• Kolom
  • NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #2

NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #2

Dengan tujuan ingin membangun dan menghidupkan perekonomian Batavia, VOC melakukan banyak cara agar para pelaut Tiongkok menetap. Berakhir, kewalahan…

Merrina Listiandari

Pendiri Komunitas Djiwadjaman, bisa dihubungi via FB: Merrina Kertowidjojo, IG: merrina_kertowidjojo, atau FB page: Djiwadjaman

Suasana permukiman warga Tionghoa di Batavia sekitar tahun 1930, (Koleksi KITLV 5246, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

9 Februari 2025


BandungBergerak.id - Setelah hampir satu dekade Ambon menjadi markas utama dan VOC mendapatkan masa keemasannya, gangguan dari perusahaan dagang negara-negara lain seperti Portugis dan Spanyol terus berdatangan. Ambon yang awalnya dianggap sebagai tempat paling strategis untuk menjalankan usaha dagang mereka menjadi tempat yang sangat meresahkan.

Markas besar yang didirikan sebagai pusat pergerakan mereka dalam menjalankan perdagangan rempah-rempah dari Kepulauan Maluku, tak pelak mendapatkan serangan-serangan dari negara lain yang menginginkan hak dagang yang sama. Benteng-benteng yang didirikan mengelilingi pulau tak lagi mampu menahan serangan-serangan tersebut. Pertempuran berdarah tak dapat dihindarkan, Ambon harus segera ditinggalkan.

Seorang utusan VOC yang ambisius, Jan Pieterzoon Coen memimpin kapalnya sendiri ke Oost Indies atau Hindia Timur. Ia merapatkan kapalnya pertama kali di Banten pada tahun 1613. Ia telah malang melintang di perairan Banda dan juga sempat merapat di Banten hingga melihat situasi yang tak dapat dipertahankan di Ambon, Kepulauan Maluku. Pandangan J. P. Coen beralih ke sebuah kota di wilayah pesisir utara pulau Jawa, Jayakarta.

Melihat posisi Jayakarta yang strategis, kota yang berada dalam wilayah kekuasaan Kesultanan Banten itu pun menarik hatinya. Dengan ambisinya yang besar ingin menguasai perdagangan rempah-rempah dunia yang berasal dari Nusantara, J.P. Coen terlibat dengan perpolitikan di dalam pemerintahan Kesultanan Banten dan merebut Jayakarta dalam sebuah pertempuran sengit. Pada 1619 Jayakarta berpindah tangan ke VOC.

Baca Juga: NGULIK BANDUNG: Hikayat Perjalanan Orang Tionghoa ke Nusantara serta Pasang Surut Perayaan Imlek di Indonesia #1
NGULIK BANDUNG: Sejarah Bunga Bangkai di Tahura Ir. H. Djuanda, Berbeda dengan Rafflesia Arnoldii #1
NGULIK BANDUNG: Bioskop Majestic, dari Loetoeng Kasaroeng hingga Anugerah AFJB 2023

Kapal jung Cina, mungkin di Laboehan di Sungai Deli. (Koleksi KITLV 124752, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Kapal jung Cina, mungkin di Laboehan di Sungai Deli. (Koleksi KITLV 124752, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Eksodusnya Warga Tiongkok ke Nusantara

Setelah Jayakarta dikuasai VOC, kota tersebut berganti nama menjadi Batavia dan J. P. Coen sebagai Gubernur Jenderalnya. Batavia adalah sebuah kota yang dianggap paling strategis untuk menjalankan usaha dagang rempah-rempah dunia yang dimonopoli VOC. Pindahlah markas VOC ke Batavia setelah mereka gagal mempertahankan roda usaha perdagangannya di Banten, semenanjung Malaka, serta terbirit-birit lari dari Kepulauan Maluku.

Sejak dipimpin oleh J. P. Coen Batavia tidak saja menjadi markas utama VOC, namun diniatkan untuk menjadi kota pelabuhan utuh yang perlu dibangun. Sementara itu para pelaut Fujian dari Tiongkok tetap berniaga ke wilayah Banten, membawa barang-barang produksi dari Tiongkok dan membeli hasil pertanian dari wilayah Banten untuk dijual ke wilayah lain. Di sinilah orang-orang Belanda membujuk para pedagang teri Tiongkok untuk bermukim di Batavia.

VOC membutuhkan para pedagang dari Tiongkok awalnya untuk penyediaan pangan bagi awak kapal VOC di kota yang baru. Selain itu J. P. Coen ingin menjadikan Batavia tidak hanya sebagai markas namun juga sebuah kota yang lengkap dengan benteng-benteng untuk menjaga kota tersebut dari serbuan negara lain dan membangun gudang-gudang besar penyimpanan rempah-rempah sebelum di bawa ke Eropa. Di sinilah keahlian warga yang berasal dari Tiongkok dibutuhkan.

Ketika Batavia dibangun lagi-lagi VOC membujuk para pelaut Fujian yang akan berlayar ke Banten untuk singgah ke Batavia, sebelum melanjutkan perjalanannya. VOC membutuhkan para pedagang dari Tiongkok untuk menghidupkan ekonomi di Batavia. Bahkan untuk memastikan para pelaut Fujian itu datang ke Batavia, VOC yang berkedudukan di Pulau Formossa (Kepulauan Taiwan, yang juga koloni Belanda) pernah dengan sengaja menangkap paksa para penduduk pesisir Tiongkok untuk dibawa ke Batavia (Kustedja, 2012).

Seakan gayung bersambut, ketika situasi dalam negeri Tiongkok tidak menguntungkan bagi rakyatnya sendiri, permintaan dari VOC untuk datang ke Batavia menyebabkan emigrasi masyarakat Tiongkok ke Nusantara semakin gencar.

Angin monsoon utara mulai berembus di pantai Tiongkok sebagai tanda bahwa pelayaran bisa dimulai. Para awak perahu jung niaga pun mulai menegakkan layarnya untuk berlayar. Sebagai Gambaran, perahu jung dengan bobot sekitar 800 ton bisa memuat ratusan orang yang terdiri dari 130 orang awak dan ratusan emigran.

Kawasan pecinan di Batavia sebelum tahun 1872. (Koleksi KITLV 4061, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)
Kawasan pecinan di Batavia sebelum tahun 1872. (Koleksi KITLV 4061, Sumber: digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Para awak kapal kayu tersebut terdiri dari petugas kawal pemilik kargo, para awak kapal, serta kaptennya termasuk pedagang. Sisanya adalah emigran yang turut memenuhi perahu kayu. Dalam pelayaran mereka harus bergeletakan begitu saja di atas dek di samping harus turut membantu pelayaran seperti menarik, menegakkan, dan menutup layar mengikuti arus angin. Semua hal itu harus mereka lakukan untuk membayar biaya pelayaran.

Sebelum berlayar mereka biasa melakukan upacara yang diiringi dengan letusan petasan dan pukulan suara gong. Setelah itu jangkar pun ditarik, pelayaran menuju Batavia yang memakan waktu sekitar 3 minggu pun dimulai. Saat tiba di Batavia mereka disambut upacara serupa dengan saat upacara keberangkatan. Kargo-kargo diturunkan untuk disimpan di gudang-gudang sebelum dipasarkan.

Pajak dan bea komoditas perdagangan dibayarkan kepada petugas VOC. Para penumpang yang turun dari perahu jung kayu dihitung biaya pajak per kepala dan harus dibayarkan pada VOC yang berkuasa di Batavia. Para imigran harus bekerja pada pemilik perahu yang membiayai pelayaran mereka. Setelah itu mereka bebas untuk bekerja secara mandiri (Kustedja, 2012).

Menurut catatan VOC, pada tahun antara 1620–1630 Batavia dikunjungi oleh 5 perahu jung dengan jumlah imigran sebanyak 1.000 orang per tahun. Setelah melalui pasang surut keberangkatan para imigran Tiongkok masa Dinasti Ming, jumlah mereka bertambah pada kisaran tahun 1686. Angka ini terus meningkat dan membuat VOC merasa perlu untuk mengeluarkan aturan-aturan terkait para imigran. Walaupun demikian emigrasi dari Tiongkok terus saja mengalir. VOC kebingungan…

*Tulisan kolom Ngulik Bandung Merrina Listiandari merupakan bagian dari kolaborasi bandungbergerak.id dan Komunitas Djiwadjaman

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//