JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (25): Polemik Sipatahoenan dengan Surat Kabar Kiauw Po
Koran milik Pasundan, Sipatahoenan, terlibat polemik panjang dengan surat kabar Kiauw Po. Kedua media massa ini saling serang lewat tulisan.
Hafidz Azhar
Penulis esai, sejak September 2023 pengajar di Fakultas Ilmu Seni dan Sastra Universitas Pasundan (Unpas), Bandung
26 Maret 2022
BandungBergerak.id - Pada tanggal 15 Juli 1931, sayap pergerakan Partindo Cabang Bandung, SImpaj, memuat berita tentang kisruh Sipatahoenan dengan surat kabar Kiauw Po. Berita ini menampilkan serangan Kiauw Po terhadap Sipatahoenan, yang mencatat antara lain bahwa Sipatahoenan telah bersikap naif terhadap kebutuhan rakyat pribumi. Pernyataan ini bukan hanya menimbulkan reaksi dari pihak Sipatahoenan. Tetapi juga muncul pembelaan dari Gatot Mangkoepradja dkk. sebagai pengurus redaksi SImpaj. Pembelaan itu menyebut Kiauw Po sudah menyalahi paham jurnalistik, lalu menilai media Tionghoa itu melakukan kesalahan yang sangat fatal.
“Dina Kiauw Po aja soerat kiriman anoe maksoedna ngagogoreng Sipatahoenan sangkan oelah aja noe ngalangganan saperti: Sipatahoenan teu merloekeun kaboetoeh rajat, tjan ngajakeun koperasi, bajaranana mahal djst, sabalikna Kiauw Po ngoeroes kaperloean rajat, dst. Tegesna Sipatahoenan goreng, Kiauw Po aloes. Ieu dina kalangan warta oemoem (joernalistik) estoe kotor pisan (Dalam Kiauw Po terdapat surat kiriman yang bermaksud menjelek-jelekan Sipatahoenan agar tidak ada yang berlangganan seperti: Sipatahoenan tidak memerlukan kebutuhan rakyat, belum mengadakan koperasi, bayarannya mahal dsb. Sebaliknya Kiauw Po mengurus keperluan rakyat dsb. Dalam arti Sipatahoenan jelek, Kiauw Po bagus. Ini jika dalam masalah jurnalistik sungguh perbuatan yang sangat kotor)” (Simpaj 15 Juli 1931).
Pada 11 Juli 1931, Kiauw Po mengeluarkan tulisan berjudul, Retour afzender pada Sipatahoenan. Tulisan itu menampilkan kembali kutipan-kutipan dari Sipatahoenan soal samaran yang digunakan Kiauw Po dan berujung pada berbagai persoalan jurnalistik dan kebangsaan. Meski serangan Sipatahoenan gencar ditujukan kepada koran Tionghoa itu, namun Kiauw Po tetap menyajikan komentar. Di antaranya menyebut Sipatahoenan salah sasaran karena menyerang Si Kutijing, nama samaran yang digunakan untuk menyerang Sipatahoenan. Bahkan tulisan itu mengomentari Sipatahoenan dan membalikkan pernyataan tentang soal melek jurnalistik.
“Apakah perloenja poela Sipatahoenan soeda ramaikan kita, boekan bangsa Tionghoa tapi inlander 24 karaat? Padahal Sipatahoenan taoe siapa Hoofdredactienja Kiauw Po? Apakah begitoe tjaranja journalistiek melek? Baeklah jika Sipatahoenan kataken kita journalist baroe melek, tida apa, tapi baik mana dengan journalist melek selamanja tapi tida melihat? Djalan pake tongkat-tongkat” (Kiauw Po 11 Juli 1931).
Sebelumnya, tanggal 4 Juli 1931, Sipatahoenan mengabarkan bahwa redaksinya telah menerima surat kiriman yang sangat khusus. Surat kiriman yang tercantum dalam Kiauw Po 27 Juni 1931 itu ditulis oleh seseorang dengan nama Abraham Lincoln yang berisi tentang penilaian terhadap Kiauw Po sebagai surat kabar Indonesia dan Tionghoa. Bukan hanya itu. Si penulis juga menilai jika Kiauw Po begitu mementingkan keperluan Indonesia dan Tionghoa bahkan lebih umum dibandingkan Sipatahoenan. Hal ini menurut si penulis mengacu pada sikap yang ditunjukkan Kiauw Po sebagai media yang mempunyai tujuan terkait kepentingan Indonesia dan Tionghoa.
Mendapat kiriman itu, rengrengan Sipatahoenan lantas menyajikan balasan dengan mengomentari bagian-bagian yang dianggap distorsi. Mula-mula Sipatahoenan menanggapi tujuan Kiauw Po yang dinilai lebih mementingkan urusan Indonesia dan Tionghoa. Bahkan koran pimpinan Bakrie Soeraatmadja itu mempertanyakan soal Kiauw Po lebih penting dari Sipatahoenan.
“Tjeunah isina leuwih ngentja (leuwih penting) ti batan Sipatahoenan, tjeuk saha? Tjing ajeuna oerang papaj kateranganana. Naon noe diseboet penting koe Abraham Lincoln teh? Meureun noe diregepkeun koe somah atawa koe Pamarentah (Konon isinya lebih penting dari Sipatahoenan, kata siapa? Coba sekarang kita telusuri keterangannya. Apa yang disebut penting oleh Abraham Lincoln itu? Mungkin yang dipahami oleh rakyat atau Pemerintah)” (Sipatahoenan 4 Juli 1931).
Baca Juga: JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (21): Pulang dari Belanda, Mohammad Hatta Berkiprah di Bandung
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (22): Partindo Cabang Bandung Menyerang Mohammad Hatta
JEJAK KAUM NASIONALIS DI BANDUNG (23): Pertemuan Gabungan Persatoean Aksi Bandoeng
Polemik Berkepanjangan
Untuk menilai seberapa penting sebuah surat kabar waktu itu, Sipatahoenan kemudian membandingkan media apa saja yang masuk ke dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleische-Chineesche Pers yang dikeluarkan satu minggu sekali oleh Persbereau voor de Volkslectuur (Biro Pers untuk Bacaan Rakyat). Komentar tersebut merujuk pula pada catatan khusus di bawah judul Overzicht van de Inlandsche en Maleische-Chineesche Pers sebagai keterangan peristiwa penting berbagai surat kabar di Hindia Belanda. Dengan demikian, rengrengan Sipatahoenan mengklaim bahwa mereka merupakan salah satu media penting yang berhasil dimuat dalam Overzicht van de Inlandsche en Maleische-Chineesche Pers. Hal ini sebagaimana yang tertera pada edisi 31 Juni 1931 no. 24.
“Dina Persoverzicht ddo 31 Juni 1931 no. 24 aja tjoetatan sakoer noe parentingan tina soerat-soerat kabar: Pewarta Deli, Tjahja Soemira, Berita Baroe, Sipatahoenan, Galih Pakoean, Menara, Persateoan Indonesia, Bintang Timoer, Bahagia, Aksi, Djagat, Mustika, Sedio Tomo, Djenggala, Soeloeh Rajat Indonesia, Pewarta Sangihe Dan Talaoei, Aliran Djaman, Bintang Borneo, Djawa Tengah, Bintang Mataram, Han Po, Keng Po, Siang Po, Sin Tit Po, Keng Hwaa Poo, Sin Po, enz. enz. (Dalam Persoverzicht ddo 31 Juni 1931 no. 24 terdapat keterangan hanya untuk hal-hal penting dari berbagai surat kabar: Pewarta Deli, Tjahja Soemira, Berita Baroe, Sipatahoenan, Galih Pakoean, Menara, Persateoan Indonesia, Bintang Timoer, Bahagia, Aksi, Djagat, Mustika, Sedio Tomo, Djenggala, Soeloeh Rajat Indonesia, Pewarta Sangihe Dan Talaoei, Aliran Djaman, Bintang Borneo, Djawa Tengah, Bintang Mataram, Han Po, Keng Po, Siang Po, Sin Tit Po, Keng Hwaa Poo, Sin Po, dan lain-lain)” (Sipatahoenan 4 Juli 1931).
Polemik Sipatahoenan dengan Kiauw Po memang terjadi cukup berkepanjangan. Respons Sipatahoenan, sebetulnya, tidak terlalu menunjukkan pernyataan keras bahkan cenderung menampilkan fakta-fakta di lapangan. Pada Sipatahoenan 4 Juli 1931, misalnya, Bakrie Soeraatmadja dkk. membongkar kebohongan Kiauw Po yang menyebut Tanoewirja A.S. didepak dari jajaran kepengurusan Sipatahoenan dan bekerja di dewan pemerintahan Garut. Padahal menurut Sipatahoenan ini tidak sesuai fakta dan menuai bantahan jika Tanoewirja sedang berada di Citapen, Tasikmalaya. Namun mengenai masalah dikeluarkannya Tanoewirja, rengrengan Sipatahoenan sendiri mengakui bahwa hal itu berdasarkan pertimbangan matang yang menyangkut kemajuan surat kabar Sipatahoenan dan organisasi Pasundan.
Seandainya Kiauw Po tidak memberikan surat kiriman khusus untuk Sipatahoenan, ketegangan ini tidak akan muncul dengan cara saling menyerang dan menyudutkan. Pada akhirnya, pihak lain pun harus melakukan pembelaan terhadap Sipatahoenan lantaran dianggap sebagai korban serangan media berbahasa Melayu itu. Itulah kenapa Simpaj mengambil sikap untuk membela Sipatahoenan. Di samping mempunyai haluan yang sama terkait kebangsaan, Gatot dkk. juga menekankan persoalan etika jurnalistik dalam polemik ini. Dengan menyatakan bahwa:
“Jurnalistik yang luhung yang diberikan pamrih bukanlah nomor satu… tapi menjaga atau berusaha untuk memberikan hak-hak suatu golongan sambil mengasah pikiran. Bukan juga seperti dagang tauco yang menjelek-jelekan usaha orang supaya pelanggan lain pindah dengan cara menyeruduk asal perut sendiri terisi” (Simpaj 15 Juli 1931).