Program Pengurangan KDRT di Bandung belum Menyentuh Akar Persoalan
Pemkot Bandung cenderung fokus pada perempuan. Padahal laki-laki lebih sering menjadi aktor kekerasan pada perempuan. Belum lagi kasus pada anak.
Penulis Iman Herdiana16 April 2021
BandungBergerak.id - Angka kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di Bandung cenderung meningkat selama pandemi Covid-19. Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung berusaha cepat tanggap dengan menghadirkan Pusat Pelayanan dan Pemberdayaan Perempuan (Puspel PP) di tingkat kelurahan. Langkah ini dinilai kurang menyentuh akar persoalan.
Direktur Women's Crisis Center (WCC) Pasundan Durebang Ira Imelda mengatakan, akar persoalan KDRT adalah relasi kuasa laki-laki terhadap perempuan. Ada ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan dalam rumah tangga. Pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19 lebih tepat disebut pemicu, bukan sebagai akar persoalan.
“Kalau nilai-nilai dalam keluarga masih menempatkan perempuan atau istri tidak setara dengan laki-laki atau suami, maka sangat berpotensi adanya relasi kuasa yang timpang,” tutur Ira saat dihubungi BandungBergerak.id, Jumat (16/4/2021).
Ira, yang telah sejak lama melakukan pendampingan di lembaga advokasi yang berpusat di Bandung tersebut, menyebut suami lebih berpotensi memiliki kuasa dalam rumah tangga. Karena itu, seorang suami seringkali memperlakukan istrinya sewenang-wenang, Misalnya, melampiaskan kemarahan dan kekesalan pada istri melalui kata-kata kasar atau tindakan fisik.
Program pengurangan KDRT, menurut Ira, harus dimulai dengan upaya menghilangkan akar masalah tersebut. Salah satunya, melalui program pendidikan kesetaraan gender dalam keluarga. Sasaran program ini harus kedua belah pihak, yakni laki-laki dan perempuan. Tidak bisa pendidikan kesetaraan gender hanya diberikan pada laki-laki saja atau perempuan saja.
Dalam siaran pers Kamis (15/4/2021), Sekretaris Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Bandung, Irma Nuryani menyebut pendirian Puspel PP di tingkat kelurahan sebagai upaya menjangkau masyarakat, khususnya terkait penanganan KDRT. Awalnya di 45 kelurahan, Puspel PP selanjutnya diharapkan bisa segera terbentuk di 151 kelurahan.
Keberadaan Puspel PP di tiap kelurahan dibutuhkan untuk membantu peran Unit Pelayanan Teknis (UPT) Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) yang cakupannya berada di tingkat kota. Tanggapan pemerintah atau pun inisiatif warga bisa dilakukan lebih cepat.
Puspel PP juga menyiapkan program pembinaan bagi perempuan dari berbagai aspek agar peran mereka makin kokoh dalam menyokong ketahanan keluarga. Pembekalan masalah hukum, ekonomi, sosial, dan politik akan diberikan. Ada juga program pembinaan khusus bagi perempuan yang berperan sebagai kepala keluarga.
Angka kekerasan di tengah keluarga di Bandung berpotensi mengalami peningkatan. Pandemi Covid-19 jadi pendorongnya. Pada tahun 2020, jumlah laporan kekerasan tak kurang dari 300 kasus. Tahun ini, per 31 Maret, P2TP2A sudah menerima 125 laporan kasus kekerasan keluarga. Ke-125 kasus tersebut berupa kekerasan terhadap istri (45 kasus), kekerasan pada perempuan (15 kasus), kekerasan pada anak (45 Kasus), kekerasan pada pria (1 kasus), kekerasan dalam keluarga (9 kasus), kekerasan dalam berpacaran (1 kasus), serta kekerasan lainnya (9 kasus). Faktor penyebabnya beragam, dari ekonomi hingga psikologi. Selama pandemi, faktor ekonomi yang menonjol.
Irma bersyukur masyarakat sudah semakin terbuka untuk melaporkan tindak kekerasan di tengah keluarga. Laporan bisa disampaikan langsung ke kantor P2TP2A Kota Bandung di Jalan Ibrahim Adjie atau melalui kontak WhatsApp 083821105222. Tersedia layanan psikolog untuk bimbingan konseling dan pengacara untuk pendampingan apabila kasus harus dibawa ke ranah hukum.
"Jangan sungkan, bantuan ini kita berikan gratis,” katanya.
Laki-laki Perlu Dibina
Ira Imelda dari WCC Pasundan Durebang menyambut baik kehadiran Puspel PP yang digulirkan Pemkot Bandung. Hanya saja, Puspel PP cenderung fokus pada perempuan. Lantas bagaimana dengan laki-laki yang menurut data di atas justru lebih banyak sebagai aktor kekerasan pada perempuan?
“Kalau program pembinaannya hanya untuk perempuan, apalagi dengan perspektif perempuan yang bertanggungjawab menyokong ketahanan keluarga, jadi tidak seimbang,” kata Ira Imelda. “Karena dalam konteks KDRT termasuk dari data yang dirilis di atas korbannya adalah istri. Jadi mestinya programnya seharusnya pada suami (laki-laki) agar tidak menjadi pelaku kekerasan.”
Ia menegaskan, mengupayakan kesejahteraan keluarga merupakan tanggung jawab suami dan istri (laki-laki dan perempuan). Sehingga pencegahan terjadinya KDRT juga menjadi tanggung jawab bersama suami dan istri, bukan tanggung jawab istri saja.
Jadi, kata Ira, mestinya ada pembinaan tentang kesetaraan gender, pembagian peran dalam keluarga, misalnya, pembinaan mengelola stres, pembinaan mendidik dan melindungi anak, mengelola keuangan rumah tangga, dan lain-lain.
Kekerasan Siber dan RUU PKS
Ira tidak menampik, kekerasan terhadap perempuan dan anak pada era pandemi ini memang terjadi peningkatan. Selain KDRT, peningkatan juga terjadi pada kasus kekerasan seksual, termasuk kekerasan seksual berbasis siber.
Tahun 2020, WCC Pasundan Durebang menerima 20 laporan kasus kekerasan seksual berbasis siber. Korban yang melapor ke WCC Pasundan Durebang umumnya tidak berani melanjutkan laporan ke kepolisian karena diancam pelaku bahwa datanya akan disebarkan ke publik.
Terkait kekerasan seksual ini, Ira melihat undang-undang yang ada saat ini belum bisa memberikan rasa keadilan pada korban, misalnya tidak ada jaminan pemulihan dan pemenuhan hak korban. Sementara hukuman pada pelaku juga belum maksimal, tidak ada jaminan bahwa pelaku tidak akan mengulangi perbuatannya.
“Itu sebabnya kita sangat menunggu negara hadir dalam Undang-undang Penghapusan Kekerassn Seksual (PKS). Sekarang ini sedang mendorong agar Baleg DPR RI segera membahas RUU PKS ini dan secara substansi menjawab kebutuhan korban dalam mendapatkan hak-haknya dan keadilan,” ungkapnya.
Kekerasan pada Anak di Bandung
Kekerasan di Bandung bukan hanya menimpa perempuan atau istri. Angka kekerasan yang mengkhawatirkan terjadi pula pada anak di kota yang meraih penghargaan Kota Laik Anak kategori Nindya. Sepanjang 2018, berdasarkan data UPT P2TP2A Kota Bandung dilaporkan sebanyak 119 kasus kekerasan terhadap anak. Per Juli 2019, jumlahnya 104 kasus.
Untuk meningkatkan perlindungan pada anak, Pemkot Bandung menggulirkan perintisan program sekolah ramah anak. Tercatat saat ini ada 414 sekolah di jenjang SD dan SMP yang berstatus ramah anak. Salah satu fokus program di sekolah adalah masalah perundungan atau bullying.
Sekretaris DP3A Kota Bandung Irma Nuryani menyatakan, sekolah masih menjadi tempat rentan perundungan. Pemkot terus memberikan pemahaman intensif kepada komunitas sekolah. “Ramah anak dimulai dari lingkungan infrastruktur termasuk orang di seluruh lingkungan sekolah,” kata Irma.
Di sisi lain, upaya melindungi anak di Kota Bandung tampaknya harus ekstra kerja keras jika dilihat dari minimnya sokongan anggaran. Untuk 2020, Komisi Perlindungan Anak Daerah (KPAD) Kota Bandung tidak memperoleh bantuan dana operasional bersumber APBD 2020.
Padahal dalam dua tahun sebelumnya, KPAD Kota Bandung masih mendapatkan sokongan dana bersumber dana hibah APBD. Pada 2018, dana hibah yang didapat sebesar Rp 600 juta, dari besaran proposal Rp 1,9 miliar. Pada 2019, dana hibah diterima Rp 521 juta dari proposal senilai Rp 8,2 miliar.