• Opini
  • Hari Bahasa Ibu Internasional sebagai Momentum untuk Kembali Mencintai Bahasa Sunda

Hari Bahasa Ibu Internasional sebagai Momentum untuk Kembali Mencintai Bahasa Sunda

Kini di media sosial cukup banyak anak-anak muda perkotaan yang mulai kembali aktif menggunakan bahasa Sunda.

Jihad Alif Syaban Hidayat

Mahasiswa Sastra Sunda Unpad

Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP) melaksanakan kegiatan Jawadah Tutung Biritna dalam rangka memperingati Bahasa Ibu Internasional di Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih, Ciparay, Kabupaten Bandung, Minggu (20/2/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id )

21 Februari 2022


BandungBergerak.id - Pada tanggal 17 November 1999, UNESCO menetapkan 21 Februari sebagai Hari Bahasa Ibu Internasional atau International Mother Language Day. Penetapan tersebut terinspirasi dari perjuangan bangsa Bangladesh dalam memperjuangkan bahasa Bangla dari dominasi bahasa Urdu saat negara Bangladesh masih menjadi bagian dari negara Pakistan hingga tahun 1971.

Saat itu hanya bahasa Urdu saja yang dijadikan bahasa nasional di negara Pakistan. Oleh karena itu, kini Hari Bahasa Ibu Internasional dijadikan sebagai hari libur nasional di Bangladesh. Tujuan dari peringatan tersebut yaitu untuk meningkatkan kesadaran akan keanekaragaman bahasa dan kekayaan budaya yang ada di dunia.

Menurut KBBI, bahasa ibu merupakan bahasa pertama yang dikuasai manusia sejak lahir melalui interaksi dengan sesama anggota masyarakat bahasanya, seperti keluarga dan masyarakat lingkungannya. Di Indonesia, bahasa ibu juga sering diidentikan dengan bahasa daerah sebab bahasa daerah telah digunakan secara aktif oleh masyarakat penuturnya jauh sebelum bahasa Indonesia lahir sebagai bahasa persatuan. Namun seiring dengan berjalannya waktu kini banyak masyarakat Indonesia yang telah berbahasa ibukan bahasa Indonesia. Hal tersebut tidak terlepas dari berbagai macam faktor seperti meningkatnya urbanisasi, modernisasi, hingga pernikahan lintas suku.

Berbicara mengenai bahasa, ada sekitar 6.818 bahasa yang terdapat di dunia ini. Dari total 6.818 bahasa yang ada tersebut, sekitar 12 persen di antaranya terdapat di Indonesia dan bahasa Indonesia menempati urutan ke-10 sebagai bahasa yang berpenutur paling banyak di dunia. Hal tersebut tidak lepas dari banyaknya jumlah penduduk Indonesia.

Namun selain bahasa Indonesia, negeri kita ini sangat kaya dengan bahasa daerah. Menurut pendataan yang dilakukan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan selama rentang waktu tahun 1991 hingga 2019, di Indonesia terdapat 718 bahasa dengan bahasa Jawa, Sunda, dan Madura berada di tiga teratas dalam urusan jumlah penutur. Indonesia hanya kalah dari Papua Nugini yang memiliki sekitar 840 bahasa daerah.

Dari 718 bahasa daerah yang ada di Indonesia, Badan Bahasa baru melakukan pemetaan kondisi terhadap 94 bahasa saja. Data tersebut menunjukan 21 bahasa dalam kategori aman, 24 bahasa dalam kategori rentan, 12 bahasa dalam kategori mengalami kemunduran, 24 bahasa dalam kategori terancam punah, 5 bahasa dalam kategori kritis, dan 8 bahasa telah punah.

Berdasarkan data di atas, bahasa Sunda termasuk ke dalam kondisi yang aman bersama 20 bahasa daerah yang lain. Hal tersebut dikarenakan bahasa Sunda masih digunakan oleh hampir semua orang di semua jenjang usia di dalam etnik Sunda. Namun data tersebut jangan membuat kita merasa aman akan eksistensi bahasa Sunda, sebab apabila kita kurang menjaganya bisa saja bahasa Sunda terlempar dari kategori bahasa daerah yang berkondisi aman.

Sintia Soniawati (kiri), salah satu dari kelima penyuluh Aliran Kebatinan Perjalanan se-Bandung Raya yang turut mengikuti permainan dalam kegiatan Jawadah Tutung Buritna di Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih, Ciparay, Kabupaten Bandung, Minggu (20/2/2022). Kegiatan ini terkait Hari Bahasa Ibu Internasional. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Sintia Soniawati (kiri), salah satu dari kelima penyuluh Aliran Kebatinan Perjalanan se-Bandung Raya yang turut mengikuti permainan dalam kegiatan Jawadah Tutung Buritna di Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih, Ciparay, Kabupaten Bandung, Minggu (20/2/2022). Kegiatan ini terkait Hari Bahasa Ibu Internasional. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Bahasa Sunda Mengalami Kemunduran

Terlepas dari data Badan Bahasa yang menyatakan bahwa bahasa Sunda masih dalam kategori aman, nyatanya bahasa Sunda cukup mengalami kemunduran khususnya di daerah perkotaan. Kemunduran tersebut bisa disebabkan oleh beberapa faktor misalnya porsi mata pelajaran Bahasa Sunda di semua jenjang pendidikan, dalam hal ini SD hingga SMA, semakin berkurang. Hal tersebut dapat mendorong anak-anak semakin lupa akan bahasa Sunda. Selain itu, perpustakaan-perpustakaan yang ada di sekolah-sekolah tidak memiliki cukup banyak koleksi literatur berbahasa Sunda.

Faktor lain yang menyebabkan kemunduran bahasa Sunda yaitu adanya anggapan dari sebagian anak-anak muda perkotaan bahwa remaja yang menggunakan bahasa Sunda itu kampungan. Anggapan tersebut harusnya dihilangkan sebab menurut penulis, kampungan atau tidaknya seseorang dapat diukur dari pola pikirnya bukan dari bahasa yang digunakan. Anak muda perkotaan juga cenderung ragu dalam menggunakan bahasa Sunda karena takut salah dalam menggunakan kata. Mereka cenderung kurang mengerti dalam perkara undak usuk basa yang mengatur kasar, loma, atau lemesnya suatu bahasa.

Namun di sisi lain ada juga hal yang menarik yang penulis amati. Kini di media sosial cukup banyak anak-anak muda perkotaan yang mulai kembali aktif menggunakan bahasa Sunda. Hal tersebut memancing anak muda non-Sunda untuk belajar dan mengenal lebih dekat bahasa Sunda. Di media sosial kini cukup banyak anak muda non-Sunda yang menggunakan kata aing dan sia untuk menggantikan kata aku dan kamu. Mungkin bagi sebagian orang terutama golongan orang tua kata-kata tersebut cenderung dianggap kasar namun penulis pribadi cukup senang dengan hal tersebut sebab bisa saja fenomena tersebut bisa mensejajarkan kata aing dan sia dengan kata lo dan gue dalam pergaulan sehari-hari. Tentu saja pengamatan tersebut tidak bisa dijadikan patokan secara keseluruhan keadaan di lapangan namun penulis berharap adanya penelitian lebih lanjut terkait geliat bahasa Sunda di media sosial.

Fenomena penggunaan kata aing dan sia di media sosial bisa menjadi angin segar bagi perkembangan bahasa Sunda sendiri. Fenomena tersebut bisa saja menjadi pemicu bagi kata dalam bahasa Sunda untuk diserap menjadi bahasa nasional. Kita bisa lihat sendiri kini semakin banyak orang di Indonesia yang menggunakan kata ngabuburit untuk merujuk aktivitas menunggu kumandang azan magrib saat berpuasa di bulan Ramadan atau menggunakan kata saung untuk merujuk sebuah bangunan yang terbuat dari bambu yang berada di tengah sawah. Hal seperti itulah seharusnya bisa menjadi pemicu bagi anak muda Sunda agar tidak malu dalam menggunakan bahasa Sunda dalam kehidupan sehari-hari.

Tentunya upaya pemerintah dalam Pasal 32 Ayat 2 UUD 1945 yang mengatur perlindungan bahasa daerah akan sia-sia jika tidak ada sinergi dari setiap elemen masyarakat. Diharapkan peringatan Hari Bahasa Ibu Internasional ini dapat menjadi pengingat bagi kita agar lebih mencintai bahasa daerah. Kita bisa memulai dengan kembali menggunakan bahasa daerah di lingkungan terdekat yaitu keluarga. Dengan memulai langkah kecil seperti itu diharapkan semua bahasa daerah di Indonesia dapat terus lestari. Ya, semoga saja.

Mari kita tutup tulisan ini dengan slogan dari Badan Bahasa; utamakan bahasa Indonesia, lestarikan bahasa daerah, dan kuasai bahasa asing.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//