• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Perayaan Natal di Zaman Kolonial

NGULIK BANDUNG: Perayaan Natal di Zaman Kolonial

Perayaan Natal menjadi kerinduan orang-orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda pada negeri asalnya. Ada Sinterklaas dan pohon Natal.

Ahmad Fikri

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB page: Djiwadjaman

Sinterklaas di Sekolah 1A di Bandoeng sekitar tahun 1936. Foto dari koleksi album milik Ida Charlotta Suzanna Ravenek-Lignac atau putrinya Louise (Wies) de Jong-Ravenek yang susun Februari 1956. (Koleksi KITLV 69373, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

7 Januari 2023


BandungBegerak.id—Kehidupan orang-orang Eropa di Hindia Belanda mulai relatif stabil di paruh akhir abad ke-19 sejalan dengan menguatnya kendali Belanda pada mayoritas daerah di Sumatera dan Jawa. Suasana mulai terasa lebih tenang dengan berangsur-angsur berakhirnya perlawanan bersenjata.

Kehidupan berjalan normal. Perekonomian mulai bergulir kencang. Suasana tersebut membuat orang-orang Eropa di Hindia Belanda mulai merindukan banyak hal. Salah satunya adalah perayaan Natal seperti di negeri asal mereka.

“Natal berlalu di sini hampir tanpa disadari bagi banyak dari kita, sama seperti hari istirahat biasa lainnya. Di banyak tempat bahkan pada hari-hari itu tidak ada kesempatan untuk pergi ke gereja dan umumnya tidak ada perayaan Natal yang sebenarnya di sini,” tulis koran De Preanger-bode, 23 Desember 1898.

Koran De Preanger-bode menceritakan ingatan atas tradisi perayaan Natal di Belanda. Hari Natal yang khas, yang berbeda dengan hari-hari lainnya hanya dengan melihat deretan toko-toko yang terang benderang dengan hiasan pajangan yang indah.

Hari Natal di Eropa ditandai dengan jalanan yang dipenuhi dengan orang-orang yang bergegas pulang di tengah cuaca dingin yang menusuk. Ingatan pada perayaan Natal Belanda adalah kebersamaan dengan keluarga, kerabat jauh yang sengaja datang untuk berkumpul.

“Teman-teman Jerman kita di negara ini terkadang ingin tetap setia pada adat istiadat negaranya dan menghormati pohon Natal, tetapi sering kali gagal melakukannya, justru karena apa yang hilang inilah yang memberinya pesona khas di Eropa, yaitu kehidupan keluarga,” tulis De Preanger-bode, 23 Desember 1898.

Anak-anak di depan pohon Natal pada pesta Natal di W. Groeneveldt, warga Benkoelen sekitar tahun 1933. (Koleksi KITLV 52462, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Anak-anak di depan pohon Natal pada pesta Natal di W. Groeneveldt, warga Benkoelen sekitar tahun 1933. (Koleksi KITLV 52462, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Menghidupkan Tradisi Perayaan Natal di Hindia Belanda

Perayaan Natal sedianya merupakan hari yang ditunggu-tunggu bagi anak-anak. Di hari tersebut mereka akan mendapat hadiah yang ditaruh di bawah pohon Natal dengan dekorasi meriah dan hiasan lampu yang berkilau.

Bala Keselamatan (Leger des Heils), kelompok keagamaan di bawah Gereja Protestan salah satu yang mencoba menghidupkan tradisi perayaan Natal di Hindia Belanda. Koran  De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 15 Desember 1896 menceritakan rencana kelompok tersebut menyiapkan pesta untuk merayakan Natal di Semarang.

Pesta tersebut diselenggarakan pada 26 Desember dengan mengumpulkan anak-anak miskin tanpa membedakan bangsa dan agama. Biaya penyelenggaraan pesta berasal dari donasi warga Semarang.

“Bala Keselamatan berangkat dari gagasan bahwa ada begitu banyak anak miskin yang tidak pernah memiliki hari yang sibuk dan bahwa Natal menawarkan kesempatan yang baik untuk membuat hati anak-anak kecil ini berduka cita,” mengutip De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad tanggal 15 Desember 1896.

Koran Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie tanggal 27 Desember 1897 menceritakan saat itu tidak ada perayaan Natal yang diselenggarakan besar-besaran untuk kaum muda. “Hanya di sekolah dan di lingkungan beberapa keluarga, perayaan Kristiani ini dirayakan sebagai pesta anak-anak,” tulis koran tersebut.

Koran tersebut menceritakan kaum muda Eropa yang tinggal di Batavia memulai menghidupkan lagi tradisi tersebut. Pesta Natal yang menarik perhatian masyarakat luas karena diselenggarakan besar-besaran untuk anak-anak di sana. Lengkap dengan pohon Natal, undian hadiah, pertunjukkan boneka.

“Saya menemukan perayaan Natal di Kebun Raya dan Kebun Binatang di Batavia pada malam tanggal 26 dengan pohon Natal, undian hadiah untuk anak-anak, dan teater boneka,” tulis Java-bode: nieuws, handels- en advertentieblad voor Nederlandsch-Indie,27 Desember 1897.

Perayaan Natal setahun kemudian berlangsung lebih meriah. Koran Bataviaasch nieuwsblad tanggal 27 Desember 1898 menceritakan pesta Natal di Batavia berlangsung di banyak tempat. Perayaan Natal yang meriah juga berlangsung di gereja, juga sekolah. Melibatkan murid-murid pribumi dan Cina. Perayaan besar-besaran di Kebun Binatang masih berlangsung, hadiah yang terkumpul makin banyak.

“Anak-anak bersenang-senang sampai jam setengah sembilan di aula yang luas, di mana mereka diizinkan untuk melompat-lompat sesuka hati. Meskipun ada 400 hadiah dalam undian gratis, hadiahnya terlalu sedikit, sehingga anak-anak yang lebih tua harus dikeluarkan dari pengundian,” tulis koran tersebut.

Kedatangan Sinterklaas di Plantersschoolvereeniging Brastagi di Berastagi sekitar tahun 1937. (Koleksi KITLV 169448, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Kedatangan Sinterklaas di Plantersschoolvereeniging Brastagi di Berastagi sekitar tahun 1937. (Koleksi KITLV 169448, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Perayaan Natal di Bandung di Zaman Kolonial

Di Bandung perayaan Natal terpusat di gereja. Koran Soerabaijasch handelsblad tangal 4 Januari 1901 menceritakan gereja menjadi penuh sesak di hari Natal. Semua tempat duduk terisi penuh, sebagian terpaksa berdiri. Misa Natal yang diselingi dengan nyanyian paduan suara serta permainan musik sakral dengan organ, biola, dan cello. “Lagu-lagu Grieg terdengar bersih menyentuh gedung gereja,” tulis koran itu.

Seiring bertambahnya warga Eropa yang tinggal di Bandung, perayaan Natal besar-besaran pun mulai di gelar di sana. Perayaan tidak hanya terpusat di gereja, tapi juga dilakukan di gedung pertunjukan di Concordia. Di gedung tersebut diselenggarakan konser musik dan pesta dansa berkostum untuk anak-anak (De Preanger-bode, 2 Januari 1906).

Perayaan Natal di Bandung kemudian juga digelar di sekolah-sekolah swasta dan panti asuhan. Koran De Preanger-bode tanggal 24 Desember 1913 menceritakan perayaan Natal digelar di sekolah misi berbahasa sunda, sekolah Tionghoa, sekolah milik Nederlandsche Zendingsvereeniging (NZV) asosiasi minisonaris Belanda di Bandung. Pesta Natal juga dirayakan di panti asuhan milik tentara Belanda di Katja-katja Wetan.

Tahun berganti perayaan Natal mendapatkan bentuknya. Perayaan Natal dirayakan berbarengan dengan dengan libur sekolah yang berlangsung hingga dua minggu lamanya (Sumatra-bode, 6 Oktober 1911). Perayaan Natal dirayakan dengan banyak kegiatan untuk mengisi hari libur yang panjang. 

De Preanger-bode tanggal 27 Desember 2197 menceritakan suasana hari Natal di Bandung kala itu. Jalan-jalan menjadi ramai. Orang-orang Eropa yang memilih bepergian menggunakan kereta menjadikan hal yang biasa kereta yang penuh penumpang menjelang Natal. Libur Natal yang panjang juga dimanfaatkan untuk menggelar sejumlah pertandingan semisal sepak bola hingga lomba pidato. Sebagian memanfaatkan untuk menyambangi makam keluarga dengan membawakan bunga.

Hotel-hotel penuh, terutama di hari-hari menjelang perayaan Natal. Restoran berlomba-lomba mempercantik dekorasi, dengan lampu yang dilapisi kertas merah untuk memberi kesan khusus perayaan Natal. Tentu saja pertunjukkan musik diselenggarakan hampir setiap malam. Bioskop pun tak mau kalah sengaja menampilkan film bertema Natal.

Puncaknya tentu saja pada 24-26 Desember pada perayaan Natal. Gereja yang menggelar misal Natal ramai dipenuhi jemaatnya. Tentu saja pesta Natal yang diselenggarakan di tempat-tempat berkumpulnya orang-orang Eropa.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Teror Bom di Bandung pada Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Gedung PGN Braga, Bukti Bandoeng Pernah Punya Jaringan Gas Dalam Kota di Zaman Kolonial
NGULIK BANDUNG: Terlupakan, Sanatorium Dago Heuvel (1)

Sinterklaas tiba dengan mobil di sebuah sekolah di Jawa sekitar tahun 1920. (Koleksi KITLV 49063, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Sinterklaas tiba dengan mobil di sebuah sekolah di Jawa sekitar tahun 1920. (Koleksi KITLV 49063, Sumber digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Sinterklaas

St. Nicolaas, atau Sint. Nicolaas, atau Sinterklaas adalah figur yang tidak bisa dilepaskan dari perayaan Natal. Figur yang berdasarkan pada kisah Santo Nikolas, orang suci yang dikenal sebagai pelindung anak-anak. Jangan membayangkan sosok tersebut dengan Santa Klaus yang dikenal luas saat ini. Sinterklaas di Hindia Belanda adalah figur yang berasal dari cerita rakyat di Belanda.

Sosok orang suci tersebut digambarkan mengenakan baju uskup putih dengan jubah merah di bagian luarnya, mengenakan penutup kepala tinggi tinggi, berjanggut putih tebal, dan membawa tongkat. Sint-Nicolaas ditemani oleh pelayannya yang berkulit hitam, Zwarte-Piet atau Pit Hitam, yang mengendalikan kereta terbuka. Keduanya berkeliling untuk membagikan hadiah di malam Natal , terutama untuk anak-anak yang berkelakuan baik.

Harian Deli courant tanggal 14 Januari 1911 menyebutkan pesta St. Nicolaas dirayakan di Belanda dan koloninya menjelang Natal. Banyak keluarga Belanda menggunakan cara Jerman dalam merayakannya. Tradisi yang mana pun, selalu ada pohon Natal di sana.

“Di Eropa pohon cemara atau cemara ditempatkan di dalam ruangan pada Malam Natal, di sini di daerah tropis sebuah tjemara menggantikannya. Keduanya selalu hijau, simbol keabadian yang lemah. Pohon Natal serupa juga telah didirikan di banyak rumah di sini, didekorasi dengan gemerlap, menyala terang, juga ditaburi dengan warna putih di kaki, semua ini sebagai gambaran yang tidak sempurna dari malam yang cerah di musim dingin,” tulis Deli courant, 14 J Januari 1911.

Koran De Preanger-bode tanggal 6 Desember 1918 menceritakan tentang perayaan pesta St. Nicolaas, orang suci pelindung anak-anak yang lebih akrab dengan sebutan Sinterklaas. Tanggal 5-6 Desember menjadi tanggal yang istimewa bagi anak-anak, hari perayaan Pesta St. Nicolaas. Di hari tersebut sudah menjadi tradisi bahwa anak-anak akan mendapat hadiah dari Sinterklas yang datang dengan ditemani pelayannya Zwarte Piet atau Pit Hitam.

Keramaian pesta hari itu terpusat di Bragaweg. Jalan itu penuh sesak. Kerumunan terlihat paling banyak di sekitar toko Kuyl en Versteeg dan restoran Maison Bogerijen di jalan tersebut. Anak-anak pun ikut berkerumun menunggu Zwarte Piet membagikan hadiah.

“Kami belum pernah melihat ‘orang suci’ yang begitu banyak! Mereka hanya saling berdesak-desakan! Beberapa kali kami melihat tiga sekaligus di Bragaweg dan kami tahu bahwa ada lebih banyak lagi yang berkeliaran di sekitar Bandoeng! Mereka duduk di atas kuda atau, lebih modern, di dalam mobil. Satu didahului oleh musik batalion,” tulis De Preanger-bode, 6 Desember 1918.

Sinterklaas dan Zwarte Piet berkeliling kota mengendarai mobil. Keduanya mengujungi sejumlah sekolah. Di Bandoengsche Fröbelschool keduanya membagikan hadiah pada anak-anak. Zwarte Piet yang membawanya dalam keranjang. Anak-anak sudah berkumpul di aula sekolah. Mereka menyanyi sambil menunggu giliran untuk menyalami Sinterklaas yang menunggu di depan. Anak-anak mendapatkan biskuit dan permen yang mereka nikmati bersama-sama di sana.

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//