• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #6

NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #6

Gunung Gede meletus dahsyat dan diwarnai gempa-gempa yang menghancurkan. Alam berkehendak agar Ibu Kota Priangan Cianjur pindah ke Bandung.

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Balai Kota Bandung (Gemeentehuis te Bandoeng), sekitar tahun 1920. Sempat menjadi gudang kopi (Koffie Pakhuis) milik Andries de Wilde yang dibangun ulang menjadi Gemeentehuis. (Koleksi KITLV 11940, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

22 November 2024


BandungBergerak.id - Cianjur sebagai Ibu Kota Keresidenan Priangan di masa lalu, sebenarnya sudah menjadi sebuah kota yang ideal untuk ditinggali pendatang dari Eropa. Sayangnya, kota beriklim sejuk ini kerap dihampiri bencana alam. Padahal komunitas orang Eropa yang sudah tinggal di sana sudah merasa betah. Mereka bahkan sudah berinvestasi dengan mendirikan rumah permanen serta membuka usaha di kota tauco.

Cianjur kerap dihantam gempa bertubi-tubi akibat letusan gunung berapi, setidaknya tercatat dalam berita-berita media cetak terbitan Hindia Belanda yang penulis temukan sejak tahun 1818 hingga 1886. Salah satu kerusakan yang parah tergambar jelas dalam berita di harian Javasche courant, 15 Oktober 1834 yang menggambarkan “roemah-roemah batoe” alias bangunan permanen luluh lantak hingga menimbulkan korban jiwa. Beruntung saat itu kebanyakan rumah masih menggunakan material bambu dan kayu hingga korban dapat diminimalkan.

Penduduk Bandung Mulai Berkembang

Ketika Cianjur sebagai Ibu Kota Keresidenan Priangan rutin dilanda gempa, di saat yang sama Bandung masih berupa kampung becek, kumuh, dan menjadi sarang penyakit. Tak heran jika Bandung disebut bergdessa atau desa udik yang hanya dihuni beberapa keluarga saja (Rusnandar, 2010). Namun, Bandung kemudian berbenah pascaditetapkan menjadi Ibu Kota Kabupaten di bawah pemerintahan Wiranatakusumah II sejak 25 Mei 1810.

Penduduk Bandung awalnya hanya terdiri dari dua golongan masyarakat yaitu golongan menak, sebutan untuk golongan bangsawan, dan golongan kuring untuk rakyat jelata. Dua kelas sosial ini merupakan bawaan Wiranatakusumah II dari kota lama (Dayeuh Kolot) Karapyak. Selanjutnya mereka menjadi cikal bakal penduduk Bandung asli (Hardjasaputra, 2002). Jumlah penduduk Bandung saat itu sulit mengalami perkembangan karena adanya kebijakan passenstelsel dari Gubernur Jenderal Van der Capellen, 9 Januari 1821 yang menutup daerah Priangan bagi para pendatang, termasuk  dari Eropa dan timur asing.

Rumah kediaman Residen (Residentswoning) di Bandung, sekitar tahun 1933. Sempat menjadi rumah kediaman resmi Asisten Residen Priangan yang dibangun tahun 1864 dan selesai tahun 1867, kini menjadi Gedung Pakuan. (Koleksi KITLV 155315, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Rumah kediaman Residen (Residentswoning) di Bandung, sekitar tahun 1933. Sempat menjadi rumah kediaman resmi Asisten Residen Priangan yang dibangun tahun 1864 dan selesai tahun 1867, kini menjadi Gedung Pakuan. (Koleksi KITLV 155315, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Baru pada tahun 1830-an, penduduk Bandung mulai semarak dengan masuknya orang Melayu dan orang Arab, yang dalam catatan kependudukan orang Arab mereka dimasukkan ke dalam golongan Melayu (Sunjayadi ; Wertheim,1959). Hingga passenstelsel dicabut pada tahun 1852 (Java Bode, 11 Agustus 1852), orang Eropa dan Tionghoa mulai diizinkan masuk Bandung dengan syarat mereka harus memberikan dampak positif bagi perkembangan kota.

Sejak saat itu penduduk Kota Bandung lebih heterogen. Ditambah lagi, migrasi penduduk bumiputra terus meningkat karena mereka mengalami paceklik di daerah asal mereka dan memilih untuk menjadi buruh atau kuli di Bandung yang sedang marak pembangunan. Pencabutan kebijakan passenstelsel ini ditengarai sebagai penyebab “Bandung heurin ku tangtung” kelak.

Usulan Pemindahan Ibu Kota Keresidenan

Perkembangan Bandung setelah menjadi Ibu Kota Kabupaten tak terlepas dari peran seorang tuan tanah yang menguasai wilayah Bogor dan Sukabumi, Andries de Wilde, selain adanya megaproyek pembangunan de Groote Postweg (Jalan Raya Pos) oleh Daendels. Setelah Inggris menguasai pulau Jawa, Andries de Wilde, yang juga seorang dokter ahli bedah atau chirurg pada pasukan artillerie Belanda, menjadi asisten dari Gubernur Jenderal Stamford Raffles.

Inggris yang saat itu mengalami kekosongan kas negara kemudian menjual beberapa wilayah di Pulau Jawa, termasuk daerah Priangan. Karena kedekatan de Wilde dengan Raffles, maka sejak tahun 1812 Andries de Wilde dapat memiliki tanah di Priangan. Menurut Haryoto Kunto dalam bukunya, luas tanah yang dikuasai Andries de Wilde meliputi Cimahi Barat sampai Cibeusi di Timur Bandung, dan sebelah utara dibatasi Gunung Tangkuban Parahu. Artinya, tanah yang dikuasai de Wilde inilah yang merupakan cikal bakal Bandung sekarang.

Sebagai “penguasa” tanah di daerah Priangan, Andries de Wilde merasakan betapa tanah serta udara di Bandung lebih subur dan sejuk dibandingkan Cianjur. Karenanya dia menganggap Bandung lebih cocok sebagai tempat tinggal. Terlebih sebagai pengusaha perkebunan kopi, perpindahan Ibu Kota Keresidenan Priangan ke Bandung akan menguntungkan baginya. Maka, tahun 1819 Andries de Wilde mengajukan usulan kepada pemerintah kompeni agar Ibu Kota Keresidenan dari Cianjur dipindahkan ke Bandung.

Situasi Bandung setelah dicabutnya aturan passenstelsel tentang pembatasan terhadap orang-orang Eropa dan timur asing pada tahun 1852, semakin membuat orang-orang asing memimpikan tinggal di kota yang kelak berjuluk Paris van Java. Salah satunya datang dari Dr. Ir. R van Hoevell yang menulis artikel yang ditujukan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda, “Mungkin Anda tahu bahwa saya selalu tergoda oleh angan-angan, untuk mendirikan sebuah “kota besar‟ di Dataran Tinggi Bandung, sebagai suatu koloni bagi orang-orang Eropa”.

Namun keinginan van Hoevell ditentang oleh banyak orang, dan ia menuliskannya lagi dalam sebuah artikel, “Mereka menentang pendapat saya, bahkan menamakannya sebagai suatu ilusi dan khayalan yang kelewat diidam-idamkan. Namun saya yakin, bahwa cita-cita itu akan terwujud”. Di akhir artikelnya van Hoevell menulis, “Hanya alamlah kemudian, yang memiliki kekayaan dan keindahan tak terhingga di sini, akan dapat mewujudkan angan-angan, yang kelak bakal dikenal dan dihargai orang” (Rusnandar, 2010 dari Tijdschraft voor Nederlandsch Indie, Tahun ke-14, 1852).

Bahkan, perkembangan yang terjadi di Bandung pun menarik hati Residen Priangan C. P. C. Steinmetz. Saat itu ia belum memiliki rumah dinas dan oleh pemerintah kompeni diusulkan untuk segera dibangunkan rumah dinas di Cianjur. Mendengar hal tersebut C. P. C. Steinmetz menolak dan mengusulkan untuk memindahkan Ibu Kota Keresidenan Priangan ke Bandung. Pertimbangannya, kondisi alam Bandung lebih baik, memiliki perkebunan kopi dan teh yang lebih luas, serta jumlah penduduk jauh lebih banyak sehingga memungkinkan mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih baik (Harjasaputra, 2002). Namun dengan alasan memerlukan biaya yang sangat banyak, gagasan tersebut ditolak oleh dewan pemerintah Hindia Belanda.

Baca Juga:NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #1
NGULIK BANDUNG: Riwayat Pemindahan Ibu Kota Priangan dari Cianjur ke Bandung #2
NGULIK BANDUNG: Gedung PGN Braga, Bukti Bandoeng Pernah Punya Jaringan Gas Dalam Kota di Zaman Kolonial

Rumah Asisten Residen dengan Pieterspark Bandung, antara abad ke-19 dan ke-20. Sempat menjadi gudang kopi Andries de Wilde, kemudian menjadi rumah asisten residen. Lokasi yang sama kini menjadi Balai Kota Bandung. (Koleksi  KITLV 1407243, Sumber, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Rumah Asisten Residen dengan Pieterspark Bandung, antara abad ke-19 dan ke-20. Sempat menjadi gudang kopi Andries de Wilde, kemudian menjadi rumah asisten residen. Lokasi yang sama kini menjadi Balai Kota Bandung. (Koleksi KITLV 1407243, Sumber, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Gempa dan Letusan Gunung Gede

Berbagai usulan dari berbagai tokoh penting untuk memindahkan Ibu Kota Keresidenan ditolak karena alasan efektivitas serta biaya yang tinggi. Pemerintah Hindia Belanda sebenarnya memiliki keinginan serupa, tetapi mereka membayangkan harus membangun infrastruktur dan gedung-gedung pemerintahan baru yang tentu akan memakan biaya yang sangat tinggi.

Hingga pada akhirnya usulan pemindahan Ibu Kota Keresidenan itu disetujui pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Charles Ferdinand Pahud dalam verbal 28 Juni 1856 dan diikuti surat usulan tanggal 11 Oktober 1856 No.84 yang ditujukan kepada Menteri urusan koloni. Namun dalam prosesnya tidak semudah surat itu dilayangkan. Proses persetujuannya berjalan sangat lambat dan memakan waktu yang sangat lama (Sunjayadi ; Hardjasaputra, 2002).

Teringat pada artikel kedua yang ditulis oleh Dr. Ir. R. van Hoevell, “Hanya alamlah kemudian, yang memiliki kekayaan dan keindahan tak terhingga di sini, akan dapat mewujudkan angan-angan, yang kelak bakal dikenal dan dihargai orang”. Van Hoevell dalam artikelnya tersebut seakan mengatakan bahwa kekayaan dan keindahan Bandung yang akan memanggil dan mewujudkan angan-angannya kelak.

Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Seberapa besar pun keinginan Pemerintah Hindia Belanda ingin menghemat biaya dengan menolak berbagai usulan dari para tokoh penting tersebut, hingga mengalami proses persetujuan yang berlarut-larut, Tuhan dengan menggunakan alamnya memaksa pemindahan Ibu Kota Keresidenan harus terjadi.

Gunung Gede meletus dahsyat dan diiringi gempa yang menghancurkan Cianjur dan Bogor. Bencana ini terjadi di masa Residen Priangan J.W.J.C.van der Moore tahun 1864. Pemindahan Ibu Kota Keresidenan Priangan harus terjadi. Dengan surat bertarikh 21 Mei 1864, van der Moore menulis kepada Gubernur Jenderal agar tidak lagi menunda proses pemindahan Ibu Kota Keresidenan dari Cianjur ke Bandung.

Secara resmi Ibu Kota Keresidenan Priangan dipindahkan dari Cianjur ke Bandung oleh Gubernur Jenderal L. A. J. W. van de Beele yang dituangkan dalam Staatsblad 7 Agustus 1864 No.18, disetujui oleh menteri urusan tanah jajahan berdasarkan surat tanggal 7 November 1864. Sejak saat itu Bandung  memiliki dualisme pemerintahan, yaitu pemerintahan tradisional sebagai Ibu Kota Kabupaten dan pemerintahan kolonial sebagai Ibu Kota Keresidenan. 

*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara www.bandungbergerak.id dengan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//