Melawan Pandemi dengan Festival Virtual
Koreografer menciptakan tarian di tempat-tempat seperti kamar, taman, sawah, yang mana karya tersebut merefleksikan doa-doa agar wabah cepat berlalu.
Penulis Iman Herdiana15 April 2021
BandungBergerak.id - Pada pertengahan Maret lalu, sanggar-sanggar seni tari di Kota Cimahi, Jawa Barat, sibuk mempersiapkan festival tari jaipong. Tiap kelompok menari di sanggar masing-masing sambil direkam untuk diunggah di Youtube.
Demikian gambaran festival yang berlangsung di tengah pandemi Covid-19 yang pada Maret itu wabah virus Corona genap setahun berlangsung di Indonesia. Festival tersebut bukan dalam artian keramaian yang melibatkan banyak penonton dan peserta seperti pada masa normal sebelum pandemi. Suasana festival diharapkan terjadi di dunia maya dengan mengunggah video perjunjukan mereka di akun Youtube.
Festival bertajuk “Fetival Jaipongan Virtual Kota Cimahi” tersebut melibatkan 14 sanggar seni dengan 200 peserta. Menurut Dewi Renganis, Ketua Komite Tari Dewan Kebudayaan Kota Cimahi (DKKC), masing-masing peserta wajib melakukan perekaman video kegiatan yang diunggah ke Youtube.
“Kegiatan dimulai dari perekaman video di tiap sanggar dan tempat lainnya oleh panitia dan sanggar sendiri,” kata Dewi, lewat siran persnya.
Masyarakat bisa menonton festival virtual di akun Youtube DKKC. Penjurian pun dilakukan secara virtual. Bagi peserta, festival virtual adalah hal baru. Pandemi Covid-19 menuntut semua orang, tak terkecuali pelaku sini, akrab dengan Youtube dan media sosial umumnya, termasuk teknologi digital. Sebab dengan cara ini mereka bisa bertahan.
“DKKC gelar kegiatan pada tahun 2021 ini dalam upaya penanggulangan dampak Covid-19,” kata Hermana HMT, Ketua DKKC, saat dihubungi BandungBergerak, Kamis (15/4/2021).
Menurutnya, walau dalam kondisi pandemi, pelaku seni tetap bisa menjalani visi misinya. Bahkan festival tari jaipong tersebut diharapkan bisa mencapai skala nasional dan internasional. Karena tari jaipong bukan saja disukai masyarakat Jawa Barat, tetapi juga disukai masyarakat Indonesia dan dunia.
Festival virtual yang digelar DKKC merupakan satu dari sekian acara kebudayaan yang berusaha bertahan di tengah pandemi Covid-19. Seperti diketahui, pada awalnya pandemi Covid-19 menciptakan pukulan pada semua sektor kehidupan, termasuk di ranah kebudayaan.
Rektor Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, Een Herdiani, menuturkan pada awal virus Corona masuk Indonesia, pemerintah langsung memberlakukan pembatasan sosial berskala besar yang menyebabkan semua aktivitas yang melibatkan orang banyak dihentikan. Masyarakat diminta beraktivitas di rumah saja. Event kebudayaan dilarang guna mencegah kerumunan dan penyebaran Covid-19.
“Kondisi ini akhirnya menciptakan shock culture secara otomatis. Situasi pandemi berdampak di seluruh sektor baik pendidikan, sosial, ekonomi dan pariwisata, tak terkecuali para pelakunya. Para pelaku atau penggiat-penggiat seni kehilangan pekerjaan dan sumber pendapatannya,” ungkap Een Herdiani, dikutip dari laman ISBI Bandung, Kamis (15/4/2021).
Dalam perkembangannya, sampai pada suatu kondisi di mana para seniman justru menjadikan pandemi sebagai inspirasi untuk menuangkan perasaan-perasaannya dalam bentuk kreativitas yang tak terbatas. Para musisi, baik tradisional maupun modern, menciptakan lagu-lagu yang mencerminkan situasi pandemi dan mengunggahnya di media sosial.
Media sosial diramaikan lagu-lagu bertemakan Covid-19 yang dinyanyikan dengan berbagai bahasa. Bahkan menurut Een, terdapat lagu dengan sepuluh bahasa sekaligus. Kemunculan lagu-lagu tersebut dinilai memiliki dua peranan penting, yaitu menghibur masyarakat yang dalam keadaan shock karena pandemi, sekaligus membantu pemerintah untuk tinggal di rumah dan mensosialisasikan anjuran-anjuran terkait pencegahan Covid-19.
Di sisi lain, Een mencatat, para koreografer menciptakan tarian di tempat-tempat seperti kamar, taman, sawah dan lingkungan sekitar rumah, yang mana karya tersebut merefleksikan doa-doa agar wabah segera usai.
Perubahan lain, kata Een, pada awalnya masyarakat tidak terlalu tanggap terhadap teknologi. Akan tetapi pada masa pandemi semua berusaha menguasai teknologi, terutama teknologi komunikasi. Seluruh sajian-sajian seni budaya berubah media menjadi virtual.
Pelaku seni dan budaya harus cepat beradaptasi dan berinovasi dalam berkreatifitas dengan memanfaatkan teknologi. Hal ini juga yang dilakukan oleh para seniman seni rupa yang menggelar pameran secara virtual dengan galeri virtualnya. Begitu juga dengan museum-museum memanfaatkan teknologi dengan membuat museum virtual.
Een menyimpulkan, pandemi memang banyak memberi dampak negative. Namun ia yakin terdapat banyak hikmah yang bisa digali, misalnya, tayangan virtual mengenai seni dan budaya akhirnya banyak diunggah dan menghasilkan penonton yang tak terbatas jumlahnya baik skala lokal maupun internasional.
“Pandemi Covid-19 memang memberikan dampak begitu besar akan tetapi juga memberikan peluang-peluang baru,” tandasnya.
Raja Alfirafindra dari Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta mengakui, pemerintah sudah memberikan bantuan kepada pelaku seni yang terdampak pandemi Covid-19. Tapi bantuan tersebut sifatnya sementara, bukan sebagai sumber penghasilan.
Banyak pelaku seni yang bertahan dengan berjualan produk di luar produk seni. “Para penggiat seni banting setir untuk mencari penghasilan ke kuliner, bahkan akhirnya muncul kreativitas dari memadukan kuliner dengan seni dan budaya,” tuturnya.