya akan menjadi penyokongnya. Perhimpunan Indonesia diminta mendirikan partai nasional baru yang pergerakannya tidak terlalu radikal agar tidak memancing sikap keras pemerintah kolonial, namun partai tersebut harus berdasar pada politik nonkoperasi. Anggota Perhimpunan Indonesia yang kembali ke Indonesia akan menjadi tulang punggung partai baru yang akan didirikan di Hindia Belanda tersebut.
Hatta mengusulkan kesepakatan tersebut akan dituangkan dalam bentuk Konvensi. Hatta akan menandatangani atas nama Perhimpunan Indonesia, dan Semaun mewakili PKI. Semaun setuju. Konvensi yang terdiri dari enam lembar, tiga lembar dipegang Hatta dan tiga sisanya dipegang Semaun.
***
Hatta memulai rencana pendirian partai nasionalis baru dengan mengumpulkan pengurus Perhimpunan Indonesia. Perhimpunan harus memahami tentang pentingnya pembentukan organisasi baru di Indonesia untuk menjaga momentum setelah PKI hancur. Partai tersebut harus melaksanakan politik untuk tanah air, partai harus sedikit moderat tapi tidak boleh meninggalkan prinsip nonkoperasi, menitikberatkan aktivitasnya pada organisasi bukan agitasi, dan melaksanakan kongres setiap tahunnya. Posisi kongres setara dengan dewan rakyat yang sebenarnya, bukan Volksraad yang dibentuk pemerintah Hindia Belanda. Perwakilan partai harus dipilih berdasarkan pilihan rakyat.
Pada Januari 1927, Perhimpunan Indonesia menggelar rapat membahas rencana tersebut. Hatta meminta agar secepatnya dipilih ketua Perhimpunan Indonesia yang baru untuk menggantikannya. Hatta berniat secepatnya menyelesaikan studi untuk kembali ke Hindia Belanda dan menjalankan rencana pendirian partai nasionalis baru di sana. Rapat menolak usul pemilihan ketua baru. Hatta kemudian mengalah. Lagi pula Perhimpunan Indonesia sudah mendapat undangan untuk menghadiri Kongres Internasional Menentang Kolonialisme yang akan berlangsung di Brussels pada 10-15 Februari 1927. Hatta terpilih menjadi ketua delegasi mewakili Perhimpunan Indonesia bersama Nazir Pamontjak, Ahmad Soebardjo, Gatot Tarumihardjo, dan Abdul Manaf. Semaun juga datang di kongres tersebut mewakili Sarikat Rakyat di Indonesia.
Kongres Internasional Menentang Kolonialisme berjalan mulus. Delegasi Perhimpunan Indonesia dipuji memainkan peran aktif di sana. Di kongres tersebut Hatta berkenalan dengan pemimpin-pemimpin pergerakan di Asia kala itu, di antaranya Jawaharlal Nehru dari India, Hafiz Ramadhan Bey dari Mesir, dan Senghor (anaknya kemudian menjadi presiden pertama Senegal).
Hatta ditunjuk dalam kongres tersebut menjadi anggota Presidium, begitu juga dengan Semaun. Keduanya mewakili Indonesia. Salah satu rekomendasi yang diputuskan dalam kongres tersebut menyoroti pemberangusan pemberontakan komunis di Hindia Belanda oleh pemerintah kolonial. Benarkah pemberontakan yang baru terjadi itu disebabkan oleh hasutan komunis atau karena kesengsaraan sosial yang diderita oleh rakyat (Hatta, 2021: 275).
Pada Maret 1927 Hatta kembali ke Belanda. Sekembalinya ia langsung memimpin rapat Perhimpunan Indonesia untuk melaporkan hasil kongres. Selanjutnya ia memutuskan untuk rehat sejenak dari kegiatan organisasi. Ia kembali ke Den Hag untuk beristirahat, namun ia kemudian memutuskan untuk menyiapkan diri mengikuti tentamen Hukum Tata Negara. Di tengah kesibukannya tersebut, Hatta menerima undangan untuk menjadi pembicara di pertemuan Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan di Gland, Swiss, pada September 1927. Hatta akan berbicara di sana bersama Henriette Roland Holst penulis dan penyair wanita yang kesohor kala itu. Jawarharlal Nehru juga diundang di pertemuan iini untuk berbicara tentang keadaan yang dialami India.
Hatta juga mendapat kabar Sumadi, mahasiswa di Delft yang juga sesama anggota Perhimpunan Indonesia. Sumadi sakit TBC dan terpaksa mendapat perawatan di rumah sakit di Samaden, Swiss. Pada 5 Juni 1927, Hatta memutuskan untuk menjenguk Sumadi. Ia bersama kawan-kawannya di Perhimpunan Indonesia pergi dengan kereta pagi.
Hatta sempat menjenguk dan berbicara dengan dokter yang merawat Sumadi. Ternyata penyakit Sumadi sudah dalam kondisi berat. Selang beberapa hari kemudian Sumadi meninggal dunia. Sumadi dimakamkan di Swiss pada 10 Juni 1927. Pada 12 Juni 1927 Hatta berniat kembali ke Belanda.
Pada 11 Juni 1927 saat menghabiskan waktu di sebuah kafe dengan minum teh dan membaca surat kabar di Jerman, Hatta membaca berita di koran tentang penggeledahan tempat kediaman anggota Perhimpunan Indonesia di Den Hag oleh polisi Belanda. Berita tersebut menyebutkan beberapa anggota Perhimpunan Indonesia ditangkap, ketuanya Mohammad Hatta yang mau lari keluar negeri ditangkap di perbatasan Belanda. Hatta tertawa membaca berita tersebut sambil menunjukkan koran itu pada Soetikno yang menemaninya.
Esoknya, 12 Juni 1927, Hatta tiba di Den Hag dan langsung menemui Subardjo yang sudah tiba sehari lebih dulu di sana. Subardjo menceritakan bahwa tidak ada satu pun anggota Perhimpunan Indonesia yang ditahan. Polisi Belanda hanya mengambil surat, arsip, dan beberapa seri majalah Indonesia Merdeka. Setelah penggeledahan tersebut tidak ada lagi yang terjadi. Ia mendengar bahwa mereka akan dihadapkan ke pengadilan. Bagi Hatta, peristiwa itu akan membuat nama Perhimpunan Indonesia makin kesohor saja.
Pada 10 September 1927, Hatta berangkat menuju Gland di Swiss untuk menghadiri undangan Liga Wanita Internasional untuk Perdamaian dan Kemerdekaan. Di pertemuan itu banyak yang menanyakan kabar penggeledahan Perhimpunan Indonesia oleh polisi Belanda. Hatta tertawa, baginya apa yang dilakukan polisi dan pemerintah Belanda malah menolong menyebarkan lebih luas lagi masalah Indonesia. Di pertemuan tersebut, pemerintah Belanda mengirim Wakil Kepala Departemen Perburuhan di Hindia Belanda untuk sengaja mendebat Hatta di forum tersebut.
Selepas menghadiri undangan tersebut, Hatta kembali ke Belanda. Ia sempat singgah di Paris selama beberapa hari. Setelah beberapa hari tiba di Den Hag, tanggal 23 September 1927, Hatta didatangai dua polisi Belanda yang membawa surat perintah penangkapannya. Hatta selanjutnya ditahan di penjara Casiusstraat bersama Nazir Pamontjak, Ali Sastroamidjojo, dan Abdul Madjid Djojodiningrat. Seharusnya ada 7 orang yang akan ditangkap, tapi Ahmad Soebardjo, Gatot Tanumihardjo, dan Arnold Mononutu sedang berada dil luar Belanda saat itu.
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Kisah di Balik Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #6
NGULIK BANDUNG: Kisah di Balik Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #7
AHMAD FIKRI Sukarno muda di depan pengadilan Lanraad di Bandung. (Koleksi KITLV 142737, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl) NGULIK BANDUNG: Kisah di Balik Percobaan Peledakan Gudang Mesiu 18 Juli 1927 #8
Gempar di Hindia Belanda
Yang terjadi di koran-koran sungguh riuh, juga simpang siur. Koran-koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda gencar memberitakan kabar penggeledahan tersebut dengan campuran spekulasi, tudingan, dan stigma miring. Peristiwa penggeledahan asrama mahasiswa Perhimpunan Indonesia diberitakan hampir semua koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda. Bahan beritanya diperoleh dari kantor berita Aneta yang rajin mengirim kawat mengenai perkembangan peristiwa penggeledahan asrama mahasiswa anggota Perhimpunan Indonesia di Belanda.
De Sumatra post 13 Juni 1927 menerbitkan artikel berjudul “De inval in de studentenhuizen (Penggerebekan di rumah mahasiswa)”. Sesuai judulnya, artikel tersebut berisi kabar penggerebekan asrama mahasiswa tempat kediaman anggota Perhimpunan Indonesia di Belanda. Penggerebekan digambarkan dramatis. Polisi bersenjata membuka paksa rumah tinggal mahasiswa-mahasiswa tersebut, menyita sejumlah dokumen dari sana yang menjadi bukti Perhimpunan Indonesia telah melakukan propaganda komunis di Hindia Belanda. Hatta, seorang mahasiswa di Rotterdam sekaligus pemimpin Perhimpunan Indonesia, keberadaannya tidak diketahui.
Wybrands, pemimpin koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? bahkan menuliskan sendiri artikel soal itu pada 13 Juni 1927 dengan judul “Van het spoor!...... (Keluar jalur!......)”. Dalam artikel yang dibubuhi inisial K. W. Tersebut, Wybrands menuduh Hatta sebagai pemberontak. Ia mengklaim mengutip laporan polisi yang menemukan pistol dan dokumen yang menunjukkan Hatta terlibat dengan komunis Moskwa dan melakukan propaganda komunis di Hindia Belanda.
Di tanggal yang sama Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? menurunkan artikel yang lebih rinci mengenai penggeledahan tersebut dengan mengutip kantor berita Aneta. Artikel dengan judul yang tendensius “Het Indisch Communisme in Holland (Komunisme Indisch di Belanda)”. Isinya: polisi menggerebek asrama mahasiswa yang menjadi kediaman anggota Perhimpunan Indonesia di Belanda, polisi menyita dokumen yang menjadi bukti organisasi berhubungan dengan propaganda komunis di Hindia Belanda, dan tokoh utama di balik organisasi tersebut adalah Mohammad Hatta, keberadaannya belum diketahui.
Berita yang isinya nyaris sama juga diterbitkan oleh Bataviaasch nieuwsblad tanggal 13 Juni 1927. Judulnya pun tak kalah tendensius yakni “De Onruststokers Ontmaskerd! (Para Pengacau Terungkap!)”.
Serangan koran-koran berbahasa Belanda pada Hatta mengulang cara yang sama yang sebelumnya ditujukan pada Tjipto Mangoenkoesoemo. Yang berbeda, Hatta benar-benar orang baru di kancah pergerakan. Yang kiprahnya belum terdengar luas saat itu.
Mohammad Hatta seperti dikuliti di pemberitaan-pemberitaan koran berbahasa Belanda di Hindia Belanda. Tentu saja dengan isinya yang tendensius.
Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indie? tanggal 15 Juni 1927 langsung menyimpulkan Hatta sebagai penganjur kekerasan hanya dengan menyimpulkan sepihak surat Hatta pada koran De Telegraf tanggal 17 Maret 1927. Di koran tersebut Hatta mengatakan Perhimpunan Indonesia tidak pernah bersuara menentang perlawanan dengan kekerasan.
Koran Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indie? tanggal 20 Juni 1927 saat menuliskan profil Mohammad Hatta menyoroti dugaan kedekatannya dengan Soviet. Yang jadi alasannya, foto pimpinan Perhimpunan Indonesia yang muncul di media tahun 1925 berasal dari agen foto Berlin yang sering berhubungan dengan kedutaan Soviet. Koran itu menulisnya: “... dus wel de conclusie, dat toen ai door de heeren Bolsjewisten ‘samenwerking’ met de ‘Indonesiërs’ gezocht werd (... kesimpulannya cukup beralasan bahwa kaum Bolshevik tetap mencari ‘kerja sama’ dengan ‘orang Indonesia’)”
Tuduhan-tuduhan yang terkesan asal-asalan makin gencar. Hanya gara-gara dua anggota Perhimpunan Indonesia mendapat dukungan finansial dari Semaun selama belajar di Belanda, membuat organisasi tersebut dituduh berhubungan erat dengan Soviet.
De locomotief pada terbitannya tanggal 7 Juli 1927 menayangkan sanggahan Hatta soal ini. Koran itu menulis: “Hatta betoogt, dat hieruit het onderhouden van relaties met den Sovjet niet bewezen kan worden (Hatta berpendapat terpeliharanya hubungan dengan Soviet tidak bisa dibuktikan dari hal ini).”
Penjelasan Hatta dituliskan lebih gamblang dalam De Sumatra post tanggal 4 Agustus 1927 dan De locomotief 9 Agustus 1927.
Asrama mahasiswa yang ditempati anggota Perhimpunan Indonesia memang digeledah. Sejumlah dokumen, buku, catatan, dan majalah disita. Tapi tidak ada satu pun mahasiswa Indonesia yang ditahan saat itu (Bataviaasch nieuwsblad, 11 Juli 1927). Namun penggeledahan tersebut berbuntut protes dari anggota dewan Belanda (Bataviaasch nieuwsblad, 11 Juli 1927).
Pada 24 September 1927, koran-koran berbahasa Belanda yang terbit di Hindia Belanda berbarengan memberitakan penangkapan Hatta dan kawan-kawannya. Di antaranya De locomotief menerbitkan artikel penangkapan itu dengan judul “Moskou-Indie via Holland, Opstandplannen van Inlandsche Studenten (Moskwa-Hindia Melalui Belanda, Rencana Revolusi Pelajar Bumiputera)”, De Indische courant dengan judul “De Ontmaskering - Indonesiërs gearresteerd (Kedok yang Terbuka – Penangkapan Orang Indonesia)”.
Isi beritanya senada. Departemen Kehakiman dan polisi di Den Hag, Leiden, dan Amsterdam menggerebek sejumlah rumah penduduk yang dicurigai terlibat konspirasi melawan pemerintah Belanda. Beberapa orang ditangkap. Salah satunya Mohammad Hatta ditangkap di rumah tinggalnya di Adelheidstratt di Den Hag. Selanjutnya pelajar-pelajar bumiputra juga ditangkap, seperti Sastroamidjojo, Djojodiningrat, serta Nazis Pamontjak. (Bersambung)
*Tulisan kolom Ngulik Bandung merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman. Simak tulisan-tulisan lain Ahmad Fikri atau artikel-artikel lain tentang Tjipto Mangoenkoesoemo