• Nusantara
  • Membendung Jutaan Pemudik Lebaran, Menekan Laju Covid-19

Membendung Jutaan Pemudik Lebaran, Menekan Laju Covid-19

Tahun sebelum pandemi, jumlah pemudik dari Jabodetabek diprediksi lebih dari 3,5 juta kepala keluarga. Sebagian melintas ke Jawa Barat dan menuju timur Jawa.

Kendaraan terjebak macet di Jalan Oto Iskandar Dinata, Kota Bandung, Kamis (15/4/2021). Pemrioritasan transportasi publik membutuhkan konsistensi pemerintah. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana16 April 2021


BandungBergerak.id - Mudik lebaran 2021 menjadi sorotan. Tradisi yang melibatkan mobilitas penduduk dalam jumlah besar ini dikhawatirkan memicu transmisi penularan Covid-19 lebih massif lagi dari kota ke desa. Terlebih saat ini jumlah kasus Covid-19 sudah menyebar di tiap kota.

Pemerintah pun meniupkan aturan larangan mudik pada lebaran 2021 melalui Surat Edaran Kepala Satgas Penanganan Covid-19 No. 13 Tahun 2021 tentang Peniadaan Mudik pada Bulan Ramadhan dan Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah selama 6-17 Mei 2021.

Aturan tersebut diamini pemerintah daerah. Pemprov Jabar melalui Kepolisian Daerah (Polda) Jabar berencana memutarbalikan kendaraan yang kedapatan membawa pemudik. Selain itu, menyikapi pelarangan mudik 2021, Sekda Jabar menggelar rapat virtual bersama Sekda Jawa Timur, Sekda DI Yogyakarta, Sekda DKI Jakarta, Sekda Jawa Tengah, Sekda Banten, dan perangkat daerah yang terlibat, seperti dikutip dalam siaran pers Humas Jabar, Jumat (16/4/2021).

Kepala Dinas Perhubungan (Dishub) Jabar Hery Antasari mengatakan, koordinasi dan kolaborasi semua pihak diperlukan supaya proses penyekatan jalan di beberapa titik berjalan optimal. Rapat koordinasi ini diharapkan dapat memunculkan kesepahaman antar daerah untuk menindaklanjuti peraturan larangan mudik yang dikeluarkan pemerintah pusat.

Dalam data mudik Jabar 2020 di mana saat itu awal-awal pandemi Covid-19, disebutkan jumlah arus mudik mencapai 1,47 juta orang, di mana sekitar 37 persen masuk wilayah Jabar. Angka tersebut diklaim menurun karena adanya kebijakan larangan mudik.

Kebijakan larangan mudik tentunya tidak mudah mengingat tradisi ini melibatkan jutaan orang yang bergerak dari kota ke desa dalam waktu bersamaan. Penanganan kebijakan pelarangan mudik juga perlu melibatkan pemerintah lintas kota lintas provinsi, mengikuti tujuan pemudik.  

Sebagai gambaran, data mudik sebelum pandemi Covid-19, yakni lebaran 2019, mobilitas menuju pulang kampung saat hari raya ini melibatkan armada darat, laut, dan udara. Waktu itu, Pemprov Jabar menyediakan bus Antar Kota Antara Provinsi (AKAP) dan Antar Kota Dalam Provinsi (AKDP) sebanyak 4.200 unit dengan estimasi 63.404 penumpang per hari.

Sementara kereta api sebanyak 164 rangkaian KA dengan 67.010 penumpang/hari. Belum lagi angkutan udara 66 penerbangan yang bisa membawa 11.272 penumpang per hari, serta ASDP (armada laut) dengan 953 unit kapal dengan 16.224 penumpang per hari.

Tahun tersebut, jumlah rumah tangga mudik dari Jabodetabek diprediksi mencapai 3.545.458 kepala keluarga, dengan pemudik berjumlah 14.901.468 atau 44,1 persen dari total jumlah penduduk di Jabodetabek, pada 2019. Sebagian besar pemudik tersebut melintas ke Jawa Barat untuk menuju wilayah timur Jawa.

Provinsi yang menjadi tujuan pemudik adalah Jawa Barat 3.709.049 orang (24,89 psersen) Jawa Tengah sebanyak 5.615.408 orang (37,68 persen), dan Jawa Timur sebanyak 1.660.625 orang (11,14 persen).

Moda transportasi yang akan digunakan adalah bus yang diprediksi sanggup melayani 4.459.690 orang (30 persen), mobil pribadi 4.300.346 orang (28,9 persen), kereta api 2.459.690 orang (16,7 persen), pesawat terbang 1.411.051 orang (9,5 persen), dan sepeda motor sebanyak 942.621 orang (6,3 persen).

Perlu Konsisten Taat Larangan Mudik

Ahli matematika epidemologi ITB, Nuning Nuraini, sepakat dengan pembatasan mudik lebaran 2021. Walaupun dalam kondisi semua pihak sudah lelah menghadapi pandemi Covid-19 yang seolah tak berujung.

Nuning tidak menampik lebaran tahun lalu masih banyak pemudik yang melenggang masuk dan keluar kampung halaman. “Gampangnya, dilarang pun masih bisa lolos. Nanti kalau tidak dilarang malah lebih "masif",” kata Nuning, saat dihubungi BandungBergerak, Kamis (16/4/2021).

Nuning telah menghitung angka Covid-19 di Indonesia yang secara umum menurun. Namun setelah dilakukan simulasi pergerakan manusia antar provinsi, terjadi dampak peningkatan kasus di tiap provinsi tersebut. Artinya, mudik akan meningkatkan jumlah kasus Covid-19.

Dan dari pengamatan secara kasat mata, sekarang pergerakan masyarakat sudah terlihat ‘normal’ walau ada beberapa yang memakai masker sebagai protokol pencegahan Covid-19. Sejak Ramadan berlangsung, lalu lintas Kota Bandung meningkat, sudah terjadi kemacetan di mana-mana.

Situasi lalu lintas menjadi indikasi meningkatnya pergerakan (mobilitas) warga. Sedangkan mengerem mobilitas merupakan satu syarat untuk meredam laju pandemi Covid-19 yang menular lewat interaksi antar manusia, antar kerumunan.

“Jadi kalau tidak diupayakan pembatasan khawatirnya efeknya lebih buruk. Meskipun semua sebenarnya juga lelah dengan hal ini, ya,” katanya.

Karena itu, Nuning merekomendasikan tetap melakukan pembatasan pergerakan manusia, plus pengetatan lagi protokol kesehatannya, yakni memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak, dan lain-lain. “Jadi pembatasan mudik dan pengetatan protokol kesehatan. Harus istiqomah, ya,” katanya.

Terminal Cicaheum, Kota Bandung, Kamis (15/4/2021). Tiap lebaran, terminal ini melayani arus mudik yang menuju wilayah selatan dan timur Jawa Barat. (Foto: Virliya Putricantika)
Terminal Cicaheum, Kota Bandung, Kamis (15/4/2021). Tiap lebaran, terminal ini melayani arus mudik yang menuju wilayah selatan dan timur Jawa Barat. (Foto: Virliya Putricantika)

Skenario Karantina Wilayah

Nuning bersama belasan peneliti yang tergabung dalam SimcovID, menganalisa estimasi kepadatan kasus Covid-19 per 100.000 jumlah penduduk dan menunjukkan seberapa besar perkiraan kasus yang tidak terdeteksi dari provinsi-provinsi di Indonesia.

Mengutip laman resmi ITB, Tim SimcovID berusaha menentukan estimasi parameter data kasus Covid-19 yang ada dan data kematian karena Covid-19. Hasilnya, penelitian ini menyimpulkan, Provinsi DKI Jakarta menempati urutan pertama sebagai provinsi dengan estimasi kepadatan kasus Covid-19 per 100.000 orang tertinggi di Indonesia dengan estimasi kasus yang tidak terdeteksi sebesar 32.000 (dalam selang kepercayaan 86%) kasus.

Jumlah kasus tersebut jauh meninggalkan estimasi nomor dua yang diduduki oleh Provinsi Jawa Barat dengan 8.090 kasus tak terdeteksi.

Untuk estimasi dari jumlah kasus Covid-19 yang terdeteksi berdasarkan pemodelan, Provinsi Bengkulu menjadi provinsi paling kecil kemampuan deteksinya yakni 0.26% dari perkiraan total kasus provinsi sebesar 385 kasus. Selain Bengkulu, provinsi yang presentase perkiraan kasusnya kurang terdeteksi umumnya berada di luar Jawa.

Tim SimcoviID juga berusaha mengejar nilai Ro yang tepat bagi kejadian di Indonesia. Tim memprediksi, nilai Ro di Indonesia sekarang ada pada kisaran angka 3.3. Dalam matematika, nilai Ro adalah jumlah kelahiran kasus baru akibat 1 orang terinfeksi saat masuk ke dalam suatu populasi yang sepenuhnya sehat dan potensial untuk sakit.

Ro kadang disebut juga penggandaan kasus. Jika Indonesia ingin mengerem laju pandemi Covid-19, maka nilai Ro yang harus dikejar harus kurang dari 1.

Tim kemudian mengkaji skenario kebijakan pemerintah dalam menangani pandemi. Ada tiga skenario yang diuji, yakni skenario tanpa kebijakan, scenario kebijakan memperketat social/physical distancing, dan karantina wilayah.

Skenario kebijakan karantina wilayah dalam waktu dekat disertai dengan rapid-test dinilai sebagai skenario terbaik. “Kita bisa yakin bahwa fenomena pandemi di Indonesia dapat mereda lebih cepat serta lebih sedikit kasus kematian jika pemerintah menerapkan karantina wilayah, melakukan rapid-test, dan segera memulai kebijakan-kebijakan tersebut,” kata Nuning.

Untuk diketahui, Tim SimcovID terdiri dari peneliti ITB, Unpad, UGM, ITS, UB, Undana, termasuk peneliti luar negeri asal Essex & Khalifa University, University of Southern Denmark, dan Oxford University.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//