NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #3
Aturan ketat VOC Belanda terhadap imigran Tionghoa yang terus berdatangan ke nusantara memicu pemberontakan. Konsekuensi dari kebijakan yang dibikin VOC sendiri.
![](http://bandungbergerak.id/cms/uploads/penulis/3/4/34_300x206.jpg)
Merrina Listiandari
Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman
14 Februari 2025
BandungBergerak.id – Pelayaran para pelaut Fujian, Tiongkok sempat mendapatkan penentangan hingga dilarang saat pemerintahan Dinasti Qing berkuasa. Namun pada tahun 1686 pelayaran tersebut Kembali diizinkan dan perahu-perahu jung Kembali merapat di Batavia. Kedatangan mereka diikuti para imigran yang menumpang perahu yang sama. Jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat.
Para imigran yang awalnya datang karena diminta hingga “diangkut” paksa ke Batavia untuk dipekerjakan serta menghidupkan perekonomian kota, akhirnya jumlah mereka tidak terkendali. Bagaimana tidak, selain Batavia ternyata kebutuhan akan para pekerja “impor” tersebut juga diminati oleh wilayah lain di pulau Jawa. Bahkan Kota Semarang sampai membangun tempat penampungan sementara di Batavia sebelum membawa para imigran ke Semarang.
Sesuai hukum ekonomi supply terjadi mengikuti demand dan tentu akan ada konsekuensi ketika pasokan permintaan tersebut kelewat melimpah. VOC kebingungan, segala aturan yang dibuat terkait dengan para imigran seakan percuma saja. VOC menerapkan pajak dan bea tinggi per individu, belum lagi aturan wajib membawa surat identifikasi; orang yang kedapatan tidak membawa surat akan dipulangkan ke Tiongkok (Dharmowijono, 2009). Namun hal tersebut tidak mengurungkan niat mereka beremigrasi. Masalah pun dimulai.
![Kamp Tionghoa di Batavia. Sketsa J. Gabriëlse dibuat sekitar tahun 1900. (Koleksi , Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)](http://bandungbergerak.id/cdn/1/2/6/7/9/kamp_tionghoa_di_batavia_840x576.jpg)
Chinezeenmoord, Geger Pecinan 1740
Jumlah imigran dari Tiongkok di Batavia dari tahun ke tahun semakin meningkat, hingga pada tahun 1740 jumlah mereka telah mencapai 10.000 orang (Armstrong, 2001). Maka, VOC melakukan penertiban dengan banyak melakukan deportasi pada para imigran Tiongkok, terutama setelah terjadi wabah malaria. Namun jumlah mereka tidak berkurang. Imigran baru terus berdatangan walau dalam jumlah kecil.
Sementara itu, para imigran yang telah menjadi warga Batavia lebih dari satu abad rata-rata merupakan saudagar. Sejak mereka datang pertama kali di Banten pada tahun 1567, mereka sudah berniaga. Batavia memberikan kesempatan bagi mereka untuk berkembang. Maka tak heran walau sebagian imigran saat datang pertama kali bekerja sebagai tukang dan buruh, namun mereka berhasil mengembangkan bisnis hingga menjadi pengusaha besar dan menguasai beberapa pabrik gula. Karenanya, VOC merasa terancam.
Dalam usaha membangun Batavia, VOC tidak hanya menggunakan para pendatang dari Tiongkok untuk dipekerjakan sebagai buruh. VOC juga mendatangkan orang-orang bumiputra dari berbagai daerah, seperti Ambon, Banda, Bugis, serta Bali yang ditempatkan di sekeliling Batavia untuk berjaga dari serangan Banten dan Mataram (Kustedja, 2012). Berbanding terbalik dengan para imigran dari Tiongkok, warga bumiputra memiliki kehidupan yang tidak beruntung secara ekonomi. Kondisi ekonomi bumiputra berbanding terbalik dengan para imigran Tiongkok yang berhasil. Fenomena ini menciptakan jurang yang dalam secara ekonomi.
VOC tidak suka melihat kemajuan yang dicapai orang-orang Tionghoa. Deportasi terus digencarkan tetapi di saat yang sama para imigran Tiongkok terus berdatangan. VOC terus menyortir para imigran Tionghoa dengan bantuan seorang mayor Tionghoa yang mereka tunjuk. Salah satu Mayor Tionghoa tersebut bernama Ni Hoe Kong yang menyarankan VOC untuk mendeportasi imigran Tionghoa yang mengenakan pakaian hitam atau biru, sebagai pertanda merekalah orang miskin yang layak untuk dikembalikan ke tempat asal mereka (the History of Java, Raffles, 1830). Para imigran Tionghoa pun mulai resah menghadapi kebijakan ini. Mereka lalu meninggalkan pekerjaan mereka dari pabrik-pabrik gula.
Situasi tersebut membuat orang-orang Tionghoa merasa terancam. Para imigran berkumpul dan dengan menggunakan senjata yang mereka buat sendiri, mereka mulai melakukan penjarahan serta pembakaran terhadap pabrik-pabrik gula. Kerusuhan tak dapat dihindarkan, ratusan orang Tionghoa yang diduga dipimpin oleh Kapten Tionghoa Ni Hoe Kong, pada tanggal 7 Oktober 1740, membunuh 50 orang pasukan Belanda di Meester Cornelis (Jatinegara, sekarang) dan Tanah Abang (Dharmowijono, 2009).
Dalam situasi yang genting itu rumor beredar di kalangan bumiputra asal Bali dan Bugis yang berada di Batavia. Isu yang mereka terima menyebutkan bahwa imigran Tiongkok merencanakan membunuh dan memperkosa orang-orang bumiputra dan menjadikan mereka sebagai budak. Rumor yang entah dihembuskan oleh pihak mana semakin memperkeruh masalah kesenjangan ekonomi yang ada dan pada akhirnya berakibat fatal. Kelompok-kelompok bumiputra ini mulai membakar rumah orang-orang Tionghoa, disusul oleh serangan tentara VOC terhadap rumah-rumah milik orang Tionghoa. Serangan ini mengakibatkan wanita hamil, anak kecil, dan pria-pria tua dibantai (Van Hoevell, 1840).
Seperti sudah disinggung, VOC sendiri kehilangan 50 rekannya dalam serangan oleh imigran Tionghoa. Pemimpin VOC lantas mengirimkan 1.800 orang pasukan untuk menghentikan pemberontakan. VOC melaksanakan jam malam, membatalkan perayaan Tionghoa, serta melucuti persenjataan yang dibawa oleh seluruh orang-orang Tionghoa. Pada hari berikutnya sekitar 10.000 orang Tionghoa yang dipimpin oleh kelompok-kelompok yang berasal dari Tangerang dan Bekasi, menyerang pasukan VOC di tembok kota Batavia. Untuk memberantas pemberontakan tersebut, sekurangnya terdapat 1.789 imigran asal Tionghoa menjadi korban dalam peristiwa tersebut (Raffles, 1830).
Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #1
NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #2
NGULIK BANDUNG: Riwayat Situ Aksan, Danau yang Hilang di Bandung
![Orang Tionghoa penjual kue kering Cina di Jawa. Foto koleksi Woodbury & Page (Java) diterbitkan sekitar tahun 1870. (Koleksi KITLV 30536, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)](http://bandungbergerak.id/cdn/1/2/6/7/8/orang_tionghoa_penjual_kue_kering_cina_jawa_840x576.jpg)
VOC Mulai Mengatur Permukiman Berdasar Kelompok Etnis (Wijkenstelsel)
Akibat dari kerusuhan yang mengakibatkan pembantaian terhadap orang-orang Tionghoa, VOC mulai berhati-hati. Pada Oktober 1740 VOC membuat suatu sistem yang memisahkan orang-orang Tionghoa dari penduduk yang berasal dari etnis lain. Dibuatlah sebuah batas dan aturan ketat yang memaksa para imigran Tionghoa tidak diperkenankan berhubungan dengan orang-orang bumiputra. Orang-orang Tionghoa hanya diizinkan untuk tinggal di wilayah yang telah ditentukan oleh VOC. Aturan ini dikenal sebagai wijkenstelsel.
VOC memilih wilayah isolasi bagi orang-orang Tionghoa, sebuah wilayah yang mudah untuk diawasi, yaitu di luar batas tembok kota yang kini dikenal sebagai Kawasan Glodok. Dalam bahasa Belanda disebut sebagai “onder het berijk van ons geschut” atau “berada dalam jarak tembak meriam kita”, dengan tujuan mengawasi para imigran Tionghoa untuk tidak lagi melakukan pemberontakan dan bekerja sama dengan penduduk bumiputra. Permukiman khusus yang disebut Chineesche kamp itu merupakan asal usul keberadaan pecinan atau pecinaan.
Lalu, apakah untuk membatasi gerak para imigran Tionghoa VOC hanya memberlakukan wijkenstelsel? Dan bagaimana masyarakat keturunan Tionghoa ini tetap melestarikan budaya tanah leluhur mereka? Simak dalam tulisan mendatang, ya.
*Tulisan kolom Ngulik Bandung, yang terbit setiap Kamis, merupakan bagian dari kolaborasi antara bandungbergerak dengan Komunitas Djiwadjaman